Menikah kemudian tinggal di luar negeri bukan melulu penuh keromantisan. Beberapa korban kekerasan domestik kadang takut bercerita. Sekolah Virtual Perempuan menawarkan bantuan.
Iklan
Sekolah Virtual Perempuan dibangun untuk memberdayakan perempuan yang tinggal di mancanegara agar bisa lebih melindungi hak-hak mereka. Saat pandemi melanda dunia. Aktivis asal Indonesia, Anna Knölb bersama beberapa teman perempuan di beberapa negara lainnya di Eropa, berinisiatif untuk membuat komunitas diaspora Indonesia yang berbeda lewat sekolah digital itu.
Program penting yang menjadi perhatian dalam program Sekolah Virtual Perempuan adalah menghentikan kekerasan terhadap perempuan dan pelecehan seksual. Di samping itu yang juga menjadi perhatian adalah problematik kawin campur. Anna Knöbl salah satu penggagasnya bercerita lebih ada banyak isu-isu yang dianggap tabu atau tidak populer namun mewarnai kehidupan perempuan Indonesia di luar negeri. Untuk itu salah satu proyek yang diabuat di Sekolah Perempuan Virtual ini adalah kelas kolase virtual. "Karena kami berpikir bahwa kolase ini adalah seni atau teknik visual yang sederhana alat dan bahannya, tapi bisa menghasilkan karya visual yang luar biasa. Karena dengan kolase ini kami bisa merepresentasikan pendapat atau suara perempuan yang tidak bisa terlihat jelas artikulasinya melalui tulisan. Lalu, seni kolase ini juga bisa menghasilkan ruang diskusi antara pembuat kolase dan penikmat karya kolase tersebut," ungkap Anna.
Yang kedua, Sekolah Perempuan Virtual mempunyai program penyadartahuan WNI atau diaspora Indonesia melalui program riset dan juga kolaborasi dengan institusi yang sejenis. Misalnya, sesi konseling virtual kelompok, yang melibatkan lembaga psikologi dan feminis.
Menepis rasa takut
Lewat Sekolah Virtual Perempuan menurut Anna, banyak perempuan yang selama ini masih merasa khawatir, takut untuk bercerita dan mereka masih kesulitan dengan bahasa tempat tinggal mereka, akhirnya mereka bisa terhubung untuk bisa berbagi pengalaman dan juga berdiskusi, menyelenggarakan acara-acara atau kelas virtual, konser virtual. "Jadi hal yang unik dari sekolah virtual perempuan ini adalah keberagaman. Kami memiliki beragam latar belakang lokasi, negara, tingkat pendidikan dan profesi," papar Anna.
Rizki Suryani, salah satu anggota Sekolah Virtual Perempuan bercerita lewat jaringan ini para perempuan juga bisa saling menguatkan dan membantu satu sama lain, jika terjadi kesulitan. "Pasti sulit ya. Apalagi kita perantau. Apalagi kalau kita baru tinggal di sini yang kita tidak tahu apa-apa tentang sistem hukum mereka kan atau bagaimana kalau kita ada masalah, lalu bagaimana begitu. Kita tidak punya teman atau teman baru pun tidak ada," ungkapnya.
Iklan
Tantangan hidup di mancanegara
Mereka juga saling berbagi pengalaman dalam diskusi tentang pekerja ilegal. "Karena kebanyakan kita juga berpikir begitu indahnya tinggal di luar negeri, akan tetapi kenyataannya tidak seperti itu, dan begitu banyak orang Indonesia tertarik untuk tinggal di luar negeri, sehingga menghalalkan segala cara. Jadi kami berpikir perlunya membuka cakrawala pemikiran melalui tema-tema seperti pekerja ilegal," tandas Anna Knöbl. Selain juga berdiskusi mengenai kawin campur antarbangsa, Sekolah Virtual Perempuan juga membahas budaya atau bahasa yang menjadi tantangan tersendiri bagi diaspora Indonesia yang tinggal di luar negeri.
"Ada banyak hal yang mungkin kita tahu karena kami tinggal di luar negeri atau di Eropa, contohnya, KDRT. Karena kekerasan dalam rumah tangga masih dianggap tabu atau masih menjadi aib yang sulit untuk diceritakan. Padahal bagaimana kita bisa melindungi diri, kalau kita tidak bisa melaporkan atau menceritakan apa yang terjadi," ujar Anna. Ia dan kawan-kawannya dalam jaringan tersebut berharap menyentuh perwakilan pemerintah Indonesia di luar negeri agar mereka bisa membuat kebijakan atau standar perlindungan WNI di luar negeri, "Saat pandemi, angka KDRT begitu meningkat, dan kami berpikir bahwa ini sangat menarik kalau semisal perwakilan pemerintah Indonesia di luar negeri bisa terlibat bersama kami untuk bisa membuat standar atau pengaduan yang sangat membantu WNI atau diaspora Indonesia yang mengalami KDRT.," kata Anna.
WNI juga memerlukan pembekalan untuk menghadapi gegar budaya di luar negeri, menurut Anna, dan membekali diri untuk bisa melindungi diri saat terjadi kekerasan atau saat terjadi hal-hal yang tidak dikehendaki. "Biasanya hal ini menimpa diaspora Indonesia karena ketidaktahuan, termasuk juga ketidakmampuan bahasa yang dikuasai di wilayah tinggal mereka. Sehingga ini sangat penting, untuk kami yang bisa membantu mereka, untuk terhubung dengan mereka secara solidaritas," pungkas Anna.
Kekerasan Terdokumentasi dalam 16 Benda Sehari-Hari
Berkaitan dengan 16 hari kampanye PBB demi pemberantasan kekerasan terhadap perempuan, Dana Penduduk PBB (UNFPA) mengumpulkan 16 benda dari kasus kekerasan dan penganiayaan di berbagai negara.
Foto: UNFPA Yemen
"Ini Patahan Gigi Saya, Setelah Suami Memukuli Saya"
Ameera (bukan nama asli) baru 13 tahun ketika ia dinikahkan dengan seorang pria tua di Yaman. Suatu hari, karena ia terlambat membangunkan suaminya yang sedang tidur siang, suaminya memukulinya dengan sapu, hingga hidungnya retak dan sebagian giginya patah. Ameera kini tinggal di rumah penampunya yang didukung dana UNFPA. Ia menyimpan patahan gigi sebagai bukti di pengadilan.
Foto: UNFPA Yemen
Kekerasan Diteruskan ke Generasi Berikutnya
Omar (bukan nama sebenarnya) di Maroko merusak piano mainannya ini, saat berusaha menjaga ibunya dari pukulan tangan ayahnya. Ketika itu Omar baru berusia enam tahun. Ibunya mengatakan dengan keselamatan anaknya. "Saya ingin masa depan lebih indah bagi anak-anak saya."
Foto: UNFPA Morocco
"Kami Pertaruhkan Nyawa Tiap Hari Karena Kumpulkan Kayu untuk Memasak"
Di kawasan yang dilanda krisis kemanusiaan, perempuan jadi target empuk. Zeinabu (22) diserang milisi Boko Haram ketika mengumpulkan kayu bakar di dekat kamp pengungsi di bagian timur laut Nigeria. Banyak perempuan lainnya juga diperkosa, diculik atau dibunuh ketika mengumpulkan kayu bakar untuk memasak. Ini foto seikat kayu kering yang dikumpulkan Zeinabu.
Foto: UNFPA Nigeria
Tali Yang Digunakan Ayah Setiap Kali Memperkosa Anaknya
Inilah tali yang digunakan ayah Rawa (bukan nama asli) setiap kali memperkosanya. Perang bisa sebabkan kondisi berbahaya bagi perempuan, bahkan di rumah sendiri. Di Yaman, salah satu negara dengan bencana kemanusiaan terbesar di dunia, kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat lebih dari 60%. Salah satu penyebabnya stres berat. Sementara kasus Rawa tidak bisa dimengerti sama sekali.
Foto: UNFPA Yemen
Kekerasan Sebabkan Sakit, Trauma atau Berbuntut Kematian
Martha dirawat dengan obat dan perban untuk pertolongan pertama setelah dipukuli suaminya di Lusaka, Zambia. "Wajahnya babak belur," kata pembimbing di tempat penampungan. "Ia juga menderita luka di punggung. Martha mengatakan, kalau ia tidak melarikan diri, suaminya kemungkinan akan membunuhnya." Dua pertiga korban kekerasan rumah tangga adalah perempuan dan anak perempuan.
Foto: Young Women Christian Association of Zambia and UNFPA
Bayangan Gelap Kekerasan Berdampak pada Seluruh Keluarga
Keluarga Tatiana di Ukraina terpecah belah akibat suaminya yang meneror dengan kekerasan. Sekarang Tatiana sudah terlepas dari suaminya. Tetapi ia dan enam anaknya masih berusaha membangun hidup baru di rumah yang sempit. "Saya sekarang hidup bagi anak-anak saya," katanya.
Foto: UNFPA Ukraine/Maks Levin
Penyiksaan Psikologis Juga Bentuk Kekerasan
Di Bolivia, pacar Carmen (bukan nama asli) selalu menertawakan penampilannya. Ia mengejek baju dan gaya Carmen. Oleh sebab itu, Carmen selalu bersembunyi di toilet di universitas, termasuk yang tampak pada foto. Perlakuan seperti itu dampaknya dalam, katanya. Itu berefek pada keyakinan diri dan bisa mengubah seseorang.
Foto: UNFPA Bolivia/Focus
Jejak Kaki Saat Melarikan Diri
"Saya ditampar kemudian diseret suami saya." Begitu cerita Sonisay (bukan nama sebenarnya) di Kamboja. Ini foto telapak kaki Sonisay di pekarangan rumah, saat lari dari suaminya. Secara global, sepertiga perempuan mengalami kekerasan, dalam bentuk apapun. Dan itu kerap disebabkan oleh seseorang yang dikenalnya.
Foto: UNFPA Cambodia/Sophanara Penn
"Ia Didorong ke Tempat Tidur kemudian Dicekik"
Kekerasan seksual bisa mengubah hidup perempuan sepenuhnya akibat teror, stigma, penyakit atau kehamilan. Di Yordania, seorang perempuan pergi ke klinik untuk minta bantuan medis. Di sana ia lega setelah diberitahu tidak hamil. "Tapi ia tetap syok dan sedih," kata Dr. Rania Elayyan. Seperti halnya banyak orang lain yang selamat dari serangan. Perempuan ini memilih tidak melaporkan nasibnya.
Foto: UNFPA Jordan/Elspeth Dehnert
Perempuan Berusaha Minimalisasi Kekerasan
Di kawasan krisis, perempuan juga menghadapi kesulitan mencari tempat yang bisa didatangi, juga berpakaian untuk minimalisasi ancaman kekerasan. Kekerasan seksual merajalela di kalangan Rohingya yang lari dari krisis di Myanmar. Ini foto gundukan pakaian di luar kamp pengungsi di Bangladesh, yang ditolak perempuan karena dianggap bisa menyulut perhatian yang tidak diinginkan dari pria.
Foto: UNFPA Bangladesh/Veronica Pedrosa
"Ia Membawa Saya Ke Rumahnya"
Di Zambia, Mirriam (14) mengunjungi pusat konseling setelah dipaksa menikah dengan pria berusia 78 tahun. "Rasa sakit hampir tidak tertahan," kata Mirriam. "Ia mengatakan saya harus melakukannya karena saya sekarang istrinya." Di negara berkembang, rata-rata satu dari empat anak perempuan dipaksa menikah. Namun pernikahan anak-anak juga bisa ditemukan di negara berkembang.
Foto: Young Women Christian Association of Zambia and UNFPA
Mutilasi Berujung Penderitaan
Seorang perempuan yang biasa melakukan mutilasi genital atau FGM (Female Genital Mutilation) di Somalia kini menyadari bahayanya. “Anak perempuan saya jatuh sakit setelah melalui FGM,” demikian diakuinya. Tapi ia memperkirakan, FGM tidak bisa dihapuskan dengan mudah.
Foto: Reuters/S. Modola
Perampasan Hak Finansial Juga Suatu Kekerasan
Hakim di Nikaragua mengeluarkan keputusan hukuman terhadap ayah Sofia (bukan nama sebenarnya), yang memukuli istrinya, dan tidak memberikan dukungan finansial kepada Sofia. Ia menghentikan sokongan saat Sofia mengandung di usia 14. Hakim memutuskan, ayahnya harus memberikan sokongan sampai ia berusia 21 tahun.
Foto: UNFPA Nicaragua/Joaquín Zuñiga
"Kami Dikurung Sejak Kecil selama 20 Tahun"
Sejumlah kasus mengerikan menunjukkan bagaimana perempuan dan anak perempuan dirampas kebebasannya. Contohnya Balqees (bukan nama asli) di Yaman. Sejak berusia 9 tahun, ia dan saudara perempuannya dikurung di kamar ini. Saudara laki-laki mereka merasa, saudara perempuan mereka akan memalukan keluarga jika berbaur dengan masyarakat. Akhirnya, mereka ditinggalkan sepenuhnya dan ditolong tetangga.
Foto: UNFPA Yemen
Pria dan Anak Laki-Laki Harus Ikut Serta Menghapus Kekerasan
Ry di Kamboja mengatakan, ia sering melakukan kekerasan terhadap istrinya di rumah ini. Tapi ia kemudian ikut "Good Men Campaign" (Kampanye Pria Baik), yaitu inisiatif untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan. Sekarang ia bertekad bersikap lebih baik. "Kalau bisa kembali ke masa lalu, saya tidak akan bertengkar dengan istri saya. Malah lebih mencintai dan menghormatinya," kata Ry.
Foto: UNFPA Cambodia/Sophanara Pen
Kekerasan Tidak Boleh Diselubungi
Kisah kekerasan harus diungkap agar cakupan masalah bisa dilihat semua orang, dan jalan keluar bisa ditemukan. Di Belarus, seorang perempuan yang selamat dari KDRT menggambar bunga dalam kelas terapi. Tujuannya adalah agar mereka bisa memproyeksikan dan menangani rasa takut, dan belajar dari pengalaman. Topik kelas ini adalah "open to live" (terbuka untuk hidup). Ed.: ml/hp (Sumber: UNFPA)