Bhikkhu Radikal Anti Rohingya Jadi Buronan Polisi Myanmar
29 Mei 2019
Seorang bhikkhu Myanmar yang gemar menyulut kebencian terhadap minoritas muslim Rohingya kini masuk dalam daftar buron kepolisian, tapi bukan karena hasutan kebencian, melainkan karena mengancam hegemoni militer
Iklan
Pengadilan di Myanmar mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap biksu nasionalis Buddha Ashin Wirathu, atas tuduhan penghasutan. Demikian disampaikan kepolisian setempat, Rabu (29/05).
Dia dikenal lantaran acap mengumbar ujaran kebencian terhadap minoritas muslim, Rohingnya, dan membenarkan operasi militer di Rakhine yang menewaskan ribuan warga lokal.
Juru bicara kepolisian Myanmar, Myo Thu Soe mengatakan, surat perintah penangkapan itu telah dikeluarkan pada hari Selasa (28/05) oleh pengadilan distrik barat di Yangon. Dia tidak memberikan alasan rinci soal surat perintah penangkapan itu. Tapi, dalam demonstrasi baru-baru ini, Wirathu menuduh pemerintah korupsi dan mengritiknya karena mencoba mengubah konstitusi yang akan memangkas kewenangan militer.
"Tuduhan hasutan ini merupakan perundungan baginya," ujar Thu Saitta, sekutu Wirathu, kepada kantor berita Reuters. "Kami tidak akan mengatakan apa yang akan kami lakukan jika dia ditangkap, tetapi kami tidak akan tinggal diam."
Kisah Perempuan Muslim Melawan Diksriminasi di Myanmar
Minoritas Muslim di Myanmar biasanya menutup diri lantaran mengkhawatirkan intimidasi kelompok Buddha garis keras. Namun Win Lae Phyu Sin, seorang blogger Muslim, justru memilih sebaliknya.
Foto: Reuters/A. Wang
Perempuan Muslim Modern
Perempuan muda berusia 19 tahun ini menjadi pusat perhatian saat peluncuran produk kecantikan di Yangon. Pasalnya dia termasuk segelintir blogger kecantikan yang mengenakan jilbab. "Saya tidak menyesali keputusan mengenakan jilbab" kata Win. "Jilbab adalah kunci buat saya. Saya bisa berpergian kemanapun dan melakukan apapun yang saya suka."
Foto: Reuters/A. Wang
Rentan Diskriminasi
Kaum Muslim hanya berjumlah 5% dari 50 juta penduduk Myanmar. Kebanyakan mengeluhkan tidak bisa membangun masjid baru selama satu dekade terakhir dan kesulitan menyewa rumah dari pemilik beragama Buddha. Diskriminasi dan persekusi sistematis terhadap minoritas Muslim sedang marak di Myanmar. Lebih dari 700.000 anggota etnis Rohingya misalnya terpaksa melarikan diri ke Bangladesh.
Foto: Reuters/A. Wang
Persekusi Tanpa Akhir
Kaum muslim di Myanmar juga mengeluhkan tidak mendapat kartu identitas penduduk dan ditolak masuk ke sejumlah rumah ibadah. Demikian laporan Human Rights Network tahun lalu. Akibatnya kebanyakan kaum Muslim tidak bisa menikmati fasilitas yang disediakan pemerintah Myanmar.
Foto: Reuters/A. Wang
Pemberdayaan Perempuan
Buat sebagian murid Win Lae Phyu Sin, perawatan wajah dan kecantikan lebih dari sekedar urusan penampilan, tetapi juga membangun rasa percaya diri di tengah mayoritas Buddha. "Saya melihat perempuan berjilbab merias wajahnya dan dia terlihat sangat cantik," kata Hay Mann Aung tentang Win Lae Phyu Sin. "Saya ingin terlihat cantik seperti dia," imbuhnya.
Foto: Reuters/A. Wang
Jembatan Kebudayaan
Upaya Win Lae menghadirkan warna muda dan modern pada wajah Muslim Myanmar dengan mengenakan busana yang berpadu serasi dengan warna jilbabnya atau dengan dandanan yang menekankan kecantikan wajahnya, sukses menyedot penggemar non partisan. Ia mampu menonjolkan sisi positif kaum minoritas yang sering disalahpahami oleh masyarakat Myanmar.
Foto: Reuters/A. Wang
Meniti Sukses di Medsos
Win kini memiliki 6.000 pengikut di Facebook dan ribuan penggemar di kanal media sosial yang lain. Lebih dari 600 murid ikut serta dalam program pelatihan tentang bagaimana mengenakan kosmetika atau membangun studio kecantikan di rumah sendiri. Sejak awal tahun, sekitar 150 kursus yang ditawarkan Win selalu penuh pengunjung.
Foto: Reuters/A. Wang
Mengundang Permusuhan
Tapi upaya Win bukan tanpa cela. Ia berulangkali mendapat ejekan atau serangan verbal di media sosial ketika ketahuan ia seorang Muslimah. Sebaliknya kelompok Islam konservatif mengritiknya karena dianggap merusak moral perempuan Muslim di Myanmar. Namun Win tidak peduli. "Saya cuekin saja. Ada banyak pekerjaan yang harus saya tuntaskan," tukasnya. (rzn/as: Reuters)
Foto: Reuters/A. Wang
7 foto1 | 7
Wirathu adalah yang paling menonjol di antara para bhikkhu nasionalis yang bobot politiknya meningkat di Myanmar sejak transisi dari pemerintahan militer mulai tahun 2011. Pada 2013 dia menggelar road show keliling Myanmar dan mengkampanyekan betapa warga muslim gemar memerkosa perempuan atau melecehkan agama Buddha.
"Muslim seperti ikan mas Afrika. Mereka bereproduksi dalam waktu cepat dan mencintai kekerasan. Dan mereka menyantap anak sendiri. Meski mereka di sini minoritas, kami menderita di bawah beban yang mereka bawa ke sini," ujarnya dalam sebuah wawancara dengan GlobalPost saat itu.
Juru bicara kepolisian Myanmar mengatakan surat perintah itu belum diterima oleh polisi di pusat kota Mandalay, di mana Wirathu bermukim.
Jawatan agama tertinggi Myanmar melarang Wirathu berkhotbah selama setahun hingga awal tahun lalu, dengan alasan khotbahnya mengandung penyebaran kebencian. Dia sering menjadikan kaum muslim Rohingya sebagai target, di mana lebih dari 700.000 di antaranya telah melarikan diri dari penumpasan tentara di negara bagian Rakhine pada tahun 2017, yang oleh para penyelidik PBB disebutkan sebagai kasus yang dilakukan dengan "niat genosidal".
Wirathu menghadapi kemungkinan pasal tentang penyebaran "kebencian atau penghinaan" dengan ancaman hukuman penjara hingga tiga tahun.
Warga Rohingya Setahun di Negeri Tak Bertuan
Ribuan warga Rohingya berdemonstrasi di Kutupalong, Bangladesh memperingati setahun sejak mereka terusir dari Myanmar. Selama ini, ratusan ribu jiwa hidup terlantung-lantung di daerah yang disebut “tempat tak bertuan“.
Foto: Reuters/M.P. Hossain
Rohingya tuntut PBB
Lebih dari 15 ribu warga Rohingya turut ambil bagian dalam demonstrasi di tempat pengungsian di Kutupalong, Distrik Cox Bazar, di sebelah selatan Bangladesh (25/08). Mereka menutut "keadilan dari PBB“. Pada sebuah spanduk tertulis: "Tidak terulang lagi: Hari Peringatan Genosida Rohingya, 25 Agustus 2018“.
Foto: Reuters/M.P. Hossain
PBB akui genosida
PBB menyebutkan bahwa peristiwa kekerasan yang dialami warga Rohingya di Myanmar sebagai bentuk "pembersihan etnis". Maret lalu, pejabat khusus PBB untuk Myanmar, Yanghee Lee mengungkapkan tentang adanya "genosida".
Foto: Reuters/M.P. Hossain
Ribuan terbunuh
Menurut data yang dirilis "Doctors Without Borders" pada bulan pertama ketika kekerasan merebak, sedikitnya 6.700 warga Rohingya terbunuh. Saat ini ada sekitar 900.000 warga Rohingya yang mengungsi di Bangladesh.
Foto: Reuters/M.P. Hossain
Tempat pengungsian terbesar dunia
Selama setahun, para pengungsi Rohingya tidak disebar ke berbagai lokasi di Bangladesh, melainkan hanya menempati lahan seluas 14 kilometer persegi, ini hanya seluas sebuah desa kecil. Tempat itu dikenal saat ini sebagai lokasi pengungsian terbesar di dunia.
Foto: Reuters/M.P. Hossain
Hidup di tenda
Ribuan pengungsi di Kutupalong tidak diperbolehkan meninggalkan kamp dengan bebas atau menetap di tempat lain di Bangladesh. Warga Rohingya pun hidup berhimpitan dalam tenda sederhana. Mereka mencoba membangun kembali rumah, lengkap dengan masjid dan toko-toko, di daerah yang mereka namai "tempat tak bertuan".
Foto: picture-alliance/AP Photo/A. Qadri
Kembali ke rumah
Mungkinkah kembali? Jawabannya tak mudah, meski Bangladesh dan Myanmar telah melakukan perjanjian repatriasi, implementasinya masih tertunda. Persoalan berikutnya: ke mana mereka harus pergi? Meski demikian warga Rohingnya tetap menyuarakan harapan saat demonstrasi berlangsung: "Kami diusir dari negara kami, dari rumah kami. Kami menginginkan keadilan, kami ingin kembali ke rumah kami."