Enam presiden Korea Selatan sebelumnya telah menghadapi penyelidikan kriminal selama atau setelah meninggalkan jabatan. Presiden Lee Jae-myung berjanji memutus rangkaian kejadian itu.
Presiden Korea Selatan Lee Jae-myungFoto: ANTHONY WALLACE/Pool via REUTERS
Iklan
Meskipun ada seruan untuk rekonsiliasi dan pemutusan siklus balas dendam politik sebelum dan sesudah pemilihan presiden baru-baru ini, tampaknya Presiden Korea Selatan Lee Jae-myung tidak menunjukkan tanda-tanda belas kasihan kepada pendahulunya, Yoon Suk Yeol yang digulingkan. Presiden yang baru menyetujui penyelidikan baru terhadap mantan presiden dan istrinya.
Sejak Roh Moo-hyun, yang terpilih pada tahun 2003, menghadapi penyelidikan kriminal oleh pemerintahan berikutnya, enam pemimpin terakhir Korea Selatan telah menghadapi pengusutan saat menjabat atau atas dugaan kesalahan lainnya, yang biasanya berakibat fatal.
Roh Moo-hyun meninggal karena bunuh diri setelah dituduh melakukan penyuapan, sementara penggantinya, Lee Myung-bak, dihukum setelah meninggalkan jabatannya karena penyuapan dan penggelapan pajak dan dijatuhi hukuman 15 tahun penjara.
Berikutnya Park Geun-hye, yang dimakzulkan pada tahun 2016 karena tuduhan penyalahgunaan pengaruh dan dijatuhi hukuman penjara 25 tahun karena korupsi. Selanjutnya mantan Presiden Moon Jae-in, yang didakwa pada bulan April 2025 atas tuduhan korupsi terkait dengan menantunya yang mendapatkan pekerjaan di sebuah maskapai penerbangan dalam proses yang masih berlangsung.
Mantan presiden Yoon Suk Yeol sekarang menghadapi proses pengusutan atas tuduhan pemberontakanFoto: Kim Soo-hyeon/REUTERS
Janji untuk memutus "siklus balas dendam”
Dalam konferensi pers pada tanggal 25 Mei lalu, hanya sembilan hari sebelum pemilihan, Lee Jae-myung mengatakan hanya dia yang bisa mengakhiri siklus pembalasan politik, karena dia pernah menjadi penerima serangan semacam itu.
Iklan
Namun seminggu setelah pemilihan umum, Presiden Lee menandatangani rancangan undang-undang yang mengamanatkan penyelidikan terhadap deklarasi darurat militer pendahulunya — serta penyelidikan terhadap istrinya, Kim Keon-hye, atas dugaan korupsi.
"Saya harus mengakui bahwa saya sangat kecewa karena siklus balas dendam yang sama seperti yang pernah kita lihat di masa lalu terulang lagi," kata Kim Sang-woo, mantan politisi dari Partai Kongres Politik Baru Korea Selatan yang condong ke kiri dan sekarang menjadi anggota dewan Yayasan Perdamaian Kim Dae-jung.
"Partai Kekuatan Rakyat, PPP, berada dalam kekacauan total sejak pemilu dan bukan merupakan lawan yang kuat bagi Lee atau Partai Demokrat, DP. Ini sebenarnya bisa menjadi peluang untuk pendekatan yang bersifat mendamaikan terhadap oposisi, untuk memperbaiki situasi politik dan menjauh dari politik konfrontatif yang telah kita alami selama ini," katanya kepada DW.
"(Tapi sekarang) jelas hal itu tidak terjadi dan saya khawatir Lee akan menggunakan kekuatan besar yang dimilikinya untuk keuntungannya sendiri," kata Kim. "Saya khawatir terhadap masa depan politik negara ini."
Sejarah Perang Korea 1950-1953
Ambisi Kim Il Sung menguasai Semenanjung Korea tidak hanya merenggut jutaan nyawa, tetapi juga berakhir pahit untuk aliansi komunis di utara. Perang Korea gagal mengubah garis demarkasi yang masih bertahan hingga kini.
Foto: Public Domain
Korea Terbagi Dua
Selepas Perang Dunia II, Korea yang dijajah Jepang mendapat nasib serupa layaknya Jerman yang dibagi dua antara sekutu Barat dan Uni Soviet. Ketika AS membentuk pemerintahan boneka di bawah Presiden Syngman Rhee untuk kawasan di selatan garis lintang 38°, Uni Soviet membangun rezim komunis di bawah kepemimpinan Kim Il Sung.
Foto: Getty Images/AFP
Siasat Kim Lahirkan Perang Saudara
Awal 1949 Kim Il Sung berusaha meyakinkan Josef Stalin untuk memulai invasi ke selatan. Namun permintaan itu ditolak Stalin karena mengkhawatirkan intervensi AS. Terlebih serdadu Korut saat itu belum terlatih dan tidak mempunyai perlengkapan perang yang memadai. Atas desakan Kim, Soviet akhirnya membantu pelatihan militer Korut. Pada 1950 pasukan Korut sudah lebih mumpuni ketimbang serdadu Korsel
Foto: Bundesarchiv, Bild 183-R80329 / CC-BY-SA
Peluang Emas di Awal 1950
Keraguan Stalin bukan tanpa alasan. Sebelum 1950 Cina masih tenggelam dalam perang saudara antara kaum nasionalis dan komunis, pasukan AS masih bercokol di Korsel dan ilmuwan Soviet belum berhasil mengembangkan bom nuklir layaknya Amerika Serikat. Ketika situasi tersebut mulai berubah, Stalin memberikan lampu hijau bagi invasi pada April 1950.
Foto: picture-alliance/dpa/Bildfunk
Kekuatan Militer Korut
Berkat Soviet, pada pertengahan 1950-an Korut memiliki 200.000 serdadu yang terbagi dalam 10 divisi infanteri, satu divisi kendaraan lapis baja berkekuatan 280 tank dan satu divisi angkatan udara dengan 210 pesawat tempur. Militer Korut juga dipersenjatai 200 senjata artileri, 110 pesawat pembom dan satu divisi pasukan cadangan berkekuatan 30.000 serdadu dengan 114 pesawat tempur dan 105 tank
Foto: AFP/Getty Images
Kekuatan Militer Korsel
Sebaliknya kekuatan militer Korea selatan masih berada jauh di bawah saudaranya di utara. Secara umum Korsel hanya berkekuatan 98.000 pasukan, di antaranya cuma 65.000 yang memiliki kemampuan tempur, dan belasan pesawat, tapi tanpa tank tempur atau artileri berat. Saat itu pasukan AS banyak terkonsentrasi di Jepang dan hanya menempatkan 300 serdadu di Korsel.
Foto: picture-alliance/dpa
Badai Komunis Mengamuk di Selatan
Pada 25 Juni 1950 sekitar 75.000 pasukan Korut menyebrang garis lintang 38° untuk menginvasi Korea Selatan. Hanya dalam tiga hari Korut yang meniru strategi Blitzkrieg ala NAZI Jerman merebut ibu kota Seoul dengan mengandalkan divisi lapis baja dan serangan udara. Pada hari kelima kekuatan Korsel menyusut menjadi hanya 22.000 pasukan
Foto: picture-alliance/dpa
Arus Balik dari Busan
Kendati AS mulai memindahkan pasukan dari Jepang ke Korsel, hingga awal September 1950 pasukan Korut berhasil menguasai 90% wilayah selatan, kecuali secuil garis pertahanan di sekitar kota Busan. Dari kota inilah Amerika Serikat dan pasukan PBB melancarkan serangan balik yang kelak mengubur impian Kim Il Sung menguasai semenanjung Korea.
Foto: Public Domain
September Berdarah
Di bawah komando Jendral Douglas MacArthur, pasukan gabungan antara AS, PBB dan Korea Selatan yang kini berjumlah 180.000 serdadu mulai mematahkan kepungan Korut terhadap Busan. Berbeda dengan pasukan Sekutu, Korut yang tidak diperkuat bantuan laut dan udara mulai kewalahan dan dipaksa mundur semakin ke utara.
Foto: Public Domain
Nasib Buruk Berputar ke Utara
Pada 25 September pasukan sekutu berhasil merebut kembali Seoul. Serangan udara dan artileri militer AS berhasil menghancurkan sebagian besar tank dan senjata artileri milik Korut. Atas saran Cina, Kim menarik mundur pasukannya dari selatan. Jelang Oktober hanya sekitar 30.000 pasukan Korut yang berhasil kembali ke utara.
Foto: Public Domain
Intervensi Mao
Ketika pasukan AS melewati batas demarkasi pada 1 Oktober, Stalin dan Kim mendesak Mao Zedong dan Zhou Enlai agar mengirimkan enam divisi invanteri Cina ke Korea. Soviet sendiri sudah menegaskan tidak akan menurunkan langsung pasukannya. Permintaan tersebut baru dijawab pada 25 Oktober, setelah serangkaian perjalanan diplomasi antara Beijing dan Moskow.
Foto: gemeinfrei
Mundur Teratur
Hingga November 1950 pasukan AS tidak hanya merebut Pyongyang, tetapi juga berhasil merangsek hingga ke dekat perbatasan Cina. Kemenangan AS terhenti setelah pasukan Cina yang berkekuatan 200.000 tentara mulai melakukan serangan balik. Intervensi tersebut menyebabkan kekalahan besar pada pasukan AS yang terpaksa mengundurkan diri dari Korea Utara pada pertengahan Desember.
Foto: Public Domain
Berakhir dengan Kebuntuan
Hingga Juli 1951 pasukan Cina dan AS masih bertempur sengit di sekitar perbatasan garis lintang 38°. Baru pada pertengahan tahun kedua pihak mulai mengendurkan serangan yang menyebabkan situasi buntu. Setelah kematian Josef Stalin, sikap Uni Soviet mulai melunak dan pada 27. Juli 1953 kedua pihak menyepakati gencatan senjata yang masih berlaku hingga kini.
Foto: picture-alliance/dpa
Hilang Nyawa Terbuang
Pada akhir Perang Korea, sebanyak 33.000 pasukan AS dilaporkan tewas dalam pertempuran. Sementara Korsel melaporkan sebanyak 373.000 warga sipil dan 137.000 pasukan tewas. Sebaliknya Cina kehilangan 400.000 serdadu dan Korut 215.000 pasukan, serta 600.000 warga sipil. Secara umum angka kematian yang diderita kedua pihak mencapai 1,2 juta jiwa.
Foto: Public Domain
13 foto1 | 13
Lee Jae-myung masih menghadapi gugatan hukum
Lim Eun-jung, profesor studi internasional di Universitas Nasional Kongju, memiliki kekhawatiran serupa tentang konsentrasi kekuasaan di tangan Lee.
"Ada alasan bagus mengapa masing-masing mantan presiden masuk penjara, tetapi kali ini Lee terus mengatakan bahwa dia tidak ingin membalas dendam," katanya. "Yoon mungkin pantas ditangkap dan didakwa karena mengumumkan darurat militer, tetapi apakah perlu meluncurkan penyelidikan khusus terhadap istrinya?"
Kim Sang-woo, dari Yayasan Perdamaian Kim Dae-jung, menunjukkan bahwa Lee sendiri telah menjadi subjek sejumlah kasus hukum sejak 2018, termasuk menerbitkan informasi palsu tentang pemilu dan melanggar undang-undang kampanye dengan berbohong selama debat yang disiarkan di televisi pada tahun 2020.
Pada tahun 2023, ia menjadi politisi pertama yang menjabat sejak tahun 1998 yang diperiksa terkait kasus pidana, ketika ia ditanyai tentang sumbangan perusahaan sebagai imbalan atas bantuan.
Pada tahun yang sama ia dituduh melakukan penyuapan, korupsi, pelanggaran kepercayaan, dan konflik kepentingan atas proyek konstruksi besar-besaran di kota Seongnam, tempat ia sebelumnya menjabat sebagai wali kota. Ia juga dituduh menyalurkan delapan juta dolar AS secara ilegal ke Korea Utara melalui sebuah perusahaan pakaian.
Pada 5 Juni lalu, Mahkamah Agung Korea Selatan mengonfirmasi hukuman penjara bagi salah satu penasihat terdekat Lee atas perannya dalam kasus dana Korea Utara. Lee sendiri terus-menerus berhasil menunda keputusan yang akan membuatnya tidak memenuhi syarat untuk mencalonkan diri dalam pemilihan presiden.
Pada 9 Juni, Pengadilan Tinggi Seoul memutuskan bahwa persidangan ulang atas tuduhan pelanggaran hukum pemilu harus ditunda hingga Lee meninggalkan jabatannya, karena konstitusi Korea Selatan mengecualikan presiden yang sedang menjabat dari tuntutan pidana, kecuali dalam kasus pemberontakan atau pengkhianatan.
Artikel ini pertama kali dirilis dalam bahasa Inggris
Diadaptasi oleh: Hendra Pasuhuk
Editor: Yuniman Farid