1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Berkunjung ke Museum Sambil "Nge-Tweet"

Kathrin Erdmann25 Februari 2013

Museum-museum di Jerman mulai memanfaatkan kekuatan jejaring sosial. Tren terbaru adalah panduan museum dengan Twitter. Di kota Hamburg, konsep "Tweetups" ini telah diterapkan.

Foto: M.Schönebäumer / DEICHTORHALLEN HAMBURG GMBH

Pada kesan pertama, tidak ada yang aneh dari panduan museum di Harburg, Hamburg yang menampilkan koleksi seni Falckenberg. Seorang pemandu bercerita dan kelompok pengunjung mendengarkannya. Tapi para pengunjung yang berusia antara 20 dan 50 tahun, tidak memperhatikannya. Mereka sibuk mengetik di smartphone masing-masing. Dengan memakai hashtag atau tagar #falckentweet mereka bisa menulis kesan mereka tentang koleksi seni tersebut.

Bebas Berpendapat

Saat Britta Peters memperkenalkan karya pertama, Anna langsung turut mengetik: "Saya memotretnya dan men-tweet, bahwa saya menyukai warna koleksi ini." Ia menambahkan, "Biasanya kalau di museum suka dilihat orang kalau memakai telefon genggam, tapi di sini tidak."

Dunia digital dan museum bersatuFoto: M.Schönebäumer / DEICHTORHALLEN HAMBURG GMBH

Lain lagi dengan Rene yang merasa tertekan, karena ia tahu teman-temannya bisa melihat apa yang ia komentari di akun Twitter-nya. Ia tidak hanya harus mendengarkan keterangan pemandu Britta Peters, tapi juga harus mengetik, memotret dan mengunggahnya.

Panduan Eksklusif

Tidak hanya tweet dari pengunjung yang bisa dibaca di #falckentweet. Tapi banyak juga yang berkomentar dan mengajukan pertanyaan kepada para pengunjung dan museum. Termasuk Christian Gries, pakar sejarah seni yang mendirikan jaringan "Kulturkonsorten". Ia menawarkan panduan museum lewat Twitter. "Bisa dengan menampilkan fokus tertentu atau men-tweet hal-hal yang biasanya tidak dilihat pengunjung." Gries yakin, lewat panduan interaktif museum juga akan menarik bagi generasi muda.

Peserta tur Twitter pertama di museum di HarburgFoto: M.Schönebäumer / DEICHTORHALLEN HAMBURG GMBH

Sayang konsep baru ini tidak didukung dengan teknologi yang dibutuhkan. Banyak pengunjung yang tidak bisa turut "nge-tweet", karena telepon genggamnya terlalu lambat dan di museum tidak disediakan sambungan internet yang gratis dan cepat. Padahal ini dibutuhkan, supaya bisa menggunggah foto tanpa harus membebani kantong pengunjung yang membayar sendiri sambungan internet untuk teleponnya.

Martin, salah seorang pengunjung juga kesulitan untuk rajin "nge-tweet", karena baterai telepon genggamnya yang hampir habis. "Seharusnya ada tempat untuk nge-charge baterai hape", tambah Martin.

Kontak Darat dan Virtual

Setelah 1,5 jam setengah, para pengunjung tampak letih dari nge-tweet, melihat koleksi senin dan memotret. Butuh konsentrasi lebih untuk mengikuti tur museum ala Twitter ini. Tapi jika dilihat dari jumlah Tweet yang masuk dan komentar-komentar dari "dunia luar", uji coba ini sepertinya membuahkan hasil.

Para pengunjung sibuk "nge-tweet"Foto: M.Schönebäumer / DEICHTORHALLEN HAMBURG GMBH

Setelah sibuk dengan telepon genggam masing-masing, di akhir tur museum, para peserta akhirnya juga mulai saling berkomunikasi. Ini agak disayangkan oleh salah seorang pengunjung. "Lebih seru kalau bisa saling tukar pendapat secara langsung", kata Anna.

Perwakilan museum, Matthias Schönebäumer, mendengarkan pujian dan kritik tersebut. Ia juga berdiskusi dengan para pengunjung. Masih ada yang ingin ia perbaiki dari konsep tur museum dengan Twitter ini. "Kami bisa lebih fokus pada hal-hal tertentu. Jadi mungkin akan ada waktu lebih bagi pengunjung untuk saling mengenal." Tapi ia yakin, akan ada museum-museum lain yang mengikuti konsep "tur museum sambil nge-tweet".

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait