Biaya Pendidikan dan Masa Depan Anak Tidak Linear!
Mochamad Husni
23 Februari 2019
Debat Pilpres 2019 melibatkan kemajuan teknologi, bahkan revolusi industri 4.0 tapi biaya pendidikan saja mahal? Tidak perlu pusing. Orang tua bisa menemukan serta menggali potensi anak. Simak opini Mochamad Husni.
Iklan
Sebagai orang tua dengan usia yang menginjak angka 40-an dan kini melihat langsung kenyataan yang dialami teman-teman seangkatan, saya menarik kesimpulan penting tentang tanggung jawab orang tua dalam mendidik anak.
Saya berkeyakinan bahwa biaya pendidikan itu memang sangat penting, tetapi besar atau kecil biaya pendidikan tidak menentukan kesuksesan anak-anak di masa depan. Karena itu, biaya pendidikan dan masa depan anak bukan sesuatu yang linear!
Di antara bermacam faktor, orangtualah yang paling menentukan masa depan anak-anak. Bukan sekolah. Sekolah adalah instrumen yang bisa diutak-atik dan direkayasa oleh setiap orang tua.
Bukti sederhana, beberapa teman saya yang masa kecilnya dididik di lingkungan dengan biaya tinggi, bisa saya kategorikan "menjalani masa depan" yang tidak setara dengan biaya yang telah dikeluarkan orang tuanya dulu.
Sebaliknya, saya temukan juga kondisi teman seangkatan yang sekarang sangat beruntung, cerdas, sukses, dan hidup penuh manfaat meskipun dulu sekolahnya biasa-biasa saja.
Tak bisa 100% diserahkan ke lembaga pendidikan
Kuncinya, orang tua-orang tua mereka tidak menyerahkan seratus persen urusan pendidikan anak ke lembaga-lembaga sekolah.
Mereka sangat peduli pada perkembangan pengetahuan dan kekayaan pengalaman anak-anaknya. Sesibuk apapun mereka, sebagai orang tua mereka tetap memonitor dan berupaya memegang kendali agar pengetahuan dan pengalaman yang diserap anak-anaknya dapat menjadikan mereka sukses di masa depan.
Sayangnya, semakin maju dan modern dunia ini, hubungan orang tua dan anak kian menghadapi banyak tantangan. Di tengah kemunculan beragam pemicu yang membatasi peran orang tua dalam pendidikan anak itulah lembaga pendidikan kerap menawarkan solusi yang berpotensi menjebak para orang tua. Salah satunya menawarkan biaya yang sangat tinggi dengan iming-iming bahwa setiap orang tua cukup bertugas menyiapkan sekian dana, lalu terima beres di rumah.
Kedekatan dan pola hubungan orang tua dan anak yang sesuai fase pertumbuhan itu sangat menentukan masa depan anak. Tentu saja bukan sekadar dekat dan bertemu fisik pada banyak kesempatan. Tapi, kedekatan yang memungkinkan orang tua menemukan serta menggali potensi, keunggulan dan keunikan yang dimiliki setiap anak. Upaya ini mereka lakukan secara bersama-sama dengan lembaga pendidikan.
Ketika Kaum Lansia Thailand Kembali ke Sekolah
Kaum lansia di Thailand berbondong-bondong kembali ke sekolah dan belajar bersama teman sebaya. Program unik ini digagas untuk mengusir rasa sepi lantaran banyak lansia yang hidup sendiri setelah ditinggal keluarga.
Foto: Reuters/A. Perawongmetha
Kembali ke Sekolah
Mengenakan seragam baru berwarna merah putih, sekelompok lansia berusia 60an tahun pergi ke sekolah menumpang minibus layaknya murid pada umumnya. Banyak kaum lansia di Thailand yang mengikuti program kembali ke sekolah untuk menghindari kesendirian menyusul pergeseran demografi yang mengubah struktur keluarga.
Foto: Reuters/A. Perawongmetha
Sendiri Tanpa Keluarga
Perubahan demografi di kawasan pinggiran Thailand menempatkan kaum lansia dalam posisi yang tak nyaman. Biasanya kaum lansia tinggal dan diurus oleh anak dan cucunya. Namun untuk mencari kerja banyak keluarga muda yang meninggalkan kampung halaman dan hijrah ke kota. Derasnya arus migrasi memaksa sebagian lansia hidup sendiri tanpa keluarga.
Foto: Reuters/A. Perawongmetha
Menua dalam Separuh Abad
Setelah Cina, negeri gajah itu mencatat laju penuaan demografi tercepat di kawasan. Saat ini Thailand memiliki 7,5 juta penduduk yang berusia di atas 65 tahun, sekitar 13% dari total populasi. Angka tersebut akan melonjak hingga 17 juta manusia pada 2040. Perkembangan ini memaksa pemerintah mengambil sejumlah kebijakan buat memperbaiki kondisi hidup para lansia.
Foto: Reuters/A. Perawongmetha
Industrialisasi Ubah Struktur Keluarga
Meski antara lain disebabkan membaiknya layanan kesehatan gratis dan meningkatnya tingkat harapan hidup, fenomena di Thailand juga punya sisi muram. Menyusutnya angka kelahiran juga bertanggungjawab atas pergeseran demografi. Jika pada 1960an rata-rata perempuan di Thailand memiliki enam anak, kini jumlahnya hanya 1,5.
Foto: Reuters/A. Perawongmetha
Bebas Stres di Sekolah
Agar tidak kesepian, para lansia ini mengunjungi kelas bahasa Inggris seminggu sekali selama 12 pekan. Selain itu mereka juga ikut berlatih senam kebugaran. Adapun seragam sekolah yang dikenakan menambah kesan nostalgia terhadap program unik tersebut. "Hidup sehari-hari saja sudah sangat stres," kata Coochart Supkerd yang berusia 63 tahun kepada Reuters.
Foto: Reuters/A. Perawongmetha
Teman Lawan Kesepian
"Kalau saya pergi sekolah, saya berdandan dan bertemu teman. Kami ngobrol dan tertawa bersama," kata Somjit Teeraroj, perempuan berusia 77 tahun yang ditinggal mati suaminya setelah 40 tahun usia pernikahan. Ia mengatakan aktivitas bersekolah membantunya berdamai dengan kehidupan baru seorang diri.
Foto: Reuters/A. Perawongmetha
"Bangga" pada Pengetahuan Baru
Sekolah di Ayutthaya, sekitar 80 km, dari Bangkok, adalah satu dari sekian banyak lembaga pendidikan yang ikut serta dalam program pendidikan kaum lansia yang digagas pemerintah Thailand. "Saya mungkin akan kembali merasa kesepian tapi saya juga bangga terhadap sekolah dan bahwa saya mendapat pengetahuan baru di kelas," kata Coochart Supkerd. (rzn/yf: Reuters)
Foto: Reuters/A. Perawongmetha
7 foto1 | 7
Memastikan "visi misi kebaikan" lewat investasi
Setelah menemukan potensi, keunggulan dan keunikan anak, orang tua berperan memastikan "visi misi kebaikan" yang diharapkan dapat mereka lakukan kelak di masa depan.
Bagaimana dengan perkara mahal atau murah biaya pendidikan yang harus dikeluarkan orang tua?
Sejak awal menulis komentar atas opini "Sekolah Mahal di Ibukota Bisa Jadi Jaminan Masa Depan Cemerlang?", saya agak berbeda memandang biaya. Bagi saya, dana pendidikan yang harus kita siapkan untuk anak tidak bisa kita kategorikan sebagai "cost", melainkan sebagai "investasi". Jika kategori ini yang kita pakai, tak akan ada lagi istilah "mahal", sebab semua akan berpulang pada seberapa besar harapan yang ingin kita gapai bersama anak-anak.
Penulis: Mochamad Husni
Setelah menekuni profesi sebagai jurnalis selepas kuliah, mulai 2002 hingga sekarang aktif sebagai Public Relations sebuah perusahaan swasta dan penulis lepas.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
*Tulis komentar Anda di kolom di bawah ini.
Informasi Beasiswa di Jerman
Tak cukup uang untuk kuliah di Jerman yang terkenal dengan kualitas pendidikannya yang sangat baik? Sejumlah institusi di Jerman bisa mewujudkan impianmu.
Foto: Fotolia/Andres Rodriguez
Friedrich Ebert Stiftung (FES)
Beasiswa hanya diberikan kepada calon mahasiswa yang sudah diterima di universitas atau perguruan tinggi. Aplikasi diajukan ketika mahasiswa sudah berada di Jerman. Informasi selengkapnya: https://www.fes.de/studienfoerderung/ . Organisasi ini terkait erat dengan Partai Sosial Demokrat Jerman SPD. Kemampuan berbahasa Jerman menjadi prasyarat.
Foto: picture-alliance/ ZB
Friedrich Naumann Stiftung (FNS)
Yayasan yang terkait dengan Partai Liberal FDP ini menawarkan bantuan kepada mahasiswa asing yang terdaftar dalam program master dan doktoral di Jerman. Bantuan beasiswa buat prograam master sekitar 800 Euro/bulan, maksimum hingga dua tahun. Mereka yang memperoleh ilmu di Jerman diharapkan dapat meningkatkan kondisi di negara asal setelah kembali. Situsnya: http://bit.ly/1Qn7FU0
Lembaga ini terkait dengan Partai Hijau di Jerman dan fokus pada isu demokrasi, ekologi, solidaritas internasional dan anti kekerasan. Setiap tahun, ada dua kali kesempatan mengajukan aplikasi program beasiswa di yayasan ini, yakni awal Maret dan September. Cek infonya: https://www.boell.de/en/foundation/scholarships
Foto: picture alliance / dpa
Hanns Seidel Stiftung
Yayasan Hanns Seidel beralifiliasi dengan Partai Uni Sosial Kristen CSU. Yayasan ini mendukung pelamar berkualitas tinggi untuk mahasiswa pasca-sarjana (usia maksimal 32 tahun) , yang mempunyai nilai sangat baik, ketrampilan berbahasa Jerman dan catatan dalam keterlibatan sosial-politik. Info bisa diperoleh lebih jauh di: http://www.hss.de/english/scholarships.html
Foto: dapd
Konrad Adenauer Stiftung (KAS)
Bagi mahasiswa yang membutuhkan bantuan uang hidup selama studi di Jerman, bisa mengajukan permohonan bantuan ke orrganisasi yang berafiliasi dengan Uni Kristen Demokrat, CDU ini. Cek situsnya: http://www.kas.de/wf/en/42.8/ atau http://www.kas.de/wf/de/42.34/ Namun pelamar harus ada di Jerman saat mengajukan permohonan.
Foto: picture-alliance/dpa
Hans Böckler Stiftung
Yayasan ini dekat dengan Federasi Serikat Buruh Jerman. Salah satu tujuan program beasiswanya adalah mempromosikan pertukaran pengetahuan antara para sarjana, serikat pekerja dan pekerja. Yayasan ini mencari mahasiswa yang menunjukkan prestasi akademis tetapi terbentur biayai studi. Mereka yang sudah bekerja sebelumnya memiliki kesempatan yang lebih baik. Situs: http://www.boeckler.de/20.htm
Foto: Fotolia/apops
DAAD - Deutscher Akademischer Austauschdienst
Yang sangat banyak bergerak di bidang penyaluran beasiswa adalah DAAD, sebuah lembaga bersama dari institusi pendidikan tinggi dan asosiasi mahasiswa Jerman. Untuk informasi terkini mengenai program beasiswa DAAD secara umum, silakan mengunjungi situsnya: http://www.daadjkt.org/index.php?daad-scholarships . Di situs ini bisa dijumpai berbagai program yang sesuai dengan minat mahasiswa.
Foto: picture-alliance/dpa
Master International Media Studies DW Akademie
Deutsche Welle (DW) juga membuka kesempatan beasiswa untuk para jurnalis yang ingin meraih gelar master, lewat program International Media Studies. Perkuliahan 4 semester dilakukan dalam dua bahasa, Inggris dan Jerman. Info: https://www.dw.com/en/dw-akademie/about-us/s-9519