1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiPrancis

Bisakah Prancis Pangkas Pengeluaran Tanpa Picu Resesi?

Lisa Louis
9 Oktober 2024

Defisit anggaran Prancis ternyata lebih tinggi dari perkiraan, sehingga meningkatkan tekanan dari UE. Perdana Menteri Michel Barnier harus mengatasi permasalahan politik terkait anggarannya.

Parlemen Prancis
Parlemen Prancis terpecah soal rancangan anggaran belanja pemerintahan PM Michel BarnierFoto: Telmo Pinto/NurPhoto/picture alliance

Perdana Menteri (PM) Prancis yang baru, Michel Barnier, menghadapi tugas berat untuk meloloskan anggaran belanja tahun 2025 di parlemen, di mana dia tidak memiliki mayoritas. Tekanan terhadap pemerintahannya juga semakin meningkat, karena defisit anggaran tahun ini akan melebihi 6% Produk Domestik Brutto, dibandingkan dengan perkiraan awal sebesar 4,4%.

Dalam pidato pidato kebijakan umum di Majelis Nasional pada tanggal 1 Oktober, Michel Barnier sudah mengingatkan parlemen. "Pedang Damocles sedang menghantui kita. Ini bisa mendorong kita ke jurang yang dalam,” katanya di hadapan anggota parlemen.

Presiden Emmanuel Macron baru-baru ini menunjuk Michel Barnier sebagai PM yang baru setelah kebuntuan politik berbulan-bulan, menyusul pemilihan parlemen awal Juli lalu. Barnier sekarang harus menyampaikan rencana anggarannya belanja pada 10 Oktober.

Tidak punya mayoritas di parlemen, PM Michel Barnier menghadapi banyak tantanganFoto: Alain Jocard/AFP/Getty Images

Utang membubung karena subsidi negara

Utang publik Prancis saat ini mencapai sekitar €3,2 triliun, sekitar 110% dari PDB Prancis. Michel Ruimy, profesor ekonomi di universitas Sciences Po di Paris menyebutkan, kenaikan tersebut disebabkan dua faktor utama.

"Pemerintah menghabiskan banyak uang untuk membantu rumah tangga dan perusahaan selama pandemi COVID-19 yang dimulai pada tahun 2020,” katanya kepada DW. "Paris juga memberikan subsidi besar pada harga listrik, setelah meroket menyusul invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022.”

Tokoh politik kiri Henri Sterdyniak juga menyalahkan tindakan lain yang diambil oleh Macron. "Dia menurunkan pajak untuk rumah tangga dan khususnya untuk perusahaan sebesar €60 miliar, dengan mengatakan bahwa pemotongan ini akan dibiayai melalui pertumbuhan yang lebih tinggi. Namun hal itu tidak pernah terwujud,” kata Sterdyniak kepada DW.

PM Michel Barnier sekarang harus memangkas anggaran belanja, dan berencana menurunkan defisit anggaran menjadi 5% tahun depan dan 3% pada tahun 2029. Dua pertiga dari penghematan akan berasal dari pemangkasan pengeluaran publik dan dari tarif pajak yang lebih tinggi. Pajak bisa naik bagi orang kaya, perusahaan dengan keuntungan luar biasa, dan dari keuntungan modal. Pemerintah juga bertujuan untuk menutup sejumlah celah pajak.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Ruimy berpendapat, pemerintah sudah benar jika melakukan upaya besar untuk mengurangi pengeluaran. "Lebih aman untuk memangkas pengeluaran, misalnya dengan menghapuskan subsidi untuk pemagangan, seperti yang diumumkan oleh Barnier,” katanya, seraya menambahkan, "Anda tidak pernah tahu apakah orang-orang kaya, yang umumnya lebih mudah pindah, akan pindah ke luar negeri jika Anda menaikkan pajak mereka lebih jauh.”

Namun Anne-Sophie Alsif, kepala ekonom di konsultan BDO di Paris, tidak setuju rencana kebijakan itu. "Konsumsi swasta adalah pendorong pertumbuhan perekonomian kita – 60% pengeluaran publik disalurkan ke rumah tangga yang membelanjakan uang tersebut,” katanya. "Memotong belanja publik dapat memicu resesi, yang akan menurunkan pendapatan pajak dan semakin meningkatkan utang.”

Pemerintah harus membelanjakan uangnya secara berbeda, menurut Alsif. "Mereka perlu menyalurkan sebagian besar pendapatan ke dalam investasi produktif, seperti yang dilakukan AS dan Cina, yang akan merangsang pertumbuhan ekonomi,” katanya.

Tapi Eric Heyer, ekonom di lembaga think tank OFCE di Paris mengatakan, sektor swasta tidak serta merta akan mengisi kesenjangan yang ditinggalkan oleh pemerintah. "Jumlah peserta magang meningkat dari 350.000 menjadi 1 juta per tahun, setelah Paris mulai mensubsidi program pemagangan,” katanya. "Tetapi perusahaan-perusahaan mengatakan kepada kami, mereka tidak akan menerima banyak pekerja magang jika subsidi dihapuskan.”

Kubu Kiri akan ajukan mosi tidak percaya?

Anggaran belanja baru harus melalui persetujuan parlemen, padahal pemerintahan Barnier tidak punya mayoritas. Tim kabinet sendiri terdiri dari anggota Partai Republik dan aliansi sentris Macron, Ensemble.

Karena itu, Michel Barnier diperkirakan akan menggunakan modus konstitusional khusus — yaitu paragraf 49.3, untuk meloloskan anggaran. Sehingga hanya mosi tidak percaya di parlemen yang dapat menghentikan realisasi anggaran. Aliansi sayap kiri, Front Populer Baru, yang mencakup kelompok sayap kiri France Unbowed, Sosialis, Partai Hijau dan kubu Komunis, telah mengumumkan akan meluncurkan prosedur mosi tidak percaya semacam itu.

Jeromin Zettelmeyer, kepala lembaga pemikir Bruegel yang berbasis di Brussels dan pernah bekerja di Dana Moneter Internasional, lebih optimis. "Mosi tidak percaya hanya bisa dilakukan, jika ada dukungan dari kelompok sayap kanan Rassemblement National (RN) dan hal itu sepertinya tidak mungkin terjadi saat ini,” katanya kepada DW.

Eric Heyer mengakui, segala sesuatunya bisa menjadi lebih baik. "Tidak ada yang memahami mengapa defisit anggaran kita tiba-tiba jauh lebih tinggi dari yang diperkirakan, padahal perkiraan tersebut didasarkan pada angka pertumbuhan dan inflasi yang benar,” katanya, seraya menambahkan bahwa sulit untuk melihat "kompromi seperti apa yang dapat dilakukan soal anggaran, mengingat setiap kubu politik mempunyai garis merahnya masing-masing yang sangat mengurangi kelonggaran Barnier." Eric Heyer tidak menutup kemungkinan, pemerintahan bisa jatuh dalam waktu dekat.

Diadaptasi dari atikel DW bahasa Jerman