Bisa Naik Bus atau Kereta, Masih Pilih Menyetir Mobil?
14 Mei 2025
Di antara hiruk pikuk lalu lintas ibu kota Jakarta, melenggang ribuan angkutan kota (angkot) berkelir biru dan putih. Moda publik ini bepergian ke setiap sudut kota, membawa arus orang yang seolah tiada habisnya. Penumpang silih berganti naik dan turun tanpa perlu puyeng cari tempat parkir.
Jaringan transportasi seperti ini merupakan bagian penting dari megakota berpenduduk 11 juta jiwa itu dalam upaya mengatasi problem kemacetan. Kendaraan pribadi yang melintas di jalanan ibu kota terlalu banyak.
Jakarta tidak sendirian. Secara global, polusi udara dan kecelakaan lalu lintas menewaskan sekitar dua juta orang setiap tahunnya dan pembakaran bahan bakar fosil mesin kendaraan menghasilkan sekitar 10% emisi karbon global yang menyebabkan perubahan iklim.
Selama beberapa dekade, yang dilakukan pemerintah terhadap pertumbuhan lalu lintas adalah membangun lebih banyak jalur, jalan layang, dan tempat parkir. Namun, akibatnya membuat orang lebih tertarik beli dan pakai mobil sehingga potensi kemacetan malah lebih besar.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Sekarang, dalam upaya untuk menciptakan jalan yang lebih aman, bebas macet, dan udara yang lebih bersih, beberapa kota dan negara mencoba membuat warganya "membuang" mobil demi transportasi umum.
Pendekatan mereka beragam, demikian pula hasilnya.
Seberapa menarik transportasi umum gratis?
Beberapa kota, seperti ibu kota Estonia, Tallinn, telah memilih solusi yang tampaknya sederhana.
Dalam referendum tahun 2012, penduduk kota yang berpenduduk hampir setengah juta jiwa itu memilih untuk menggratiskan kereta, trem, dan bus bagi penduduk setempat.
Artinya, sejak tahun 2013, biaya transportasi umum telah turun menjadi sekitar €40 (Rp750 ribu) per orang per tahun.
"Akibatnya beragam," ujar Merlin Rehema, peneliti kota berkelanjutan dari kelompok penelitian nirlaba, Stockholm Environment Institute.
"Jumlah penumpang turun drastis, dari 42% menjadi sekitar 30% sekarang," ujar Rehema, seraya menambahkan, penggunaan mobil telah meningkat sekitar 5%.
"Orang-orang yang sebelumnya sudah menggunakan transportasi umum, sekarang lebih sering menggunakannya. Tapi juga beberapa dari mereka yang biasanya berjalan kaki dan bersepeda dalam jarak dekat jadi ikutan naik bus," tandasnya.
Tempat-tempat lain — seperti di Luksemburg, Malta, dan Kansas City di AS— yang juga telah menggratiskan biaya transportasi umum, melaporkan hasil serupa.
Para peneliti mengaitkan hal ini sebagian dengan pembatasan era COVID-19, tetapi bukan itu saja yang terjadi.
Demi gengsi lebih suka naik mobil?
Pete Dyson, seorang ilmuwan perilaku di Universitas Bath, Inggris, mengatakan keputusan tentang bagaimana orang memilih untuk bepergian juga bergantung pada psikologi seseorang.
"Ketika orang melihat aspek psikologis kepemilikan mobil, mereka biasanya terkait dengan status dan kebanggaan," ujar Dyson, seraya menambahkan mobil juga memenuhi kebutuhan dasar manusia akan keselamatan dan kenyamanan. Perasaan ini berbeda dengan naik bus yang kadang tiba terlambat dan penuh sesak.
Namun menambahkan bahwa kebutuhan atas rasa aman dan nyaman ini dapat dipenuhi dengan memberikan prioritas pada bus daripada mobil untuk membuat perjalanan lebih lancar, tepat waktu, dan lebih dapat diandalkan. Jadi, penting untuk menjadikan transportasi umum "lingkungan yang lebih aman dan nyaman."
Sistem transportasi publik sebaiknya tidak hanya fokus pada kecepatan atau efisiensi, tetapi juga memberikan kenyamanan dan nilai tambah bagi penumpang saat mereka dalam perjalanan. Misalnya menjamin "akses ke tempat duduk atau meja di dalam moda, atau memungkinkan penumpang untuk melakukan hal-hal yang berguna atau bermakna saat bepergian."
Naik bus dengan TransJakarta
Di Jakarta, ada kendaraan publik ber-AC, yang memiliki area tempat duduk terpisah khusus buat penumpang perempuan dan anak-anak. Juga tersedia staf yang siap siaga membantu dan memberikan informasi yang dibutuhkan.
Bus-bus yang dicat dengan warna merah muda hanya diperuntukkan bagi perempuan. Setiap perjalanan dikenakan biaya sekitar 3.500 rupiah.
Saat ini, sekitar 10% perjalanan di kota tersebut menggunakan bus dan kereta. Pemerintah ingin meningkatkan jumlah tersebut enam kali lipat pada tahun 2030. Namun, masalahnya lalu lintas mobil dan sepeda motor terus meningkat.
"Tantangan utama di sini atau pekerjaan rumah utama di sini adalah mendorong orang untuk menggunakan transportasi umum," ujar Direktur Asia Tenggara dari Institut Kebijakan Transportasi dan Pembangunan Gonggomtua Sitanggang.
Sejauh ini, Jakarta telah membangun sistem Bus Rapid Transit (BRT), yang mengubah jalur yang ada untuk menciptakan 14 koridor khusus bus.
Jaringan TransJakarta mencakup jarak 250 kilometer dan terhubung dengan 2.200 minibus biru dan putih yang dapat ditempuh dalam jarak 500 meter dari sebagian besar tempat di seluruh kota.
"Dan angkot gratis bisa memberi insentif kepada orang-orang agar menggunakan transportasi umum," kata Sitanggang, seraya menambahkan bahwa strategi untuk mendorong orang agar mau menggunakan transportasi publik adalah dengan cara menyediakan angkutan kecil secara cuma-cuma, sebagai penghubung awal dan akhir perjalanan penumpang.
Mengurangi kepemilikan mobil
Beberapa kota mengambil pendekatan berbeda dan mencoba membuat berkendara menjadi menyebalkan, misalnya melalui pungutan.
Mulai tahun ini, pemilik mobil di Estonia harus membayar biaya pendaftaran awal dan pajak kendaraan tahunan.
Sementara itu, London menetapkan zona biaya kemacetan yang mengakibatkan lalu lintas mobil menurun dan penggunaan bus dan kereta bawah tanah meningkat.
Namun, Merlin Rehema mengatakan ada cara lain untuk mengurangi minat berkendara, misalnya "benar-benar mendesain ulang kota agar lebih mendukung penggunaan transportasi umum."
Inilah yang dilakukan Paris dengan menghapus puluhan ribu tempat parkir, menutup seluruh jalan untuk mobil, dan melipatgandakan biaya parkir untuk SUV besar dan berpolusi.
Jakarta juga mulai mendesain ulang infrastruktur di zona pusat Dukuh Atas, yang memiliki puluhan ribu tempat parkir tetapi juga berada di pusat transportasi umum utama dengan koneksi bus dan kereta api.
"Kami mulai dengan meningkatkan konektivitas, fasilitas pejalan kaki dan sepeda, lalu kami mengembangkan strategi tentang cara mengurangi tempat parkir di area tersebut," papar Gonggomtua Sitanggang.
"Bahkan kota-kota yang tidak dapat dengan cepat mengubah infrastruktur, seharusnya dapat mengambil tindakan," kata Dyson.
"Beberapa perbaikan cepat pada jaringan yang ada misalnya dengan meningkatkan kualitas informasi tentang rute dan penunjuk jalan serta membuat tiket mudah diakses dan tarifnya pun lebih murah," pungkasnya.
Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Jerman
Diadaptasi oleh Ayu Purwaningsih
Editor: Agus Setiawan