1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikKorea Selatan

Bisakah Presiden Baru Korsel Akhiri 'Politik Balas Dendam'?

15 Juni 2025

Enam presiden Korea Selatan sebelumnya telah menghadapi penyelidikan kriminal selama atau setelah meninggalkan jabatan. Presiden Lee Jae-myung berjanji memutus rangkaian kejadian itu.

Presiden Korea Selatan Lee Jae-myung
Presiden Korea Selatan Lee Jae-myungFoto: ANTHONY WALLACE/Pool via REUTERS

Meskipun ada seruan untuk rekonsiliasi dan pemutusan siklus balas dendam politik sebelum dan sesudah pemilihan presiden baru-baru ini, tampaknya Presiden Korea Selatan Lee Jae-myung tidak menunjukkan tanda-tanda belas kasihan kepada pendahulunya, Yoon Suk Yeol yang digulingkan. Presiden yang baru menyetujui penyelidikan baru terhadap mantan presiden dan istrinya.

Sejak Roh Moo-hyun, yang terpilih pada tahun 2003, menghadapi penyelidikan kriminal oleh pemerintahan berikutnya, enam pemimpin terakhir Korea Selatan telah menghadapi pengusutan saat menjabat atau atas dugaan kesalahan lainnya, yang biasanya berakibat fatal.

Roh Moo-hyun meninggal karena bunuh diri setelah dituduh melakukan penyuapan, sementara penggantinya, Lee Myung-bak, dihukum setelah meninggalkan jabatannya karena penyuapan dan penggelapan pajak dan dijatuhi hukuman 15 tahun penjara.

Berikutnya Park Geun-hye, yang dimakzulkan pada tahun 2016 karena tuduhan penyalahgunaan pengaruh dan dijatuhi hukuman penjara 25 tahun karena korupsi. Selanjutnya mantan Presiden Moon Jae-in, yang didakwa pada bulan April 2025 atas tuduhan korupsi terkait dengan menantunya yang mendapatkan pekerjaan di sebuah maskapai penerbangan dalam proses yang masih berlangsung.

Penggantinya Yoon Sook Yeol, saat ini sedang menghadapi pengusutan karena mengumumkan darurat militerpada Desember 2024 lalu. Dia sekarang diadili dengan tuduhan pemberontakan.

Mantan presiden Yoon Suk Yeol sekarang menghadapi proses pengusutan atas tuduhan pemberontakanFoto: Kim Soo-hyeon/REUTERS

Janji untuk memutus "siklus balas dendam”

Dalam konferensi pers pada tanggal 25 Mei lalu, hanya sembilan hari sebelum pemilihan, Lee Jae-myung mengatakan hanya dia yang bisa mengakhiri siklus pembalasan politik, karena dia pernah menjadi penerima serangan semacam itu.

Namun seminggu setelah pemilihan umum, Presiden Lee menandatangani rancangan undang-undang yang mengamanatkan penyelidikan terhadap deklarasi darurat militer pendahulunya — serta penyelidikan terhadap istrinya, Kim Keon-hye, atas dugaan korupsi.

"Saya harus mengakui bahwa saya sangat kecewa karena siklus balas dendam yang sama seperti yang pernah kita lihat di masa lalu terulang lagi," kata Kim Sang-woo, mantan politisi dari Partai Kongres Politik Baru Korea Selatan yang condong ke kiri dan sekarang menjadi anggota dewan Yayasan Perdamaian Kim Dae-jung.

"Partai Kekuatan Rakyat, PPP, berada dalam kekacauan total sejak pemilu dan bukan merupakan lawan yang kuat bagi Lee atau Partai Demokrat, DP. Ini sebenarnya bisa menjadi peluang untuk pendekatan yang bersifat mendamaikan terhadap oposisi, untuk memperbaiki situasi politik dan menjauh dari politik konfrontatif yang telah kita alami selama ini," katanya kepada DW.

"(Tapi sekarang) jelas hal itu tidak terjadi dan saya khawatir Lee akan menggunakan kekuatan besar yang dimilikinya untuk keuntungannya sendiri," kata Kim. "Saya khawatir terhadap masa depan politik negara ini."

Lee Jae-myung  masih menghadapi gugatan hukum

Lim Eun-jung, profesor studi internasional di Universitas Nasional Kongju, memiliki kekhawatiran serupa tentang konsentrasi kekuasaan di tangan Lee.

"Ada alasan bagus mengapa masing-masing mantan presiden masuk penjara, tetapi kali ini Lee terus mengatakan bahwa dia tidak ingin membalas dendam," katanya. "Yoon mungkin pantas ditangkap dan didakwa karena mengumumkan darurat militer, tetapi apakah perlu meluncurkan penyelidikan khusus terhadap istrinya?"

Kim Sang-woo, dari Yayasan Perdamaian Kim Dae-jung, menunjukkan bahwa Lee sendiri telah menjadi subjek sejumlah kasus hukum sejak 2018, termasuk menerbitkan informasi palsu tentang pemilu dan melanggar undang-undang kampanye dengan berbohong selama debat yang disiarkan di televisi pada tahun 2020.

Pada tahun 2023, ia menjadi politisi pertama yang menjabat sejak tahun 1998 yang diperiksa terkait kasus pidana, ketika ia ditanyai tentang sumbangan perusahaan sebagai imbalan atas bantuan.

Pada tahun yang sama ia dituduh melakukan penyuapan, korupsi, pelanggaran kepercayaan, dan konflik kepentingan atas proyek konstruksi besar-besaran di kota Seongnam, tempat ia sebelumnya menjabat sebagai wali kota. Ia juga dituduh menyalurkan delapan juta dolar AS secara ilegal ke Korea Utara melalui sebuah perusahaan pakaian.

Pada 5 Juni lalu, Mahkamah Agung Korea Selatan mengonfirmasi hukuman penjara bagi salah satu penasihat terdekat Lee atas perannya dalam kasus dana Korea Utara. Lee sendiri terus-menerus berhasil menunda keputusan yang akan membuatnya tidak memenuhi syarat untuk mencalonkan diri dalam pemilihan presiden.

 Pada 9 Juni, Pengadilan Tinggi Seoul memutuskan bahwa persidangan ulang atas tuduhan pelanggaran hukum pemilu harus ditunda hingga Lee meninggalkan jabatannya, karena konstitusi Korea Selatan mengecualikan presiden yang sedang menjabat dari tuntutan pidana, kecuali dalam kasus pemberontakan atau pengkhianatan.

 

Artikel ini pertama kali dirilis dalam bahasa Inggris
Diadaptasi oleh: Hendra Pasuhuk
Editor: Yuniman Farid

Julian Ryall Jurnalis di Tokyo, dengan fokus pada isu-isu politik, ekonomi, dan sosial di Jepang dan Korea.
Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait