Bertelsmann: Dunia Terus Bergolak
22 Januari 2014 Afrika Utara, Ukraina, Thailand - nyaris setiap hari halaman utama media-media internasional didominasi oleh demonstrasi masal dan aksi protes berdarah. Menurut Yayasan Bertelsmann, aksi unjuk rasa di seluruh dunia belum akan mereda dalam waktu dekat. Bahkan sebaliknya. Karena pemerintahan yang terpilih secara demokratis pun tetap memberangus hak-hak penduduk, membungkam media dan mengisolasi kelompok minoritas.
Indeks Transformasi Bertelsmann juga mencatat, banyak negara menikmati pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi ketimbang dua tahun lalu. Namun sayangnya kemakmuran cuma bisa dinikmati oleh penduduk perkotaan saja.
"Kita harus memperhitungkan meningkatnya tekanan dari bawah di masa depan," kata Hauke Hartmann, Pakar HAM di Yayasan Bertelsmann kepada DW. Ditambah lagi, penduduk kini memiliki kesempatan besar untuk berjejaring di dunia maya. Penggunaan Youtube dan Twitter selama revolusi musim semi di Jazirah Arab, 2010 silam adalah contoh termutakhir, "kita harus menerima, bahwa demonstrasi seperti yang terjadi di Kiev atau Bangkok akan menjadi hal lazim, bukan lagi peristiwa yang istimewa."
Dunia Semakin Demokratis
Indeks Transformasi Bertelsmann mencakup 129 negara berkembang dan ambang industri. Studi bersandar pada sejumlah pertanyaan umum, seperti kualitas pemilu, derajat kebebasan berpendapat atau penegakkan Hak Azasi Manusia. Selain itu sistem jaringan sosial, pemberantasan korupsi dan performa ekonomi termasuk faktor penting dalam laporan buat masing-masing negara.
Bertelsmann menggunakan berbagai indikator, antara lain demokrasi, pasar bebas dan kualitas birokrasi pemerintah. Pertumbuhan terbaik dialami oleh Uruguay, Estonia dan Taiwan. Sementara di barisan terakhir tedapat Suriah, Mali, Yaman dan Sudan. Sebaliknya negara-negara industri maju di Eropa dan Amerika Utara tidak termasuk dalam daftar indeks.
Kendati demonstrasi marak terjadi di berbagai negara, hasil studi Bertelsmann menyimpulkan, demokratisasi sedang mengalami stagnasi. Dunia dibandingkan 2012 tidak menjadi lebih bebas. "Kami awalnya menyangka, revolusi musim semi Arab akan berdampak pada data statistik kebebasan," kata Hartmann.
2010 lalu penduduk Tunisia memulai aksi protes yang kemudian menggulirkan revolusi di Afrika Utara dan Suriah. Tapi ketika periode keterbukaan di Myanmar dan Afrika Barat menerbitkan harapan, ketegangan politik di Rusia, Sri Lanka, Thailand dan negara-negara Afrika zona Sahel menekan laju demokratisasi di seluruh dunia.
Kebebasan Pers di Eropa Terancam
Eropa juga tidak memiliki banyak alasan buat bergembira. "Benua ini memasuki babak kebebasan pers yang muram, karena banyak berurusan dengan pemberangusan," kata Hartmann. Perkara utama adalah tekanan ekonomi kepada media yang dibarengi dengan monopoli yang membungkam keragaman opini dan pendapat. Fenomena semacam itu terutama diamati di Bulgaria, Rumania, Makedonia dan Montenegro.
Situasi serupa terjadi di Asia, meskipun Taiwan berada di urutan teratas Indeks kebebasan pers. Amerika Selatan mencatat kemunduran dalam penyelenggaraan pemilu. Manipulasi hasil penghitungan suara misalnya diamati pada pemilu kepresidenan di Honduras.
Kendati begitu Indeks Transformasi juga mencatat beberapa kejutan positif. Contohnya Senegal yang kendati menghadapi masalah pelik seperti kemiskinan masih mampu menyelenggarakan pemilu yang relatif bersih dan aman.