1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Ramadan yang Berbeda di Masa Pandemi Corona

14 Mei 2020

Pandemi korona membuat ritual tahunan Ramadan kali ini menjadi berbeda. Reporter DW Christoph Strack berbuka puasa bersama satu keluarga muslim di Berlin.

Masa Ramadan
Hidangan buka puasaFoto: DW/C. Strack

"Penting bagi kami merayakan Ramadan bersama keluarga," ujar Süleyman Bag, sang ayah dari keluarga muslim di Berlin. Tak berapa lama, putranya mengulangi ucapan serupa. Reporter DW Christoph Starck berkesempatan berbuka puasa bersama mereka. 

Ramadan tahun ini di Jerman berlangsung sampai tanggal 23 Mei. Di rumah itu, ada tiga hidangan lezat sederhana yang disajikan saat reporter DW berkunjung. Akibat wabah COVID-19, banyak yang berubah dengan tradisi Iftar tahun ini. 

"Sebenarnya iftar adalah kesempatan untuk bersilaturahmi," kata Süleyman Bag. Dalam setiap Ramadan, mereka biasanya  menerima tamu untuk makan malam setidaknya sekali seminggu. Malam berikutnya mereka diundang ke keluarga teman. Mereka biasanya berbuka puasa bersama satu atau dua malam di kelompoknya atau ikut serta dalam acara buka puasa bersama lainnya. 

"Semua itu tak terjadi di tahun ini. Menyedihkan," kata pria berusia 52 tahun tersebut. Jadi Süleyman Bag dan istrinya Lütfiye, putranya Selim (20) dan Enes (21) dan putrinya Rumeysa (25) diam di rumah setiap hari selama ada aturan pembatasan. Tarawih ke masjid juga ditiadakan. 

Mereka sahur sekitar pukul tiga pagi, kata Enes. Salat subuh lalu tidur lagi. Mereka berpuasa dari matahari terbit hingga terbenam, di mana tahun ini di Jeman lamanya hingga 17 jam. Menurut sang ayah, dalam Islam ada "filosofi kelaparan sukarela" yang dibangun di zaman Nabi Muhammad. 

Seperti kebiasaan muslim lainnya, ia mempersiapkan diri untuk waktu khusus ini dengan berpuasa, bahkan sebelum Ramadan. "Ketika perutmu kosong, hatimu melembut," ia mengutip ajaran seorang cendekiawan. Bag dulunya  penambang, kemudian menjadi jurnalis, dan kini bekerja di bidang administrasi taman kanak-kanak. 

Süleyman Bag, muslim di JermanFoto: DW/C. Strack

Kepedulian terhadap ayah 

Ketika ditanya dari mana dia berasal, Süleyman Bag segera menjawab: "Gelsenkirchen". Pada usia hampir tujuh tahun, dia datang ke Gelsenkirchen dari Turki bersama orang tuanya. Di kota di kawasan Ruhr ini dia menemukan teman-teman baru, bersekolah dan, seperti banyak orang lainnya di sana, bekerja di pertambangan. 

Ketika berbicara tentang orang tuanya, dia menjadi sentimental. Bag menceritakan keprihatinannya akan ayahnya yang berusia 74 tahun, yang harus menjalani cuci darah tiga kali seminggu. Salah satu pasien lain di klinik itu terpapar virus corona. Jadi sang ayah harus dikarantina selama berminggu-minggu. "Kami sangat takut," katanya.  

Istri Bag datang ke Jerman tahun 1989 dan hanya bisa sedikit berbicara bahasa Jerman. Ketiga anak mereka semuanya studi di universitas atau mengikuti pelatihan di sekolah kejuruan. Rumeysa, yang berjilbab seperti ibunya, kuliah di  sebuah universitas di Berlin untuk mengambil gelar master dalam studi Islam dan sedang mempertimbangkan melanjutkan ke jenjang S3. Seorang saudara laki-lakinya ingin menjadi guru perawat, yang lainnya mengambil studi keguruan untuk bidang bahasa Jerman dan sejarah. 

Streaming film dan ibadah 

Setelah berbincang dengan serius, percakapan di meja makan menjadi lebih santai. Ketika ditanya siapa yang berasal dari generasi muda Netflix, satu tangan terangkat, lalu tangan anak yang kedua terangkat, dan akhirnya yang ketiga. "Tetapi itu kadang-kadang  saja," kata sang anak perempuan. "Yah...tapi kamu terlihat sering nonton," jawab sang adik laki-laki. Dialah yang diam-diam berdoa dalam bahasa Arab selama satu menit sebelum makan. Mereka mengakhiri puasa pukul 8:56 malam. Sang ayah memimpin salat jamaah keluarga. 

Tak banyak yang memperkirakan bahwa Ramadan kali ini dapat berhasil dilalui dengan tenang, saat wabah corona meluas. Demonstrasi menentang pembatasan corona menyebabkan kerusuhan di kota-kota di Jerman. Namun tidak ada aksi protes yang dilakukan kalangan muslim di Jerman, yang sekarang berjumlah sekitar 4,5 juta orang. 

Pujian dari Presiden Jerman 

Minggu lalu, Presiden Jerman, Frank-Walter Steinmeier berterima kasih kepada gereja-gereja dan komunitas agama karena sangat koopreatif dalam penanganan krisis corona. Sejak awal, mereka berperilaku penuh bertanggung jawab dan hati-hati. Beberapa politisi ultra kanan mengambil kesempatan mempolitisir. Namun kalangan muslim tetap membangun kedamaian.  

Semua kegiatan Ramadan, salat Jumat, khotbah, ceramah online jadi booming. Sekretaris Jenderal Dewan Pusat Muslim, Abdassamad El Yazidi, terkesan dengan kedisiplinan ini. "Saya sudah mengira  sejumlah besar muslim mematuhi peraturan perlindungan kesehatan dalam menghadapi pandemi korona," kata Yazidi pada Deutsche Welle. "Tapi mengejutkan bagi saya, karena mereka sangat disiplin. Mereka tahu tentang tanggung jawab mereka dan mereka melaksanakannya." 

Antara kesepian dan keintiman 

Kembali ke meja makan di rumah keluarga muslim di utara Berlin. Mereka berbincang  tentang sebuah masjid di selatan Berlin, di mana ratusan muslim berkumpul pada awal Ramadan, bertentangan dengan instruksi pemerintah. Tapi itu adalah satu-satunya insiden di Jerman. "Anda juga harus memahaminya," kata Selim, putra bungsu keluarga Bag. Karena  masjid ditutup, panggilan salat melalui pengeras suara eksternal sekarang diizinkan, untuk pertama kalinya. Jadi banyak orang yang datang, tapi situasi dengan cepat mereda. 

Buka puasa di tengah wabah corona. "Di satu sisi, ini sangat menyedihkan," kata sang ayah. "Kami tidak bisa mengundang tamu. Di sisi lain, ada keluarga." Ada rasa kesepian, tetapi ada juga keintiman. 

"Anda satu-satunya tamu kami dalam empat minggu terakhir,“ kata Süleyman Bag ketika dia mengucapkan selamat berpisah, saat wartawan DW pamit.