Jujur adalah sebuah kesalahan di dalam masyarakat yang korup. Ironisnya, penyakit ini menyebar pula ke dunia pendidikan, dunia yang idealnya untuk membentuk integritas anak-anak muda Indonesia.
Iklan
Sementara berbagai cerita mengenai kecurangan sangat karikatural, para pengkritik mengatakan bahwa itu adalah ilustrasi menyedihkan tentang bagaimana orang Indonesia sejak usia dini sudah diajari bahwa korupsi adalah bagian dari kehidupan sehari-hari.
“Itu menyiapkan para pelajar sejak sangat dini untuk berlaku curang dalam kehidupan. Menunjukkan bahwa kebudayaan Indonesia sangat korup, sementara kita seharusnya mengajari para pelajar untuk jujur,” kata Hendri dari ICW.
Indonesia adalah salah satu bangsa yang paling korup di dunia, dan terakhir indeks korupsi Indonesia turun ke posisi 118 dari 176 negara berdasarkan indeks tahunan Transparency International.
Kejujuran Hilang
Masyarakat khususnya juga korup, dan kecurangan kini secara luas diterima dalam sistem pendidikan di mana para pelapor, mereka yang tidak ikut curang, seringkali justru dipermalukan.
Pada tahun 2011, Siami, melaporkan kepada pejabat pendidikan di Surabaya, provinsi Jawa Timur, bahwa guru anaknya yang berada di kelas 6, memberikan bocoran jawaban kepada para pelajar.
Riset: Anak SD tak Perlu PR
Guru tidak seharusnya bebankan segudang pekerjaan rumah (PR) untuk siswa sekolah dasar(SD)? Pakar psikologi Harris Cooper meneliti efek PR selama 25 tahun memaparkan hasil risetnya yang kontroversial.
Foto: picture-alliance/dpa/T. Eisenhuth
Belajar sambil bersenang-senang
Anak yang baru mulai sekolah masih akan lewati banyak tahun untuk menuntut ilmu. Guru harus berusaha agar anak-anak menyukai sekolah dan belajar. Atmosfirnya harus dibuat menyenangkan, bukan malah membebani. Jangan sampai PR jadi beban sehingga belajar jadi hal menyebalkan. Copper menulis risetnya di buku: The Battle over Homework: Common Ground for Administrators, Teachers, and Parents,
Foto: Fotolia/Sergii Figurnyi
Merusak hubungan jangka panjang
PR dimaksudkan untuk melibatkanb dan mendekatkan ortu dalam pendidikan anak-anak.Tapi efeknya bisa sebaliknya. Setelah hari panjang di sekolah, sesuatu yang mencakup kata "pekerjaan" tak selalu menjadi apa diinginkan anak sebelum tidur. Ortu dan anak malah bisa bertengkar gara-gara PR dan menimbulkan kenangan traumatis..
Foto: Sandy Schulze/Fotolia
PR memberi rasa tanggung jawab palsu
Pekerjaan rumah sehari-hari membantu anak-anak menjadi lebih bertanggung jawab, tapi ini hanya berlaku ketika mereka sudah masuk SMP. Tapi ketika orang tua harus mengingatkan anak-anak mereka yang masih SD untuk mengerjakan PR setiap malam, tujuan awal ini pudar artinya. Masa kecil adalah masa bermain.
Foto: Getty Images/AFP/S.Khan
PR sisakan sedikit waktu untuk jadi anak-anak
Karena waktu tersita untuk PR, banyak anak-anak tidak mendapatkan cukup waktu untuk bergerak. Padahal di usia dini, mereka harus melakukan kegiatan fisik, main di luar dan berolahraga dengan teman-teman. Guru dan orang tua dapat mendorong anak-anak untuk lebih sering melakukan aktivitas seperti ini. Biarkan mereka kreatif dan berlatih fisik untuk mengembangkan diri.
Foto: Fotolia/kids.4pictures
Anak perlu istirahat agar produktif di sekolah
Mengerjakan PR mencuri waktu istrirahat anak-anak SD. Anak-anak membutuhkan rata-rata 10 jam tidur dalam sehari. Agar anak-anak menjadi produktif 100% pada hari berikutnya di sekolah, mereka harus memiliki waktu istirahat yang cukup
Foto: Imago/E. Umdorf
Alternatifnya: Membaca
Mendorong anak-anak agar senang membaca menurut penelitian jauh lebih baik daripada mengerjakan PR. Orang tua dan guru dapat membantu mencari subyek menarik untuk dibacakan pada mereka atau merangsang mereka untuk membaca sendiri.
Foto: Fotolia
Ajarkan tanggung jawab tugas sehari-hari
Alternatif kedua: Ada banyak kebiasaan sehari-hari yang dapat mengajarkan mereka untuk bertanggung jawab, seperti bangun pagi dan bersiap diri ke sekolah, merapikan tempat tidur, atau bahkan merawat hewan peliharaan. Namun ingatkan, bahwa mereka adalah pelajar, yang kewajiabn utamanya adalah belajar.
Foto: Fotolia/otisthewolf
Kunjungi museum dan lokasi menarik lain
Alternatif lain: mengunjungi museum dan lokasi menarik. Banyak pengetahuan dan pengalaman bisa didapat di sini. Cari pameran atau kegiatan yang akan membangkitkan minat anak-anak. Di Jerman anak.-anak sering diajak ke museum, markas pemadam kebakaran, gedung kesenian, mengunjungi pameran dan tempat menarik lainnya.
Foto: picture-alliance/dpa
8 foto1 | 8
Tapi tindakan itu justru menimbulkan kecaman dari masyarakat setempat. Ia dipaksa minta maaf secara terbuka setelah dikonfrontasi oleh kerumunan sekitar seratusan orang, dan ia bersama keluarganya akhirnya memutuskan pindah dari kawasan itu.
Para pengkritik mengatakan bahwa sistem busuk berpusat di Kementerian Pendidikan, di mana para guru didorong untuk menghasilkan tingkat kelulusan tinggi dan bukan berdasarkan kualitas pendidikan.
“Tak mungkin sekolah–sekolah bisa meluluskan semua muridnya dari ujian, akibatnya mereka mendorong semacam kecurangan struktural,“ kata Retno Listyarti, sekretaris jenderal Federasi Persatuan Guru Indonesia.
Problem Akut Pendidikan
Sementara 20 persen anggaran negara dihabiskan untuk bidang pendidikan, banyak dari dana itu yang kelihatannya tidak dipakai untuk sekolah, mengingat masih banyak bangunan yang bobrok dan guru-guru yang terkadang tidak digaji selama berbulan-bulan.
Berbagai studi tentang pendidikan dunia menunjukkan performa Indonesia yang buruk.
Dalam Programme for International Student Assessment (PISA), sebuah tes terkenal yang diselenggarakan OECD yang melihat performa pendidikan anak usia 15 tahun, Indonesia adalah salah satu yang terburuk diantara 65 negara.
Hasil PISA tahun 2009, yang baru-baru ini diumumkan, menempatkan Indonesia di ranking ke-57 untuk membaca, urutan 60 untuk ilmu alam dan nomor 61 untuk pelajaran matematika.
Juru bicara Menteri Pendidikan Ibnu Hamad mengakui bahwa ada masalah, namun ia berkeras bahwa hambatan bukan ada di kementerian tapi karena masalah otonomi daerah.
“Enam puluh persen anggaran kami langsung masuk ke pemerintah daerah, dan tugas merekalah untuk membagi-bagikan uang itu ke sekolah,” kata dia.
Ia juga menolak klaim Kementerian Pendidikan sebagai departemen paling korup sebagai sesuatu yang tidak berdasar dan juga membantah bahwa mencontek saat ujian adalah sebuah fenomena yang sudah menyebar.
Semangat anak-anak kecil ini sungguh luar biasa. Demi merengkuh ilmu, mereka mengambil risiko berbahaya ke sekolah. Menentang arus sungai, memanjat tebing, Bahkan ada yang lima jam berjalan kaki sampai sekolah.
Foto: picture-alliance/dpa/Imaginechina Tao ge
Tangga darurat
Dengan berhati.-hati, murid Desa Atule’er, Liangshan Yi , Sichuan, Cina memanjat kembali ke desa setelah lelah menuntut ilmu di sekolah. Mereka mencengkram tangga bambu/kayu dan tanaman rambat di tebing terjal agar tidak terjatuh. Penduduk desa menggunakan tangga yang sama untuk pergi ke pasar terdekat sekitar seminggu sekali, guna menjual paprika dan kenari atau membeli kebutuhan sehari-hari.
Foto: picture-alliance/dpa/C. Jie/VCG
Dua jam perjalanan
Murid dari Desa Atule’er terbiasa merambat sambil memanjat tebing saat pulang ke rumah selepas sekolah. Lebih dari 70 keluarga tinggal di desa Atule’er, yang berketinggian sekitar 800 meter di atas Sungai Meigu, Liangshan Yi, ini. Demi bisa bersekolah, belasan murid, yang berusia 6 sampai 15, disertai dengan 3 orang dewasa secara teratur menghabiskan 2 jam mendaki tebing.
Foto: picture-alliance/dpa/C. Jie/VCG
Memanjat hampir 1 km
Memanggul ransel, anak-anak sekolah ini mendaki tebing terjal sepanjang 800 meter di Zhaojue, daerah otonomi Liangshan Yi, Provinsi Sichuan, Cina. Mereka pulang sekolah dan dalam perjalanan ke rumah. Setelah nasib anak–anak ini mendapat perhatian masyarakat internasional, mereka dijanjikan akan mendapat tangga baja untuk menggantikan tangga bambu yang rapuh ini.
Foto: picture alliance/AP Images/Chinatopix
Lima jam ke sekolah
Menuju sekolah, murid-murid SD ini menyusuri kaki gunung di tebing gunung yang berbatasan dengan sungai Dadu di Desa Gulu, Wusihe, Hanyuan. Sekolah dasar yang dituju melekat ke tebing curam. Untuk sampai ke sekolah, siswa harus berjalan kaki di jalur-jalur curam selama lima jam. Bahaya mengintai, jika ada angin menerpa saat dalam perjalanan.
Foto: picture-alliance/dpa/Imaginechina Tao ge
Bawa perlengkapan di tengah intaian bahaya
Siswa mengangkut barang mereka untuk kembali ke sekolah di jalur lembah pegunungan terjal di Desa Nongyong, Dahua Yao, Guangxi Zhuang, Cina. Rumah anak-anak tersebar di antara pegunungan & jauh dari sekolah. Sebagian besar dari mereka mendapat akomodasi di sekolah selama semester berlangsung. Namun, ketika musim panas, mereka harus melakukan perjalanan berbahaya ini, antara rumah dan sekolah.
Foto: picture alliance/Photoshot/H. Xiaobang
Andalkan ban karet
Para pelajar SD di provinsi Rizal, Filipina ini menggunakan ban karet sebagai sarana melayari sungai untuk pulang pergi sekolah. Jarak dari rumah ke sekolah sekitar 2 km. Jika arus sungai meluap, ancaman bahaya semakin besar. Di Filipina, akses terhadap pendidikan, terutama di daerah pedesaan, masih menjadi masalah, tetapi tingkat pendaftaran tetap relatif tinggi, yakni mencapai 85 persen.
Foto: picture-alliance/dpa/D. M. Sabagan
Dengan rakit bambu darurat
Siswa SD Filipina menyeberangi sungai dengan rakit bambu darurat di hari pertama tahun ajaran baru di sebuah desa terpencil di provinsi Rizal, timur Manila, Filipina. meskipun hanya 62 persen menyelesaikan sekolah tinggi. Di Filipina, meski minat mendaftar sekolah tergolong tinggi, hanya 62 % yang lulus pendidikan tinggi
Foto: picture-alliance/dpa/D. M. Sabagan
Murid Indonesia juga pernah mengalami
Beberapa anak Indonesia di pelosokl juga pernah mengalami nasib serupa. Tampak anak-anak SD menyeberangi sungai menggunakan jembatan rusak parah di Lebak, Provinsi Banten. Sekian lamanya pemerintah meremehkan risiko bahaya bagi anak-anak yang setiap hari pergi ke sekolah. Mengerikan melihat anak-.anak kecil melalui bahaya di atas jembatan miring yang rusak itu.
Foto: Getty Images/AFP/Str
Sebenarnya bukan jembatan
Siswa SD pergi ke sekolah melalui jembatan gantung yang menghubungkan desa Suro dan desa Plempungan di Boyolali, Jawa Tengah. Rangkaian batang besi sepanjang 30 meter dan lebar 1,5 meter yang terletak 10 meter di atas sungai ini sebenarnya bukan jembatan, tetapi saluran irigasi yang mengalirkan air dari waduk Cengklik ke sawah sekitarnya.