Majalah Gratis Menjunjung HAM, Menentang Intoleransi
Hendra Pasuhuk15 Maret 2016
Intoleransi di Indonesia belakangan makin menguat. Isu ras dan agama sering diperalat untuk mencapai keuntungan politik. Majalah Bhinneka mencoba mengusung lagi ide keberagaman dan penghormatan hak asasi.
Iklan
Setelah 17 tahun reformasi dan beberapa kali pemilu yang menurut standar internasional cukup demokratis, intoleransi di Indonesia ternyata bukannya redam. Belakangan bahkan terasa semakin meningkat.
Isu ras, agama dan penolakan terhadap "yang asing" sering diperalat berbagai kelompok untuk menyulut sentimen primordialisme dan membangkitkan kebencian. Di kancah politik muncul slogan-logan seperti "Tolak Pemimpin non Muslim" atau "Tolak Pengaruh Asing".
Yang terakhir mencuat adalah penolakan terhadap "komunisme baru" dan kelompok LGBT sebagai ancaman yang "disusupkan pihak asing untuk menaghancurkan Indonesia". Beberapa pejabat tinggi di pemerintahan dan militer menggunakan istilah "proxy war" sebagai bentuk ancaman baru bagi keutuhan serta moralitas bangsa dan negara Indonesia.
Di tengah suasana polarisasi yang makin meruncing dalam kancah perebutan kekuasaan politik, Majalah Bhinneka muncul untuk mengusung kembali tema keanekaragaman, tradisi, budaya, agama dan penghormatan hak asasi di Indonesia. Diterbitkan oleh Yayasan Bhinneka Nusantara, majalah itu disebar secara cuma-cuma.
Gagasan menerbitkan majalah yang dibagikan secara gratis itu ternyata muncul di London. Begitu cerita Soe Tjen Marching kepada Deutsche Welle (DW).
"Di London saya selalu melihat koran gratis yang dibagikan tiap pagi, berserakan di kursi-kursi kereta bawah tanah. Koran ini dibaca dan dibaca lagi oleh setiap pemakai kereta," kata aktivis, penulis dan peneliti itu.
Sehari, ada sekitar 2 juta orang menggunakan kereta api bawah tanah. Berarti pembaca satu koran itu bisa ratusan, atau paling tidak puluhan. Sebuah daur ulang yang luar biasa dan penyebaran informasi yang sangat efisien juga.
Sayangnya, informasi yang disebarkan koran-koran ini biasanya sedikit lebih bermutu dari gosip & condong kepada kepentingan seseorang: Rupert Murdoch.
"Lalu saya bertanya, kenapa tidak ada media gratis yang memberi informasi kritis? Yang tidak berpihak hanya pada para pengusaha kelas kakap? Yang membuat rakyat tidak saling bersaing dan menindas, tapi saling bekerja sama? Apa saya bisa membuat majalah seperti itu? Dengan dana dari mana?"
Berbagai pertanyaan di benak Soe Tjen yang makin lama terasa makin mendesak. Akhirnya dia mencoba mencari dana dan mendapatkanya dari Kedutaan Britania pada tahun 2009. Karena dana hanya bisa disalurkan kepada sebuah lembaga, Soe Tjen bekerjasama dengan Yayasan Gaya Nusantara yang didirikan aktivis senior Dede Oetomo.
Tahun 2010, Soe Tjen mendirikan Lembaga Bhinneka dan mendapat dana dari Ford Foundation untuk melanjutkan penerbitan majalah. 2013-2014, majalah itu sempat berhenti terbit, karena Soe Tjen pindah ke London dan Ford menghentikan pendanaan majalah.
Sayangnya, terjadi sengketa kepemimpinan di Yayasan Bhinneka sepeninggal Soe Tjen. Akhirnya tahun 2015 didirikanlah Yayasan Bhinneka Nusantara untuk menerbitkan majalah lagi. Kali ini tanpa bantuan dari lembaga pemberi dana, tapi dengan dengan dana sendiri dan sumbangan pribadi.
Prakarsa swadaya ini ternyata mendapat sambutan cukup luas. Yayasan Bhinneka Nusantara punya pengurus di Indonesia dengan perwakilan di 25 kota, setiap kota ada koordinatornya. Semua bekerja sebagai relawan, bahkan sering harus mengeluarkan uang sendiri. Melalui para koordinator inilah Majalah Bhinneka diedarkan dan mencapai pembacanya.
Edisi Oktober 2015 mengangkat tema "Setengah Abad Genosida 1965". Yang turut membantu penyebaran majalah ini antara lain: Joshua Oppenheimer, Sacha Stevenson, Kartika Soekarno, Sammy dan Allan Nairn. Soe Tjen Marching sendiri memperkenalkan majalah itu di ajang Frankfurt Book Fair 2015. (foto artikel)
Edisi Maret 2016 sudah beredar dan bisa dipesat lewat situs http://bhinnekanusantara.org. Temanya lanjutan dari edisi sebelumnya, soal bagaimana menuntaskan pelanggaran HAM di masa lalu.
Suharto - Jalan Darah Menuju Istana
Demi menyingkirkan Soekarno, Suharto menunggangi pergolakan di tanah air dan mengorganisir pembantaian jutaan pendukung PKI. Dia sebenarnya bisa mencegah peristiwa G30S, tetapi memilih diam, lalu memanfaatkannya.
Foto: picture-alliance/dpa
Prajurit Tak Bertuan
Suharto banyak berurusan dengan pemberontakan Darul Islam selama meniti karir militernya. Pasca kemerdekaan ia juga aktif memberantas kelompok kiri di antara pasukannya. Tahun 1959, ia nyaris dipecat oleh Jendral Nasution dan diseret ke mahkamah militer oleh Kolonel Ahmad Yani karena meminta uang kepada perusahaan-perusahaan di Jawa Tengah. Namun karirnya diselamatkan oleh Jendral Gatot Subroto.
Foto: picture alliance/United Archives/WHA
Dua Musuh di Bawah Bayang Soekarno
Seperti banyak prajurit yang lain, Suharto mencurigai kedekatan Soekarno dan pimpinan Partai Komunis Indonesia (dalam gambar D.N. Aidit). Terutama sejak pemberontakan komunis di Madiun 1948, eksistensi PKI sangat bergantung pada dukungan Soekarno. Tanpanya PKI akan lumat oleh tentara. Permusuhan ABRI dan PKI tidak cuma beraroma politis, melainkan juga dipenuhi unsur kebencian.
Foto: picture-alliance/United Archives/TopFoto
Bibit Perpecahan
Suharto sibuk membenahi karir ketika permusuhan ABRI dan PKI mulai memanas. Buat mencegah PKI memenangkan pemilu dan menguasai pemerintahan, ABRI yang saat itu dipimpin duet Ahmad Yani dan A.H. Nasution mengajukan mosi menjadikan Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Saat itu, konstelasi politik sudah mulai bergeser: Soekarno tidak lagi melihat ABRI sebagai sekutu utamanya, melainkan PKI.
Foto: AFP/Getty Images
Berkaca Pada Tiongkok
Meniru gerakan kaum komunis di Tiongkok, PKI berupaya memperluas kuasa dengan niat mempersenjatai petani dan praktik land reform. Soekarno menyetujui yang kedua dengan mengesahkan UU Pokok Agraria 1960. Tiga tahun kemudian, PKI melakukan aksi sepihak dengan merebut tanah milik para Kyai di Jawa dan membagikannya pada petani miskin. Langkah itu menciptakan musuh baru buat PKI, yakni kelompok Islam.
Foto: AP
Sikap Diam Suharto
Enam jam sebelum peristiwa G30S, Kolonel Abdul Latief mendatangi Soeharto buat mengabarkan perihal rencana Cakrabirawa menculik tujuh Jendral. Latief saat itu mengira, Suharto adalah loyalis Soekarno dan akan memberikan dukungan. Kesaksian Latief menyebut, Suharto cuma berdiam diri. Setelah peristiwa penculikan jendral, Suharto yang menjabat Panglima Kostrad lalu mengambil alih komando ABRI.
Foto: picture-alliance/dpa
Kehancuran PKI, Kebangkitan Suharto
Pada 30 September, pasukan pengamanan Presiden, Cakrabirawa, mengeksekusi tujuh dari 11 pimpinan ABRI yang diduga kuat ingin mengkudeta Soekarno. Suharto lalu memerintahkan pembubaran PKI dan penangkapan orang-orang yang terlibat. Letnan Kolonel Untung, komandan Cakrabirawa yang sebenarnya kenalan dekat Suharto dan ikut dalam operasi pembebasan Irian Barat, ditangkap, diadili dan dieksekusi.
Foto: AP
Demo dan Propaganda
Pergerakan Suharto setelah G30S semata-mata diniatkan demi melucuti kekuasaan Soekarno. Ia antara lain mengirimkan prajurit RPKAD buat menguasai Jakarta, termasuk Istana Negara. Panglima Kostrad itu juga lihai menunggangi sikap antipati mahasiswa terhadap Sukarno yang dimabuk kuasa. Saat Soekarno bimbang ihwal keterlibatan PKI dalam G30S, mahasiswa turun ke jalan menuntutnya mundur dari jabatan.
Foto: Getty Images/C. Goldstein
Malam Pogrom, Tahun Kebiadaban
Di tengah aksi demonstrasi mahasiswa di Jakarta, ABRI memobilisasi kekuatan buat memusnahkan pendukung PKI di Jawa dan Bali. Dengan memanfaatkan kebencian kaum santri dan kelompok nasionalis, tentara mengorganisir pembunuhan massal. Jumlah korban hingga kini tidak jelas. Pakar sejarah menyebut antara 500.000 hingga tiga juta orang tewas. Tidak semuanya simpatisan PKI.
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
Eksekusi Disusul Eksodus
Selain menangkap dan mengeksekusi, massa dikerahkan menghancurkan toko-toko, kantor dan rumah milik mereka yang diduga pendukung komunis. Sebagian yang mampu, memilih untuk mengungsi ke luar negeri. Termasuk di antaranya Sobron, adik kandung pimpinan PKI D.N. Aidit yang hijrah ke Tiongkok dan lalu ke Perancis dan bermukim di sana hingga wafat tahun 2007.
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
Kelahiran Orde Baru
Setelah peristiwa G30S, Suharto yang notabene telah menjadi orang nomor satu di kalangan militer, membiarkan Soekarno berada di jabatannya, sembari menata peralihan kekuasaan. Selama 18 bulan, Suharto menyingkirkan semua loyalis Soekarno dari tubuh ABRI, menggandeng parlemen, mahasiswa dan kekuatan Islam, serta mengakhiri konfrontasi Malaysia. Kekuasaan Soekarno berakhir resmi di tangan MPRS.
Foto: DW
10 foto1 | 10
"..Sebarkan kembali majalah ini, supaya makin banyak orang tahu dan terketuk hatinya untuk menyuarakan kemanusiaan dan hak-hak korban..", demikian ditulis di Editorialnya.