Saban September tiba, publik di Indonesia kembali mengingat tragedi kemanusiaan 30 September 1965. Bagaimana menyikapi hal tersebut? Simak opini Monique Rijkers.
Iklan
Para jenderal tentara yang diisukan dibunuh oleh komunis menjadi awal saling bunuh di Jawa selama beberapa bulan hingga jumlah korban pembunuhan massal mencapai hampir satu juta jiwa menurut rilis Kopkamtib (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) pada tahun 1966. Sedangkan menurut Komnasham jumlah korban berkisar antara 500 ribu sampai tiga juta orang, termasuk yang dibuang ke Pulau Buru.
Komunisme menjadi momok terlebih karena Orde Baru mendiskriminasi mereka yang diduga berkaitan dengan komunis, dengan atau tanpa bukti. Bagi generasi pasca Reformasi, komunisme menjadi "hantu”, sesuatu yang dipercayai ada meski tak pernah benar-benar melihat orang atau organisasi yang berpaham komunisme hidup di Indonesia. Isu komunisme menjadi materi untuk membangun ketakutan dan menjadi topik narasi untuk merawat kebencian.
Berdasarkan riset Wahid Foundation tahun 2017 komunis adalah hal paling dibenci setelah LGBT yang diikuti dengan isu Yahudi di tempat ketiga. Kebencian tentu bukan untuk dipelihara karena itu sangat perlu dilakukan pelurusan sejarah terkait peristiwa 1965 dengan mengungkapkan kebenaran dan mengakui kesalahan masa lalu. Salah satu cara untuk menghentikan paranoid terhadap komunisme adalah rekonsiliasi antara korban dan pelaku yang dapat diawali dengan kesadaran untuk meminta maaf terhadap korban.
Jerman menjadi contoh yang tepat untuk hal ini. Meski Jerman bukan berarti Nazi, namun atas nama pemerintah Jerman Kanselir Jerman Angela Merkel telah meminta maaf atas Holocaust yang disampaikan pada tahun 2007 di depan Majelis Umum PBB.
Permintaan maaf atas tragedi pembunuhan jutaan orang Yahudi kembali diulang Merkel saat berkunjung ke Knesset (Parlemen Israel) tahun 2008. Permintaan maaf Merkel tentu tak akan membuat para penyintas dan keluarga mereka melupakan tragedi kemanusiaan tersebut. Namun kesalahan yang dilakukan oleh Nazi dan akhirnya melibatkan banyak warga Jerman membuat Merkel mengakui kesalahan itu dan meminta maaf. Kebesaran jiwa Merkel membuat ia mendapat Penghargaan Perdamaian Seoul pada tahun 2014.
Keterlibatan Asing dalam Pembantaian 1965
Sejarah mencatat pembantaian simpatisan PKI 1965 adalah buah kotor percaturan politik dunia di era Perang Dingin. Bahkan propaganda anti komunis yang disebarkan di Indonesia pun dirancang dan disusun di luar negeri
Foto: Yoichi Robert Okamoto
Dunia Terbelah Dua
Pada dekade 60an dunia didera konflik ideologi antara Amerika dan Uni Sovyet. Akibatnya perang proksi menjalar ke berbagai belahan Bumi. Jerman terbelah dua dan negara berkembang menjadi lahan lain perseteruan dua adidaya tesebut. Tahun 1963 Amerika Serikat gagal menjatuhkan benteng Komunisme di Kuba. Presiden baru AS, Lyndon B. Johnson, lalu beralih menginvasi Vietnam Utara.
Foto: Getty Images/P. Christain
Adu Jotos di Negeri Orang
Bagaimana kedua adidaya menjadikan negara berkembang sebagai catur politik terlihat dari banyaknya perang proksi. Dekade 1960an mencatat sedikitnya 50 konflik semacam itu, yang terbanyak selama Perang Dingin. Uni Sovyet dan Cina terutama getol memasok senjata buat pemberontak komunis. (Gambar: Pemimpin Cina Mao Tse Tung dan penguasa Sovyet Nikita Khrushchev di Beijing, 1959)
Foto: AP
Pemberontakan Komunis Malaysia
Lima tahun sebelum peristiwa G30S, Malaysia telah mendahului lewat perang antara Malayan National Liberation Army yang didukung Partai Komunis dan tentara persemakmuran pimpinan Inggris. Konflik serupa terjadi di Kongo, India, Bolivia dan Kolombia.
Foto: Public Domain
Primadona Perang Dingin
Indonesia adalah medan perang lain antara Amerika Serikat dan Uni Sovyet. Mulai dekade 50an, Presiden Soekarno menjadi primadona politik yang diperebutkan oleh Presiden AS John F. Kennedy dan penguasa Uni Sovyet, Nikita Khrushchev. Saat itu Indonesia sudah menjadi salah satu kekuatan terbesar di Asia Tenggara dan mulai diperhitungkan di dunia.
Foto: Central Press/Hulton Archive/Getty Images
Petualangan di Timur
Soekarno yang mulai menua justru merasa Indonesia cukup kuat untuk menanggalkan asas netralitas dan menghidupkan poros Moskow-Beijing-Jakarta. Memasuki dekade 1960an, Uni Sovyet tercatat sebagai pemberi bantuan terbesar ke Indonesia, melebihi negara lain. Petualangan politik itu kemudian ternyata berujung fatal buat Indonesia
Foto: picture-alliance/Everett Collection
Manuver Sukarno
Hubungan Indonesia dan barat remuk setelah Amerika Serikat membantu pemberontakan PRRI/Permesta tahun 1958. Sebagai balasan Sukarno memerintahkan agresi militer terhadap Malaysia buat menentang pembentukan negara persemakmuran oleh Inggris. Soekarno saat itu beralasan dirinya menentang neo kolonialisme. Realitanya ia menyokong pemberontakan kelompok Komunis Malaysia di Serawak.
Foto: gemeinfrei
Harapan di Tangan Tentara
AS pun mulai berupaya menggembosi Partai Komunis Indonesia. Mereka mengkhawatirkan Soekarno yang mulai tua akan mewariskan tahta kepada PKI. Kendati dimusuhi Jakarta, dinas rahasia barat tetap menjalin kontak dengan TNI yang dianggap satu-satunya harapan memberangus komunisme di Indonesia. Hingga peristiwa 65, AS telah melatih setidaknya 4000 perwira TNI.
Bantuan dari Jerman
Tahun 1971 mingguan Jerman Der Spiegel melaporkan pada 1965 dinas rahasia BND bekerjasama dengan CIA memerangi PKI di Indonesia. BND antara lain membantu TNI dengan memasok senjata api, alat komunikasi dan uang senilai 300.000 DM atau sekitar 700 ribu Euro.
Foto: Imago
Pujian Gehlen buat Suharto
Tahun 1965 BND memiliki seorang agen rahasia, eks perwira NAZI, Rudolf Oebsger-Röder yang menyamar sebagai wartawan di Jakarta. Reinhard Gehlen (gambar), Presiden BND, menulis dalam memoarnya bahwa keberhasilan Suharto "menumpas PKI patut dihargai setinggi tingginya." Gehlen mengaku kehilangan "dua teman dekat" yang ikut dibunuh pada peristiwa G30S, salah satunya Brigjen Donald Isaac Pandjaitan
Foto: picture-alliance/dpa
Propaganda Kiriman Barat
National Security Archive di AS mencatat dinas rahasia Inggris, MI6, yang beroperasi dari Singapura, menggandeng dinas rahasia Australia buat merancang propaganda hitam terhadap PKI, etnis Cina dan Sukarno. MI6 bahkan memanipulasi pemberitaan media asing seperti BBC. Propaganda yang banyak berkaca pada pemberontakan komunis Malaysia itu lalu diadopsi berbagai media Indonesia yang dikuasai TNI
Foto: Getty Images/C. Goldstein
Daftar Maut Amerika
Tidak banyak kejelasan mengenai keterlibatan langsung dinas rahasia asing terhadap pembantaian simpatisan PKI. Yang jelas sejarah mencatat bagaimana Kedutaan Besar Amerika Serikat menyerahkan daftar berisikan 5000 nama jajaran pimpinan PKI kepada TNI. Dokumen tersebut, kata Robert J. Martens, atase politik di kedubes AS, "adalah bantuan besar buat TNI."
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
Darah Disambut Pesta
Di hari-hari pembantaian itu dunia merayakan kehancuran PKI di Indonesia. PM Australia Harold Holt (ki.) berkomentar "dengan dibunuhnya 500 ribu sampai 1 juta simpatisan Komunis, aman untuk berasumsi bahwa reorientasi (di Indonesia) sedang berlangsung." Ironisnya Uni Sovyet cuma bereaksi dingin dengan menyebut pembantaian tersebut sebagai "insiden yang tragis."
Foto: Yoichi Robert Okamoto
12 foto1 | 12
Permintaan maaf terhadap tragedi kemanusiaan juga dilakukan oleh Pemerintah Belanda terhadap keluarga korban pembantaian Westerling di Sulawesi Selatan tahun 1946-1947 dan korban agresi militer Belanda 1947 di Rawagede, Jawa Barat. Meski permintaan maaf itu dilakukan setelah adanya gugatan hukum keluarga korban melalui pengadilan di Belanda, Pemerintah Belanda menunjukkan niat baik dengan menyampaikan permintaan maaf dan memberikan kompensasi ganti rugi kepada keluarga korban.
Permintaan maaf bukan disampaikan langsung oleh Perdana Menteri Belanda Mark Rutte tetapi melalui Duta Besar Belanda Tjeerd de Zwaan pada 12 September 2013. Empat belas keluarga korban menerima kompensasi masing-masing sebesar 20 ribu Euro.
Selain Belanda, Jepang yang berkuasa sekitar tiga tahun di Indonesia turut meminta maaf atas kekejaman Jepang terhadap rakyat Indonesia. Pernyataan tersebut disampaikan oleh Perdana Menteri Tomiichi Murayama tahun 1995 dan diulangi kembali oleh Perdana Menteri Shinzo Abe tahun 2015 saat memperingati berakhirnya perang dunia kedua. Namun Jepang tidak meminta maaf atas penindasan terhadap para perempuan yang dijadikan budak seks (jugun ianfu) meski Jepang sudah memberi kompensasi kepada jugun ianfu dari Korea Selatan.
Perlukah Permintaan Maaf Terhadap Bangsa Indonesia Sendiri?
Lantas bagaimana dengan pembunuhan massal 1965 di Indonesia, perlukah pemerintah meminta maaf atas peristiwa tersebut kepada para korban?
Sejauh ini belum pernah ada pernyataan maaf dari pemerintah, bahkan ketika Gus Dur menyampaikan permohonan maaf kepada Pramoedya Ananta Toer, penulis yang menjadi tahanan politik masa Orba saat berjumpa tahun 1999, sebagian elite Nadhlatul Ulama menganggap itu permintaan maaf pribadi.
PBNU melalui Ketua Slamet Effendi Yusuf (alm) pada tahun 2013 telah menegaskan menolak meminta maaf meski dalam berbagai dokumen rahasia yang diungkap oleh Pemerintah Amerika Serikat terdapat beberapa indikasi adanya pelibatan kelompok Islam oleh militer Indonesia untuk melawan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Salah satu contoh adalah Telegram bernomor 183 yang dikirim oleh Konsul Amerika Serikat di Surabaya berisi pesan saksi mata, "Pembunuhan di Jawa Timur memiliki warna Perang Suci, pembunuhan terhadap kafir seharusnya memberikan tiket ke surga.” Dalam dokumen Telegram bernomor 187 yang dikirim oleh Konsul Amerika Serikat di Surabaya untuk Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta tertulis, "Laporan tersebut menggambarkan pembunuhan tersebut telah dipimpin oleh "Muslim”.
Operasi pembersihan di Surabaya dilaporkan memakan waktu lebih lama karena banyaknya simpatisan PKI di daerah tersebut. Wakil Gubernur Jawa Timur Satryo dilaporkan "diam dalam rumah” sementara pembersihan terjadi.” Arsip dokumen tersebut melengkapi fakta sejarah yang dipublikasikan oleh PBNU tahun 2014 dalam buku "Benturan NU-PKI 1948-1965”
Tembok Pembelah Bangsa
Dibangunnya Tembok Berlin menjadikan negara Jerman secara "resmi" dibagi dua. Tembok ini turut berperan dalam merenggut nyawa mereka yang mencari kebebasan.
Foto: picture-alliance/dpa
Pernyataan Ulbricht
"Tidak seorangpun berencana untuk membangun tembok!" Demikian diucapkan pimpinan Jerman Timur (DDR) Walter Ulbricht pada tanggal 15 Juni 1961 dalam sebuah konferensi pers di depan wartawan internasional. Dua bulan kemudian datang perintah darinya untuk menutup daerah perbatasan di Berlin.
Foto: picture-alliance / akg-images
Sebuah Kota Dibelah
Pagi hari tanggal 13 Agustus 1961, para petugas perbatasan dibantu oleh polisi dan kelompok para militer mulai membangun barikade di sepanjang perbatasan.
Foto: AP
Tembok Dibangun
Beberapa hari kemudian, para pekerja mulai membangun tembok. Tembok dari batu bata kini mulai mengganti kawat berduri yang membelah kota Berlin.
Foto: AP
Checkpoint Charlie
Di gerbang perbatasan AS "Checkpoint Charlie“ secara demonstratif tank AS mondar-mandir di depan tank-tank Soviet. Namun akhirnya kedua pihak menarik mundur tentaranya. Pasukan AS masih memiliki hak untuk menyeberang ke Berlin Timur.
Foto: picture-alliance/akg-images
Saksi Sejarah
Garis pembatas tampak paling menyolok di Jalan Bernauer. Tembok pemisah dibangun tepat di depan rumah-rumah di wilayah Berlin Timur. Sementara trotoar masuk ke wilayah Berlin Barat. Jalan ini merupakan tempat terjadinya peristiwa-peristiwa dramatis, usaha untuk menyeberang ke Barat. Di jalan inilah, jatuh korban Tembok Berlin pertama.
Foto: picture-alliance / akg-images
Peristiwa Dramatis
Satu hari sebelum ulang tahunnya ke 59, pada tanggal 22 Agustus 1961, Ida Siekmann melompat dari apartemennya di tingkat 3 di Jalan Bernauer No. 48. Ia berhasil melompati tembok pembatas, tapi jatuh terbanting ke trotoar dan tewas. Setelah kejadian ini, seluruh jendela rumah yang menghadap ke Berlin Barat juga ditembok.
Foto: picture-alliance / akg-images
Catatan Mengerikan
11 hari setelah dibangunnya Tembok Berlin, pada tanggal 24 Agustus 1961, seorang warga Berlin Timur ditembak mati ketika mencoba menyeberang ke Barat. Antara tahun 1961 sampai 1989, sedikitnya 136 warga yang berusaha menyelinap ke Barat tewas.
Foto: picture-alliance/dpa/dpaweb
Akhir Masa Kelam
Selama 28 tahun lamanya, Tembok Berlin menjadi simbol konflik antara Barat dan Timur dan simbol perpecahan Jerman. Dengan dibukanya perbatasan pada tanggal 9 November 1989, Tembok Berlin hanya menjadi bagian kelam dari sejarah Jerman.
Foto: picture-alliance/dpa
8 foto1 | 8
Permintaan Maaf Terhadap Para Korban '65 Bukan Kepada PKI
Pada Pengadilan Rakyat Internasional 1965 di Den Haag, Belanda yang berlangsung November 2015 silam sejarawan Asvi Warman Adam berharap Presiden Joko Widodo meminta maaf atas kesalahan negara pada peristiwa 1965. Namun pada Juni 2016, Presiden Joko Widodo saat berada di Mabes TNI menyatakan tidak ada rencana meminta maaf terhadap PKI. Hal ini menurut penulis sangat penting diluruskan bahwa desakan meminta maaf tersebut adalah kepada para korban peristiwa '65 bukan kepada PKI.
Sebagaimana Pemerintah Belanda dan Jepang meminta maaf kepada keluarga korban di Indonesia demikian juga halnya dengan Pemerintah Indonesia sepatutnya menyampaikan permintaan maaf atas tragedi kemanusiaan yang menimpa sesama anak bangsa. Presiden Joko Widodo idealnya bisa menyampaikan permintaan maaf tersebut saat menghadiri Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober mendatang.
Jiwa besar yang ditunjukkan oleh pemimpin Jerman, Belanda dan Jepang menjadi teladan bagi kita di Indonesia agar dapat mengakui kesalahan dan mewujudkan keinginan rekonsiliasi. Permintaan maaf tidak menyelesaikan persoalan namun permintaan maaf dapat mengurangi beban masa lalu yang diemban keluarga korban, mematahkan stigma yang dilekatkan oleh pemerintahan Soeharto serta menjadi awal rekonsiliasi nasional antara sesama warga negara Indonesia. (ap/vlz)
Penulis @monique_rijkers adalah wartawan independen, IVLP Alumni, pendiri Hadassah of Indonesia, inisiator Tolerance Film Festival dan inisiator #IAMBRAVEINDONESIA.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis
*Bagi komentar Anda dalam kolom di bawah ini.
Monumen Mengenang Korban Rezim Komunisme
Hingga Tembok Berlin runtuh tahun 1989, sekitar sepertiga warga dunia masih hidup di bawah rezim komunis. Melalui monumen dan karya seni, negara-negara berikut ingin menegaskan kalau para korban tidak dilupakan.
Foto: Bundesstiftung zur Aufarbeitung der SED-Diktatur
Kamboja: Korban Khmer Merah
Diperkirakan 2,2 juta orang Kamboja dibunuh selama pemerintahan teror Khmer Merah yang berhaluan komunis. Jumlah ini setara dengan separuh populasi negara itu. Setelah diinvansi oleh tentara Vietnam yang juga komunis, sisa-sisa jenazah manusia dan tengkorak dipamerkan kepada masyarakat guna memperingati kejahatan perang. Bahkan hingga kini, diduga masih ada kuburan massal yang belum ditemukan.
Foto: Bundesstiftung zur Aufarbeitung der SED-Diktatur
Jerman: Memorial Hohenschönhausen
Lebih dari 11.000 orang dipenjara antara tahun 1951 hingga 1989 di pusat penahanan polisi rahasia Jerman Timur (Stasi). Sebelumnya, bangunan di area Berlin Hohenschönhausen ini digunakan oleh tentara pendudukan Soviet sebagai kamp khusus untuk orang-orang yang dituduh melawan rezim. Dari sana, para tahanan diangkut ke kamp kerja paksa Gulag, banyak yang mati karena kelaparan dan kelelahan.
Foto: picture alliance/dpa/P. Zinken
Korea: "Jembatan Kebebasan"
Jembatan di atas Sungai Imjin ini didirikan awal abad ke-20, dan menjadi satu-satunya jembatan yang menghubungkan Korea Utara dengan Selatan. Jembatan ini juga memegang peran besar bagi kepentingan militer selama Perang Korea tahun 1950-1953. Dari sisi selatan melalui dermaga kayu Anda dapat mencapai perbatasan. Banyak pengunjung yang meninggalkan bendera dan pesan pribadi di tempat ini.
Foto: Bundesstiftung zur Aufarbeitung der SED-Diktatur
Republik Ceko: Memorial untuk para korban
Tujuh patung perunggu berdiri di tangga putih di kaki Bukit Petřin di Praha. Diresmikan tahun 2002, monumen ini dibuat oleh pematung yang juga mantan tahanan politik, Olbram Zoulbek. Monumen ini tidak hanya didedikasikan bagi mereka yang "dipenjarakan atau dieksekusi tetapi juga bagi semua orang yang hidupnya hancur oleh rezim totalitarian."
Foto: Bundesstiftung zur Aufarbeitung der SED-Diktatur
Kazakhstan: Korban kelaparan
Sekitar 1,5 juta orang dari etnis Kazakh mati karena kelaparan tahun 1932-1933. Tragedi ini terjadi diantaranya karena kegagalan sistem pertanian kolektif yang dipaksakan oleh rezim Soviet. Patung di Ibukota Astana ini dibuat untuk mengenang para korban dan diresmikan 31 Mei 2012, yang merupakan hari nasional untuk memperingati para korban penindasan politik.
Foto: Dr. Jens Schöne
Georgia: Museum pendudukan Uni Soviet
Di kota kelahirannya di Gori, Georgia, diktator Soviet Joseph Stalin menjadi pahlawan dan ada museum yang memakai namanya. Ini terjadi dalam jangka waktu 65 tahun setelah kematiannya dan 27 tahun setelah Georgia kembali merdeka. Namun saat ini ada rencana untuk mengubah isi pameran di museum karena kejahatan Stalin menjadi isu sentral di Museum Nasional Georgia di Tbilisi sejak 2006.
Foto: Bundesstiftung zur Aufarbeitung der SED-Diktatur
Amerika Serikat: Para korban di desa Katyn
Pada 1940, Soviet membunuh sekitar 4.400 tahanan perang Polandia, utamanya para perwira, di sebuah hutan dekat desa Katyn di Rusia. Di Polandia, pembantaian ini identik dengan serangkaian pembunuhan massal. Inisiatif pendirian monumen di New Jersey ini diawali oleh seorang migran Polandia di AS untuk mengenang semua korban komunisme Soviet. (ae)