1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Waria Juga Butuh Pekerjaan

Monique Rijkers
Monique Rijkers
25 Mei 2019

Pesta demokrasi sudah usai. Apa saja harapan untuk pemerintahan dan parlemen baru di Indonesia? Bagi kelompok waria kebutuhan utama adalah ada lapangan pekerjaan dan bisa bekerja dengan aman.

Foto: DW/M. Rijkers

Waria ada dan hidup di tengah masyarakat di Indonesia. Bukan hanya di ibukota Jakarta, di provinsi Serambi Mekkah yang menerapkan syariat Islam pun ada waria. Waria bisa dikategorikan sebagai pria yang berjiwa perempuan. Ingin bergincu tetapi harus kencing berdiri sehingga komunitas waria banyak mengalami penolakan dari masyarakat, kerap menjadi sasaran penertiban Satpol-PP dan produk hukum berupa perda pun memusuhi waria.

Menurut Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia sebanyak 22 perda memuat istilah homoseksual dan waria. Maret 2018 Dinas Syariat Islam Aceh mengeluarkan rekomendasi agar pemilik salon tidak mempekerjakan kelompok LGBTQ, terutama waria. Di Pariaman, Sumatera Barat Perda tentang LGBTQ memuat satu pasal khusus tentang waria yaitu dilarang berlaku sebagai waria. Jangankan bisa bekerja, berpenampilan waria saja bisa didenda satu juta rupiah.

Sebetulnya ada kemajuan yang dicapai Indonesia yakni perubahan UU Administrasi Kependudukan dan Catatan Sipil pada tahun 2013 sehingga memungkinkan transgender secara resmi mengubah jenis kelamin jika sudah operasi ganti kelamin yang disahkan pengadilan. Artinya secara hukum, Indonesia mengenal transgender.

Human Rights Watch mencatat selama tahun 2017 ada 300 penangkapan oleh polisi hanya karena orientasi seksual serta identitas gender. Berbagai upaya penolakan karena alasan moral dan pelarangan berdasarkan hukum diproduksi pemerintah daerah guna melawan kelompok LGBTQ, meski secara hak asasi manusia mereka berhak diakomodasi kebutuhan dasarnya, termasuk pekerjaan. Karena penampilannya yang berbeda, seorang waria meski berpendidikan sarjana akan kesulitan mendapat pekerjaan. Waria dituntut berpenampilan sebagaimana pria, bukan berpakaian wanita.

Penulis: Monique Rijkers Foto: Monique Rijkers

Berpakaian Pria Demi Pekerjaan 

Seorang sarjana pendidikan di Sulawesi Selatan yang penulis hubungi mengaku sempat bekerja sebagai guru honorer di sebuah Sekolah Menengah Pertama selama tiga bulan dan mengajar bahasa Indonesia dengan syarat berpakaian laki-laki, rambut pendek dan tidak boleh dandan. Meski ia mengaku, "Alis tetap sih, Mbak” maksudnya ia masih membentuk dan merapikan alisnya seperti perempuan meski berpakaian pria saat ke sekolah. Kini Stephanie, panggil saja begitu, bekerja sebagai tenaga Pelatihan Warga Peduli AIDS dari Puskesmas yang diberi upah 100 ribu sebulan. Guna menghidupi dirinya, Stephanie bekerja sebagai perias pengantin dan menjadi pembawa acara.

Lola dulu juga bekerja kantoran di perusahaan semen tetapi setelah enam tahun bekerja, Lola harus mengundurkan diri karena tekanan dan diskriminasi yang menganggap dirinya terlalu feminim sebagai pria. Lola mengaku rekan-rekan kantornya sebagian tahu ia seorang waria. Kini Lola bekerja sebagai perias karena ia ingin bebas dari keharusan bertingkah laku seperti pria, termasuk mengubah cara jalannya yang gemulai. Sebenarnya ada dua waria yang seharusnya menjadi narasumber tulisan ini namun karena mereka masih bekerja sebagai PNS dengan penampilan maskulin keduanya tidak bersedia dipublikasikan. Ada pula dua sarjana dari Purwokerto dan Semarang yang kesulitan mendapat pekerjaan gegara waria.

Kesempatan bekerja inilah yang dibutuhkan waria saat ini, termasuk kesempatan untuk menduduki jabatan publik jika sesuai kapasitasnya. Beberapa waria mencoba masuk ke pelayanan publik seperti Merlyn Sofyan yang mencoba mencalonkan diri sebagai Walikota Malang tahun 2003, Ketua Forum Komunikasi Waria Indonesia Yulianus Rettblaut atau Mami Yuli yang pernah menjajal sebagai komisioner Komnas HAM tahun 2007 dan 2012 serta komisioner LPSK tahun 2013.

Ketua waria di satu kabupaten di Sulawesi mengaku sekitar 70 anggotanya bekerja sebagai wiraswasta yakni buka warung, salon dan menjadi perias pengantin karena sulit bekerja dengan penampilan waria. Ngotot ingin mempertahankan penampilan sebagai perempuan meski berkelamin laki-laki bukan hanya menyulitkan mendapat pekerjaan tetapi juga membuat para waria ini enggan ke Puskesmas untuk rutin memeriksa diri meski mereka berperilaku seksual aktif. Dampaknya bisa mengarah pada penyebaran virus HIV dan penyakit seksual lain yang seharusnya bisa dicegah.

Solusi Pekerjaan Bagi Waria

Tanpa pekerjaan tentu saja membuat waria kesulitan menghidupi dirinya. Akibatnya banyak waria memilih menjadi pengamen jalanan sebagai solusi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, beruntung jika bisa bekerja di salon dengan gaji tetap. Laporan tentang transgender yang diterbitkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia tahun 2015, kelompok waria paling banyak mendapat diskriminasi karena penampilan sehingga hak ekonomi mereka terbatas sehingga masuk dalam dunia prostitusi tidak bisa dihindari.

Menurut Early Dewi, staf ILO Indonesia yang menangani soal LGBT termasuk waria, pekerja seks tidak termasuk sebagai kategori pekerjaan. Karena itu ILO Jakarta pada tahun 2017 sudah melakukan pelatihan literasi finansial untuk memampukan mengelola keuangan dan pelatihan membuat rencana usaha pada 2018 untuk transgender. Namun Early Dewi mengakui waria yang bisa bekerja di perusahaan kosmetik, hotel, penata acara, periklanan semuanya tidak berpenampilan sebagai waria.

Identitas sosial seorang waria adalah pria. Sebaliknya ada perempuan yang ingin menjadi pria (transgender) yang menutupi kemaskulinannya dengan mengenakan jilbab. Dari hasil survei PRIDE-ILO yang dirilis tahun 2016, dengan menutupi identitas gender dan orientasi seksual hampir 75% responden LGBT dan waria di Jakarta, Yogyakarta, Kupang dan Pontianak mengaku bisa mempunyai pekerjaan dengan status pekerjaan penuh waktu (full-time). Artinya masyarakat tidak pernah dididik untuk menerima kehadiran LGBT di ranah publik. Menyembunyikan preferensi seksual dan berpakaian sebagai pria bagi waria, menutupi masa lalu saat masih memiliki jenis kelamin lahiriah bagi transgender adalah solusi jangka pendek yang bisa dilakukan.

Sekarang tantangan yang ada bukan soal pendidikan dan keterampilan yang dimiliki oleh para waria tetapi kemauan para pemberi kerja untuk memberi pekerjaan bagi pria berpenampilan perempuan. Sejauh ini menurut Early Dewi, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) masih fokus pada urusan perburuhan pekerja pria dan wanita sehingga belum masuk ke ranah LGBT dan waria. Rujukan gender yang ada di berbagai peraturan pun hanya merujuk pada pria dan wanita. Peraturan untuk tidak melakukan diskriminasi seperti pada UU Ketenagakerjaan No. 13/2003, UU Serikat Pekerja No. 21/2000 dan UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial No. 2/2004 guna melindungi pekerja yang diberhentikan berdasarkan diskriminasi gender tidak mencakup transgender dan waria. Ini adalah persoalan pelik karena menyangkut perubahan peraturan undang-undang yang memakan proses panjang dan lama. Lagipula Indonesia dengan toleransi yang semakin tergerus makin sulit menerima perbedaan orientasi seksual. Tampaknya hak bekerja bagi waria belum bisa dipenuhi sampai ada kemauan politik dari eksekutif dan legislatif. Menutupi identitas seksual sebagai waria dengan identitas sosial sebagai pria tampaknya masih menjadi solusi untuk para waria Indonesia.

Guna menyediakan kesempatan bekerja kepada waria, Jefry Dianto, pendiri Yayasan Imago Dei menyediakan rumah singgah dan pelatihan bekerja bagi para waria. Dari pengalaman mendampingi para waria selama enam tahun terakhir ini, Jefri Dianto menemukan banyak pria menjadi waria karena pengaruh lingkungan sehingga dengan fokus pada pekerjaan dan tinggal terpisah dari lingkungan memudahkan para pria ini menemukan jati diri mereka kembali. Hasilnya beberapa waria ada yang sudah bisa mandiri, ada yang melanjutkan sekolah dan bahkan ada yang menikah dan punya anak, tapi tak sedikit yang tetap bertahan sebagai pengamen dan pekerja seks. Namun yang terpenting adalah peran negara untuk tidak mengabaikan dan meminggirkan waria. Sikap diskriminatif dan menganggap waria sesat justru akan membuat mereka semakin terpuruk dan mendorong waria masuk ke dunia prostitusi yang minim akses perlindungan kesehatan seksual. Upaya memberikan kehidupan yang lebih baik melalui kesempatan kerja tetap dibutuhkan waria karena waria juga butuh pekerjaan.

Penulis: @monique_rijkers adalah wartawan independen, IVLP Alumni, pendiri Hadassah of Indonesia, inisiator Tolerance Film Festival dan inisiator #IAMBRAVEINDONESIA.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis

*Bagi komentar Anda dalam kolom di bawah ini.