Akhir pekan ini Thailand bersiap melepas kepergian Raja Bhumibol Adulyadej. Kematiannya menempatkan seisi negeri dalam posisi pelik. Sang raja selama ini selalu menjadi sandaran di tengah kisruh politik di Bangkok.
Iklan
Thailand berduka dalam hitam. Kematian Raja Bhumibol Adulyadej setahun silam masih menyisakan duka mendalam. Toh kini penduduk menyemuti Bangkok buat mengucap perpisahan terakhir ketika jenazah sang raja dikremasi dalam sebuah upacara sakral.
Selama tahun-tahun penuh ketidakpastian politik yang diwarnai dengan aksi kudeta dan pergolakan sipil, Raja Bhumibol Adulyadej menjadi figur penyatu dan pengawal stabilitas Thailand. Kematiannya menyisakan duka mendalam dan kekhawatiran akan masa depan negeri jiran tersebut.
Kekuasaan monarki Thailand banyak dilucuti ketika Bhumibol naik tahta tahun 1946 saat masih berusia 18 tahun. Ia banyak menghabiskan masa kecilnya di Swiss. Pada awal kekuasaannya, Bhumibol lebih mengenal Eropa ketimbang tanah kelahirannya sendiri.
Namun kendati begitu ia berhasil membangun reputasi sebagai otoritas moral tertinggi di Thailand. Tidak jarang ucapannya dianggap lebih suci ketimbang konstitusi. Satu kalimat dari Bhumibol bisa membunuh karir seorang politisi yang sedang naik daun. Betapapun panasnya gejolak politik di Bangkok, rakyat selalu bisa bersandar pada kata-kata sang raja.
Seremonial Kremasi Raja Thailand Bhumibol Dimulai
00:49
Kendati berpengaruh, Bhumibol jarang melibatkan diri pada pertarungan politik di Bangkok. Terakhir kali, ia memaksa Panglima Militer Suchinda Kraprayoon berdamai dengan Perdana Menteri Chatichai Choonhavan ketika perserteruan kedua kubu telah menelan ratusan nyawa demonstran tahun 1992.
Keduanya dipanggil ke hadapan raja dan dipermalukan di depan publik. "Thailand milik semua, bukan dua orang saja. Pertikaian ini disebabkan oleh rasa haus darah. Untuk apa anda menyebut diri sebagai pemenang jika anda berdiri di atas puing dan reruntuhan?" tukasnya kepada kedua tokoh di televisi nasional.
Sejak saat itu Bhumibol lebih banyak menggunakan pengaruhnya secara tidak langsung untuk mengawal kisruh politik di Bangkok.
Kini setelah kematiannya, Thailand terancam kehilangan figur monarki yang bisa menjadi sandaran di masa-masa ketidakpastian. Dan Bhumibol meninggalkan masyarakat yang terbelah dan masih bergantung pada pengaruh kerajaan untuk menuntun seisi negeri menuju jalan keluar dari konflik di masa depan.
Bagaimana Bhumibol Mengubah Wajah Thailand
Mendiang Raja Bhumibol Adulyadej berperan besar memodernisasi politik Thailand. Ia selalu tampil sebagai mediator dan otoritas moral yang melindungi bangsa dari pertikaian politik di Bangkok.
Foto: Reuters
Sipil vs. Militer
Sejarah monarki modern di Thailand adalah kisah perseteruan kekuasaan antara sipil dan militer. Setelah Perang Dunia II, negeri tak terjajah itu bergulat mencari bentuk pemerintahan paling ideal setelah berabad-abad monarki absolut yang mendominasi kekuasaan hingga ke level yang paling rendah.
Foto: picture-alliance/dpa/R. Yongrit
Takdir Sebagai Raja
Politik Thailand di awal dekade 50an terbelah antara militer yang ingin melucuti kekuasaan monarki dan kaum aristokrat kerajaan yang bertekad membangun sistem pemerintahan modern dengan monarki di jantungnya. Saat itulah harapan seisi negeri diletakkan di pundak Bhumibol Aduyadej yang saat itu baru berusia 18 tahun.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Mencari Dukungan Lewat Keyakinan
Di tahun pertama kekuasaanya, pergerakan Bhumibol banyak dibatasi oleh militer. Dia bahkan tidak diizinkan meninggalkan Bangkok. Untuk meredam ambisi kuasa tentara, keluarga kerajaan mencoba membangun basis dukungan di masyarakat. Pemangku tahta pun diproyeksikan sebagai pelindung Buddhisme yang mewakili kemurnian ajaran Dhamma.
Dekat Dengan Rakyat
Taktik tersebut berhasil merebut simpati masyarakat Thailand yang saat itu masih relijius. Bhumibol secara lihai membangun karakter sakral kerajaan yang kemudian menjadi tumpuan kekuasaannya selama 40 tahun ke depan. Mulai pertengahan 50an, militer mulai melonggarkan kekuasaannya dan Bhumibol aktif berpergian ke wilayah-wilayah terpencil.
Foto: Getty Images/AFP/C. Archambault
Pejuang Anti Komunisme
'Blusukan' ala Bhumibol itu pula yang kemudian menyelamatkan Thailand dari jerat Komunisme di dekade 60an. Pemberontak komunis yang mencoba menyulut kebencian pada pemerintah harus berhadapan dengan rakyat yang sudah terpikat oleh karisma sang raja. Bhumibol pun menjadi simbol perlawanan terhadap Komunisme yang marak di Asia Tenggara.
Foto: AP
Mediator Bangsa
Selama berkuasa, Bhumibol menjaga agar tahta terjauh dari politik praktis. Sikap itu pula yang sering mendatangkan hujan kritik. Hanya dua kali Bhumibol mengintervensi langsung politik di Bangkok, yakni 1973 ketika dia mengizinkan demonstrasi mahasiswa yang akhirnya memaksa diktatur Thanom Kittikachorn melarikan diri dan 1992 selama Mai Berdarah.
Foto: Reuters
Otoritas Moral
Tahun 2006 Bhumibol juga mengintervensi politik Thailand yang saat itu kisruh menyusul pemilihan Perdana Menteri Takhsin Shinawatra. Sang raja lalu memerintahkan Mahkamah Agung buat memeriksa keabsahan pemilu. Perannya sebagai otoritas moral yang tidak korup atau menyimpan kepentingan menjadi kekuatan penyeimbang terhadap wara wiri politik Bangkok yang kerap bergolak.