Para peneliti di berbagai Universitas Jerman mengidentifikasi dua tipe sel dalam darah, yang menjelaskan masalah penggumpalan darah pada Covid-19. Dengan itu kemungkinan gejala parah penyakit bisa dikenali lebih dini.
Iklan
Hingga sekarang dampak serangan virus corona SARS-CoV2 pada tiap individu masih menjadi misteri. Karena banyak yang terinfeksi, tapi hanya menunjukkan gejala sakit ringan. Sementara pada sebagian pasien Covid-19 yang lainnya, gejala sakitnya sangat parah.
Pada pasien Covid-19 dengan gejala penyakit sangat parah, sering muncul reaksi peradangan yang keliru menyerang organ tubuh. Paru-paru mengalami peradangan, kadang juga jantung atau ginjal terkena peradangan.
Sering terjadi kerusakan pembuluh darah halus yang memicu penggumpalan darah, yang bisa membentuk emboli pada paru-paru. Inilah yang paling sering menjadi penyebab kematian para pasien Covid-19 dengan gejala sakit berat.
Iklan
Ada biomarker sel yang khas bagi gejala parah
Sebuah tim peneliti dari Universitas dan lembaga riset di negara bagian Jerman Schleswig Holstein serta ilmuwan Belanda, berhasil menemukan indikator penentu dalam darah pasien Covid-19, yang kemungkinan bisa memberikan peringatan dini gejala sakit parah.
Apakah Sudah Ada Obat Penyembuh Covid-19?
Euforia pecah saat vaksin corona pertama dinyatakan efektif hingga 95%. Namun banyak yang lupa, penyakit Covid-19 jika sudah menyerang tubuh, harus diobati agar pasien sembuh. Adakah obat ampuh buat melawan Covid-19?
Foto: Kay Nietfeld/dpa/picture alliance
Dexamethasone Reduksi Kematian Pasien Covid-19
Sejauh ini penyakit Covid-19 hanya diobati gejalanya. Dexamethasone adalah obat keluarga streoid yang murah dan mudah diakses. Dalam uji coba terhadap 2.100 pasien Covid-19 dengan gejala berat, obat anti inflamasi ini mampu mereduksi kematian pasien hingga 30%. Pakar epidemiologi Peter Horby dari Universitas Oxford Inggris, pimpinan riset menyebut, obat murah ini bisa cegah banyak kematian.
Foto: Getty Images/M. Horwood
Favipiravir Kurangi Beban Virus Corona
Favipiravir dikembangkan oleh Fujifilm Holdings Jepang untuk melawan virus lain, dalam kasus ini virus influenza. Dalam sebuah riset disebutkan unsur aktifnya bisa mengurangi beban virus pada tubuh pasien dan mereduksi lamanya waktu perawatan di rumah sakit. Obat yang di Jepang dikenal dengan merk Avigan ini, juga sudah mendapat izin edar di Rusia dengan nama Avifavir.
Foto: picture-alliance/dpa/Kimimasa Mayama
Remdesivir Tidak Disarankan oleh WHO
Remdesivir sejatinya dikembangkan untuk mengobati Ebola yang dipicu virus corona jenis lain. Obat buatan Gilead Sciences AS ini mula-mula disebut ampuh melawan Covid-19 dan di AS diajukan regulasi darurat. Tapi WHO kemudian menyatakan, tidak merekomendasikan Remdesivir, karena tidak menunjukkan keampuhan signifikan pada pasien Covid-19.
Foto: picture-alliance/Yonhap
Chloroquin Mencuat Akibat Politisasi
Chloroquin dan turunannya Hydroxychloroquin adalah obat anti malaria yang ampuh dan sudah digunakan luas sejak lama. Nama obat ini mencuat gara-gara presiden AS, Trump dan presiden Brazil, Bolsonaro memuji keampuhannya tanpa data ilmiah penunjang. Riset terbaru menyatakan obat antimalaria ini tidak ampuh melawan virus SARS-Cov-2 penyebab Covid-19.
WHO mula-mula menyarankan jangan mengkonsumsi obat antinyeri Ibuprofen dalam kasus infeksi virus corona. Namun beberapa hari kemudian WHO mencabut lagi saran ini. Pakar virologi Jerman Christian Drosten menyebut, asupan ibuprofen tidak membuat penyakit Covid-19 tambah parah. Sejauh ini sifat virus SARS-Cov-2 memang masih terus diteliti.
Foto: picture-alliance/dpa/L. Mirgeler
Artemisia Obat Herbal Berpotensi
Tanaman Artemisia dengan unsur aktif artemisinin terbukti ampuh melawan malaria. Penemunya, ilmuwan Cina Youyou Tu dianugerahi Nobel Kedokteran 2015. Kini herbal berkhasiat ini dilirik para peneliti Jerman yang merisetnya untuk mengobati Covid-19. Namun WHO menyarankan semua pihak agar ekstra hati-hati tanggapi laporan efektifitas herbal dalam pengobatan Covid-19. (Penulis: Agus Setiawan)
Foto: picture-alliance/dpa/T. Kaixing
6 foto1 | 6
Para peneliti Jerman dari yayasan "Precision Medicine in Chronic Inflammation Cluster of Excellence - PMI" itu menemukan sel precursor dari trombosit dalam sel darah yang memainkan peranan penting dalam penggumpalan darah. Sel itu mereka temukan dalam sampel darah pasien Covid-19 dengan gejala sakit parah.
Sel yang disebut megakaryocytes itu, normalnya ditemukan pada sum-sum tulang belakang, dan dalam kondisi tertentu akan matang menjadi sel darah merah. Tapi sel darah merah yang belum matang itu, juga ditemukan dalam darah pasien pada kasus keracunan darah atau sepsis.
"Kami menemukan kasus adanya sel trombosit yang belum matang dalam darah, pada pasien sakit berat akibat keracunan darah oleh bakteri. Ini menjadi indikasi, bahwa sel trombosit yang belum matang ini memicu masalah penggumpalan darah yang berbahaya", kata Florian Tran dari institut untuk biologi molekuler klinis Universitas Kiel, Jerman yang menjadi penulis utama riset tersebut.
Banyaknya sel darah merah yang belum matang, juga menunjukkan adanya kekurangan oksigen. Ini merupakan reaksi darurat tubuh dalam kasus penyakit paru-paru berat. Pasalnya sel darah merah khususnya Eritrosit lazimnya bertanggung jawab pada transport oksigen dalam tubuh.
Mengenali dini gejala penyakit berat
"Bersama dengan data lainnya, seperti data klinis dari laboratorium dan pengukuran elemen pembawa pesan peradangan, para ilmuwan bisa membuat semacam sidik jari sel yang mengalami perubahan fungsi ini. Dan memantaunya seiring perjalanan waktu," kata Dr. Neha Mishra yang juga menjadi penulis pertama laporan ilmiah tersebut.
Lewat sidik jari molekuler dalam darah, kemungkinan munculnya gejala penyakit berat dapat dikenali lebih dini. Dengan itu layanan gawat darurat juga bisa disiapkan dan disesuaikan dengan perjalanan penyakitnya.
Hasil penelitian gabungan para ahli dari berbagai Universitas di Jerman dan Belanda serta pusat penelitian di Jerman itu dipublikasikan baru-baru ini dalam jurnal ilmiah Immunity.
Alexander Freund (as/gtp)
7 Pengusaha Yang Raup Untung Selama Pandemi Corona
Banyak industri yang terpukul oleh krisis virus corona. Tetapi ada juga bisnis yang mengeruk keuntungan besar di masa pandemi.
Foto: Pawan Sharma/AFP/Getty Images
Jeff Bezos, Amazon
Pendiri Amazon Jeff Bezos tentu bermain di kelas tersendiri. Perusahaan e-commerce miliknya dengan cepat melejit selama pandemi Covid-19. Nilai saham Amazon terus menerus mencatat rekor baru, membuat Jeff Bezos menjadi orang terkaya, yang makin kaya lagi selama krisis virus corona, dengan nilai kekayaan USD 193 miliar menurut majalah Forbes.
Foto: Dennis Van TIne/Star Max//AP Images/picture alliance
Elon Musk, Tesla
Perusahaan Tesla milik Elon Musk memang membuat mobil, tetapi di bursa harga sahamnya melejit seperti roket meluncur ke antariksa. Tesla termasuk perusahaan yang mengeruk keuntungan dari antusiasme selama pandemi. Beberapa waktu lalu, Elon Musk menyalip Bill Gates (Microsoft) dalam daftar orang terkaya dunia dan kini menempati peringkat kedua, dengan kekayaan sekitar USD 132 miliar.
Foto: Getty Images/M. Hitij
Eric Yuan, Zoom
Meningkatnya jumlah orang yang bekerja dari rumah di masa pandemi, menjadi keuntungan besar bagi Eric Yuan. Pendiri Zoom ini pindah dari Cina ke AS ketika dia berusia 27 tahun. Dia meluncurkan platform komunikasi videonya Zoom di pasar bursa pada 2019. Sejak pecahnya krisis virus corona, nilai sahamnya ibarat meledak. Eric Yuan diperkirakan memiliki kekayaan sekitar USD 19 miliar.
Foto: Kena Betancur/Getty Images
John Foley, Peloton
Tahun 2013, John Foley masih berkeliling kesana-kemari mempromosikan peralatan fitnesnya. Di saat pandemi, ketika banyak orang harus tinggal di rumah dan banyak tempat olahraga ditutup, makin banyak orang yang membeli peralatan olahraga rumah dari Peloton. Saham perusahaan ini melonjak tiga kali lipat selama pandemi, dan membuat John Foley yang berusia hampir 50 tahun menjadi miliarder.
Foto: Mark Lennihan/AP Photo/picture alliance
Tobias Lütke, Shopify
Shopify memungkinkan pedagang membuat toko online mereka sendiri - dikembangkan oleh Tobias Lütke. Lahir di Koblenz, Jerman, dia beremigrasi ke Kanada 2002 dan mengembangkan bisnisnya dari garasi. Saat ini, Shopify adalah perusahaan paling berharga di Kanada. Majalah Forbes menaksir kekayaan Tobias Lütke yang berusia 39 tahun sekitar USD 9 miliar.
Foto: Wikipedia/Union Eleven
Ugur Sahin, BioNTech
Awal Januari, Ugur Sahin mulai mengembangkan vaksid Covid-19, dengan perusahaan yang dia dirikan bersama istrinya, Özlem Türeci: BioNTech. Insting bisnis suami-istri keturunan Turki ini ternyata membuahkan hasil. Nilai saham yang mereka miliki di BioNTech, yang bekerjasama dengan raksasa farmasi AS Pfizewr, diperkirakan mencapai USD 2,4 miliar.
Foto: BIONTECH/AFP
Dominik Richter, HelloFresh
Perusahaan layanan makanan HelloFresh langsung berkembang pesat di masa pandemi Covid-19. Keuntungannya naik lebih dari tiga kali lipat, menurut laporan terbaru yang dirilis awal November. Salah satu pendirinya, Dominik Richter, berhasil memanfaatkan situasi, di mana banyak restoran harus ditutup. Dia memang belum berada di liga para milarder, tetapi sedang menuju ke sana. (hp/as)