1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Biksuni Thailand Perjuangkan Kesetaraan

Simba Russeau26 Desember 2013

Perempuan tidak boleh ditahbiskan menurut pengikut mazhab tertua agama Buddha, Theravada, di Thailand. Kini Yang Mulia Dhammananda Bhikkhuni mulai memperjuangkan status biksuni di Thailand.

Foto: DW/Simba Russeau

Di biara Songdhammakalyani, sejam dari Bangkok, enam biksuni atau biarawati Buddha mengenakan jubah berwarna safron, memulai hari dengan doa pagi.

Sesuai ajaran mazhab Theravada, biksuni mengikuti rutinitas ketat, bangun pukul 5 pagi untuk meditasi, mempelajari kitab suci dan mengumpulkan sedekah dari desa-desa sekitar.

Biara ini tampak seperti ribuan biara lainnya di berbagai penjuru Thailand. Namun di Thailand, hanya biara ini yang ditinggali para biksuni yang sudah ditahbiskan. Yang Mulia Dhammananda Bhikkhuni adalah sang kepala biara.

Dhammananda kini berusia akhir 60-an. Ketertarikannya terhadap agama Buddha berakar dari ibunya, yang membantu pendirian biara Songdhammakalyani tahun 1960. Saat itu merupakan biara pertama yang dibangun oleh perempuan, untuk perempuan. Dhammananda masih berusia 10 tahun saat ibunya ditahbiskan - di luar Thailand.

Dhammananda menjadi perempuan Thailand pertama yang mendapat penahbisan penuh dalam garis keturunan monastik TheravadaFoto: DW/Simba Russeau

Penahbisan perempuan dikesampingkan

Pada tahun 50-an, ibunda Dhammananda, Yang Mulia Voramai, dilarang oleh pemuka agama Buddha setempat untuk menjadi biksuni. Perempuan diharuskan hidup sebagai orang awam, melayani biksu, dan bukan menjadi biksuni.

Di negara-negara Asia lainnya, seperti Vietnam, Tibet atau Taiwan, yang mengikuti mazhab Mahayana, tradisi menahbiskan biarawati sudah menjadi praktek umum selama berabad-abad.

Voramai yakin biarawati harus terlibat pelayanan sosial, dan juga mengikuti jalur spiritual. Jiwa pionir ini yang menginspirasi anak perempuannya untuk meninggalkan kariernya sebagai seorang akademisi.

Selama tiga dekade, Dhammananda adalah seorang profesor studi religi dan filosofi di Universitas Thammasat di Bangkok. Ia menelurkan buku tentang perempuan dan agama Buddha, bahkan mempunyai acara televisi 'Dharma Talk,' yang populer di tingkat nasional dan merebut sejumlah penghargaan.

Namun fokusnya berubah. "Sudah cukup kesuksesan bagi saya," tutur Dhammananda. "Saya sudah puas dengan hidup duniawi. Ke mana berikutnya?" itu pertanyaan yang muncul sebelum ia memilih mengikuti jejak ibunya dan mengejar penahbisan.

Warga memberikan makanan sebagai bentuk sedekah ke biaraFoto: DW/Simba Russeau

Mempromosikan kesetaraan

Seperti ibunya yang menjadi perempuan modern Thailand pertama yang menjadi biksuni dalam tradisi Mahayana, Dhammananda menjadi perempuan penganut Theravada pertama yang ditahbiskan di Sri Lanka. Setelah itu Dhammananda mulai mempromosikan kesetaraan bagi biksuni di Thailand.

Saat ibunya mulai tertarik pada agama Buddha, Dhammananda berkisah kepada DW, "Ia menyadari bahwa Buddha saat masih hidup menahbiskan perempuan, bahkan ibunya sendiri." Ini berarti sejarah penahbisan perempuan sampai 2.500 tahun, hingga periode awal agama Buddha. Ia mulai bertanya-tanya mengapa perempuan di Thailand kehilangan haknya.

Penahbisan perempuan diperbolehkan di bawah konstitusi Thailand. Namun Dewan Thai Sangha, sebuah kelompok penasehat agama konservatif, tetap menentang biksuni seraya meyakini hanya kaum lelaki yang boleh masuk kerahiban.

Dhammananda menginspirasi kaum perempuan Thailand untuk mengikuti jejaknyaFoto: DW/Simba Russeau

Memperkuat panggilan bagi perempuan

Di seluruh penjuru Thailand saat ini ada lebih dari 30 biksuni yang tinggal di biara. Beberapa kali perempuan yang ingin ditahbiskan dituding meniru-niru biksu, sebuah pelanggaran hukum di Thailand. Tanpa pengakuan legal, biksuni tidak diindahkan oleh pemerintah Thailand dan tidak mendapat hak selayaknya biksu.

"Ada rumah sakit untuk biksu tapi tidak ada klinik untuk biksuni. Jadi bagaimana kalau biksuni sakit?" tanya Sutada Mekrungruengkul, seorang dosen agama di Universitas Yonok di Lampang. "Biksu punya universitas sendiri, namun tidak ada universitas untuk perempuan. Biksu juga mendapat pensiun bulanan dari pemerintah."

Karakter berbeda dari biara Songdhammakalyani adalah akses terhadap pendidikan bagi perempuan.

"Sejak menjadi biksuni saya belajar mengontrol diri, mengenal diri sendiri," ungkap Dhammasiri (53), yang ditahbiskan empat tahun lalu.

"Pendekatan feminis Yang Mulia Dhammananda terhadap teks keagamaan begitu memberdayakan," kata Dhammasiri. "Tidak seperti biara yang didominasi lelaki, ia dapat memberikan kepada kami Dharma Buddha dari perspektif perempuan."