Bagi sebagian orang, agama adalah “barang bisnis” yang sangat menggiurkan. Seperti komputer, ponsel, atau mobil, agama juga “properti” yang sangat menjanjikan untuk didagangkan. Ikuti ulasan Sumanto al Qurtuby
Iklan
Dalam konteks “bisnis agama” ini, umat beragama adalah “pasar” yang sangat menggairahkan dan karena itu bisa dimanfaatkan (atau dimanipulasi) dengan baik oleh kaum “kapitalis agama”.
Kaum kapitalis atau pedagang agama ini bisa saja seorang klerik, pendakwah, politisi, birokrat, akademisi, artis, jurnalis, pebisnis, penulis dan masih banyak lagi.
Siapapun mereka, apapun profesinya, yang jelas intinya adalah mereka menjadikan atau memanfaatkan agama sebagai atau layaknya “barang dagangan” untuk meraup keuntungan ekonomi-politik dan material-duniawi.
Sebagian umat beragama memang seperti konsumen loyal dan faithful yang bisa dengan gampang membeli produk-produk keagamaan sehingga menguntungkan bagi para pedagang dan “tengkulak” agama ini.
Tentu saja tidak semua orang, termasuk umat beragama itu sendiri, mau atau bersedia “membeli” produk-produk keagamaan yang ditawarkan oleh kelompok kapitalis agama tadi.
Negara-negara Tak Bertuhan
Dua pertiga penduduk Bumi mengaku beragama, tapi sisanya tidak bertuhan. Negara mana yang paling banyak menampung kaum ateis? Uniknya Asia justru berada di urutan terdepan
Foto: picture-alliance/ David Wimsett/UPPA/Photoshot
#1. Cina
Tradisi Cina tidak mengenal istilah agama dalam prinsipnya yang mengatur hubungan antara manusia dan Tuhan, melainkan ajaran nenek moyang yang terwujud dalam bentuk Taoisme atau Khonghucu. Sebab itu tidak heran jika dalam jajak pendapat lembaga penelitian Gallup, sekitar 61% penduduk Cina mengaku tidak bertuhan. Sementara 29% mengaku tidak taat beragama.
Foto: picture-alliance/dpa
#2. Hong Kong
Sebagian besar penduduk Hongkong menganut kepercayaan tradisional Tionghoa. Sementara lainnya memeluk agama Kristen, Protestan, Taoisme atau Buddha. Namun menurut jajak pendapat Gallup, sekitar 34% penduduk bekas jajahan Inggris itu mengaku tidak percaya kepada Tuhan.
Foto: Getty Images/AFP/P. Lopez
#3. Jepang
Serupa Cina, sebagian besar penduduk Jepang menganut kepercayaan etnis Shinto alias agama para dewa. Dalam hakekatnya Shintoisme tidak mengenal prinsip ketuhanan seperti agama samawi. Sebab itu pula banyak penganut Shinto yang mengaku tidak bertuhan. Gallup menemukan sekitar 31% penduduk Jepang mengklaim dirinya sebagai Atheis.
Foto: Reuters
#4. Republik Ceko
Sekitar 30% penduduk Republik Ceko mengaku tidak bertuhan. Sementara jumlah terbesar memilih tidak menjawab perihal agama yang dianut. Faktanya, agama sulit berjejak di negeri di jantung Eropa tersebut. Penganut Katholik dan Protestan misalnya cuma berkisar 12 persen dari total populasi.
Foto: picture-alliance/dpa/Xamax
#5. Spanyol
Katholik mewakili porsi terbesar dari penduduk Spanyol yang beragama. Sementara sisanya tersebar antara Protestan atau Islam. Uniknya kendati beragama, sebagian besar penduduk Spanyol mengaku tidak taat menjalani ritual keagamaan. Sementara 20% mengaku atheis atau agnostik.
Foto: Biel Alino/AFP/GettyImages
5 foto1 | 5
Di sejumlah negara di Eropa atau Australia, misalnya, seperti yang ditulis oleh Steve Bruce dalam God is Dead: Secularization in the West, agama sepi peminat. Jualan agama tidak laku. Di dunia akademik Barat, agama memang telah menarik perhatian banyak pihak tetapi sebatas untuk dikaji teks-teks, tradisi, dan sejarahnya bukan dipraktikkan ajaran, norma, dan nilai-nilainya.
Fenomena di Eropa dan Australia diatas cukup kontras dengan Amerika dan Indonesia (juga di sejumlah negara lain seperti di Arab dan Timur Tengah) misalnya dimana telah terbukti bisnis agama ini memiliki banyak peminat dan pembeli.
Baik Islam (dari berbagai aliran dan organisasi) maupun Kristen (dari berbagai denominasi dan konggregasi) yang merupakan dua “agama misionaris” Semit yang sangat kuat telah mendulang banyak kesuksesan dan keuntungan di kedua negara ini.
Munculnya "Islam politik"
Di kedua negara ini pula, baik Kristen (di Amerika) maupun Islam (di Indonesia) telah menjadi, meminjam istilah sosiolog Jose Casanova, “agama publik” (public religion) yang tidak lagi “bersembunyi” di ruang-ruang privat melainkan telah menjelma menjadi fenomena publik di panggung-panggung politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Dalam konteks Indonesia, salah satu contoh menarik dari fenomena “agama publik” ini adalah munculnya “Islam politik”yang marak paska lengsernya Presiden Suharto tahun 1998 yang ditandai dengan merebaknya berbagai parpol berlabel Islam serta aneka kelompok Islam sektarian yang mengusung beragam ideologi, mazhab, pemikiran, dan wacana keislaman.
Penting untuk dicatat bahwa kata “politik” dalam “Islam politik” ini tidak hanya merujuk pada “politik elit” tetapi juga “politik massa”, bukan hanya “politik pemerintahan” tetapi juga “politik kemasyarakatan”.
Ketika Berganti Keyakinan
Mereka pindah agama karena kehendak mereka sendiri. Namun hal ini kerap menuai ketidakpahaman atau bahkan penolakan dari keluarga dan lingkungannya. Demikian pula yang dialami mereka di Jerman.
Foto: picture-alliance/dpa
Sebuah langkah besar
Ketika David Stang keluar Gereja Katolik, pada awalnya keluarganya syok. Dulu, waktu remaja, ia bahkan menjadi putra altar di gerejanya. Ia pun rajin membaca Alkitab. Ia merasa tidak cocok. Ia bercerita: "Saya dapat memahami, pastur tidak dapat menceritakan kepada saya tentang pasangan, misalnya."
Foto: DW/K. Dahmann
Tumbuh di hati
Dari kekecewaannya terhadap gereja Katolik, David Stang mulai melakukan pencarian makna pada agama-agama lain. Sampai akhirnya ia bertemu dengan seorang pengacara Jerman, yang masuk agama Islam. "Dia membuat saya apa mengenal Islam dan nilai-nilai yang terkait dengan itu," kata pria itu. "Dan di sana saya menemukan makna bagi diri saya lagi.“
Foto: DW/K. Dahmann
Sebuah proses yang panjang
Bagi David Stang, masuk agama Islam berarti proses pembelajaran lagi: "Awalnya, saya pikir jika masuk Islam, maka Anda harus menjauhi alkohol, makan babi dan memakai janggut. Tapi pengacara yang memperkenalkannya dengan Islam menunjukkan kepadanya bahwa yang terpenting adalah perasaan betapa menyenangkan untuk menjadi seorang Muslim. Sisanya tinggal mengikuti."
Foto: DW/K. Dahmann
Kompromi iman
Sebagai kaum profesional, sehari-hari David Stang mengalami kemacetan antara Hannover dan kota kelahirannya Bonn. Lima kali sehari untuk berdoa tidak selalu memungkinkan baginya, maka ia kemudian memperpanjang doa di pagi dan sore hari. Untuk alasan profesional janggutanya pun ia pangkas. Yang penting, katanya, "mengintegrasikan iman ke dalam kehidupan."
Foto: DW/K. Dahmann
Penolakan Islam radikal
Terhadap tindakan kekerasan yang dilakukan kaum Salafi di Bonn pada tahun 2012, atau teroris radikal, ia menjauhkan diri: "Jika agama itu membenarkan apa yang dilakukan teroris, misalnya memasang bom di sekitar leher, saya tak ingin berurusan dengan hal semacam itu.“
Foto: picture-alliance/dpa
Meninggalkan gereja
Ute Lass tumbuh dalam keluarga Katolik, tapi menurutnya gereja membatasinya. Ia bermimpi belajar teologi: “Tapi sebagai seorang teolog, saya tidak bisa berperan banyak dalam Katholik . Ia kemudian pindah gereja.
Foto: DW/K. Dahmann
Rumah baru
Lewat suaminya, yang dibaptis sebagai Protestan, Ute cepat menemukan kontak ke gereja Protestan. Anaknya diikutsertakan dalam kelompok bermain , diapun mencari kontak untuk ikut dalam paduan suara gereja. Namun butuh waktu lima tahun sampai dia memutuskan untuk membuat "langkah besar". Pendeta Annegret Cohen (kiri) dan Nina Gutmann (tengah) menemaninya dalam pertarungan batin ini.
Foto: DW/K. Dahmann
Sikap toleran
Keluarga dan teman-teman bereaksi positif. "Mereka mengatakan , ini jauh lebih cocok! " Bagaimana dengan tempat kerjanya, organisasi bantuan Katholik Caritas? Ute Lass mendapat lampu hijau. Mereka mengatakan, adalah penting bahwa Anda tetap dibaptis sebagai seorang Kristen dan ke gereja.
Foto: picture-alliance/dpa
Disambut
Di gereja Protestan, Ute Lass disambut dengan tangan terbuka. Dengan sukacita ia menangani hal seperti misalnya bazaar gereja. Apakah ia kadang merindukan kehidupannya sebagai umat Katholik?Jawabnya: “Saya memiliki iman yang kuat terhadap Bunda Maria, yang perannya tak seperti di gereja Protestan," katanya. “Tapi untuk beberapa hal, saya tetap seperti itu.“
Foto: DW/K. Dahmann
Memfasilitasi masuknya anggota
Selama bertahun-tahun, gereja-gereja Kristen melaporkan bahwa jumlah jemaatnya menurun: Semakin banyak orang keluar gereja, entah karena alasan agama atau hanya untuk menghindari gereja. Dalam rangka memfasilitasi masuknya anggota baru, gereja-gereja di Jerman menyambut baik, seperti di Fides, Bonn dimana pastur Thomas Bernard (kanan) bekerja.
Foto: DW/K. Dahmann
Akibat skandal?
Gereja Katolik dalam beberapa tahun terakhir mengalami berkurangnya jumlah umat. Banyak orang percaya, ini terjadi setelah sejumlah kasus pelecehan seksual dalam biara. "Skandal yang substansial," Thomas Bernard mengakui. "Kami telah demikian kehilangan daya tariknya." Meskipun berita di media menghancurkan nama gereja, dia yakin: "Iman dapat memberikan dukungan."
Foto: DW/K. Dahmann
Membuka pintu iman
Salah satu alasan mengapa orang bergabung dengan Gereja Katolik saat ini, menurut Thomas Bernard adalah liturgi. "Banyak orang mengagumi perayaan ibadah," katanya. Reformasi di tubuh gereja seperti ynag dilakukan paus yang baru, diharapkan menyebabkan banyak orang yang telah keluar dari Katholik, kembali menemukan gereja.
Foto: DW/K. Dahmann
Permohonan untuk kebebasan beragama
Orang-orang yang telah mengubah agama mereka, pernah ditampilkan dalam sebuah pameran di Munchen. Pameran ini menunjukkan permohonan untuk kebebasan hak asasi manusia, termasuk kebebasan memilih agama.
Foto: Jüdisches Museum München 2013
Bayipun ‘pindah agama‘
Gambar ini menunjukkan nasib putri Jennifer dan Ricky Grossman: Bayi tidak diakui sebagai Yahudi , karena ibunya bukan Yahudi. Oleh karena itu ibunya harus masuk Yahudi dulu, karena itulah syarat untuk bisa diterima sebagai anggota penuh dari komunitas Yahudi.
Foto: Jüdisches Museum München 2013
14 foto1 | 14
"Puber agama"
Karena sebagian kaum Muslim di Indonesia, terlebih masyarakat Islam kota, sedang “gandrung” atau “puber agama”, maka bisnis atau jualan Islam politik yang dijajakan, dikampanyekan, dan dipropagandakan oleh sejumlah elit Muslim (baik elit politik maupun agama) dan ormas keislaman ini juga lumayan laku laris-manis tanjung-kimpul.
Banyak kaum Muslim dengan antusias, ketulusan, keikhlasan, dan keluguan berbondong-bondong membeli aneka produk “Islam politik” ini dengan harapan tentu saja untuk mendapatkan ridla Allah dan sebanyak mungkin pahala supaya kelak bisa masuk surga.
Para aktor atau penjual Islam politik ini tidak perlu bermodal besar untuk mengeruk keuntungan ini. Mereka cukup bermodalkan sejumlah ayat Al-Qur'an ditambah sejumlah Hadis dan perkataan (aqwal) para ulama tertentu yang tentu saja semuanya—baik ayat, hadis, maupun aqwal tadi—sudah dipilah-pilah atau disortir sedemikian rupa dan disesuaikan dengan narasi, selera, agenda, dan kepentingan mereka.
Baik Katolik maupun Protestan, dua organisasi gereja terbesar di Jerman semakin kehilangan anggotanya. Demikian halnya dengan jurusan teologi di berbagai universitas Jerman. Apakah Jerman mengalami krisis kepercayaan?
Foto: Fotolia/milkovasa
Kepercayaan Surut
Komunitas yang berdasarkan agama Kristen di Jerman sekarang semakin ditantang ancaman untuk tetap bertahan. Apakah pergi ke gereja masih sesuai jaman? Apa yang ditawarkan gereja sebagai institusi? Bagaimana institusi gereja bisa meyakinkan orang yang sudah tidak jadi anggota? Ada yang bilang ini "fase peralihan". Kritikus menyebutnya krisis.
Foto: Fotolia
Bangku-Bangku Kosong
Angka bisa jadi buktinya. Gereja Katolik Jerman kehilangan hampir 180.000 anggota tahun lalu, berarti 50% lebih banyak dari tahun sebelumnya. Gereja Protestan Jerman tidak kehilangan anggota sebanyak itu. Tetapi jumlah orang yang menjadi anggota jauh lebih sedikit.
Foto: picture-alliance/dpa
Masalah Dana
Berkurangnya jumlah anggota berarti juga berkurangnya pemasukan organisasi gereja. Karena di Jerman, orang yang jadi anggota, juga membayar pajak gereja. Bagi orang berpenghasilan menengah, jumlahnya sampai beberapa ratus Euro per tahun. Bagi mereka yang berpandangan skeptis terhadap institusi gereja, ini kadang jadi argumen untuk keluar dari keanggotaan.
Foto: Fotolia/Joachim B. Albers
Dalam Pencarian
Banyak orang, yang tidak merasa memperoleh apapun dari gereja kadang mengganti agamanya. Misalnya David Stang. Ia dulunya Katolik. Sebagai remaja ia bahkan aktif dan jadi putra altar. "Tapi ada yang tidak cocok," katanya jika mengenang kembali. Ia akhirnya memeluk agama Islam dan merasa menemukan dirinya sendiri.
Foto: DW/K. Dahmann
Didera Skandal
Dalam beberapa tahun terakhir, banyak orang keluar dari keanggotaan gereja akibat sejumlah besar kasus pelecehan seksual oleh imam dan pekerja organisasi gereja. Gereja Katolik didera skandal berjumlah sangat besar dan paling jadi sasaran kritik. Ketika pelecehan seksual pertama terkuak 2010, Bischofskonferenz yang jadi instansi gereja Katolik tertinggi di Jerman adakan penelitian, tapi terhenti.
Foto: picture-alliance/dpa
Uskup Mewah
Jumlah orang yang keluar dari gereja Katolik kembali memuncak pertengahan 2013. Biaya pembangunan rumah baru uskup di daerah Limburg jadi kepala berita. Awalnya hanya empat juta Euro, kemudian naik jadi lebih dari 30 juta. Ketika tekanan makin besar, Uskup Franz-Peter Tebartz-van Elst ajukan pengunduran diri kepada Paus. Tapi banyak anggota tidak perjaya lagi pada gereja Katolik Jerman.
Foto: picture-alliance/dpa
Kekurangan Penerus
Dua organisasi gereja terbesar di Jerman alami dilema yang sama. Jumlah mahasiswa jurusan teologi berkurang. Yang ingin menjadi imam Katolik juga semakin sedikit. Misalnya gereja Katolik, jumlah imamnya sekarang berkurang seperempat dibanding 1995. Tetapi jumlah pekerja pelayanan iman yang tidak memiliki ijazah resmi bertambah.
Foto: picture-alliance/dpa
Masa Depan Tidak Jelas
Semakin banyak komunitas gereja yang hadapi kesulitan untuk terus eksis. Kedua organisasi gereja terbesar masih memiliki 45.000 gereja. Sejumlah besar komunitas terpaksa disatukan dalam beberapa tahun terakhir. Anggota gereja Katolik Sankt Gertrud di Köln (foto) misalnya, sudah disatukan dengan tiga gereja lainnya. Banyak gedung gereja sudah tidak digunakan lagi untuk beribadat.
Foto: cc/by/sa/Elya
Pelayan Restoran, Bukan Imam
Mengurus bangunan gereja perlu biaya besar, terutama jika harus diperbaiki. Pakar memperkirakan, hampir 10% bangunan gereja harus dijual. Gereja Martini di Bielefeld misalnya, sejak 2005 jadi restoran. Balkon di dalam gereja yang menjadi tempat organ jadi ruang untuk tamu spesial.
Foto: picture-alliance/Robert B. Fis
Memanjat "dengan Iman"
Tapi ada juga inisiatif lain. Banyak gedung gereja seperti di Gelsenkirchen (foto) dijadikan gereja khusus remaja. Di sini kawula muda yang tidak bisa menerima ibadah secara tradisional berkumpul dan perdalam iman bersama, dengan pelayanan iman khusus bagi remaja. Di gereja, sejak 2009 mereka juga bisa berolahraga memanjat, mereka belajar bahwa iman jadi sumber kekuatan dan keyakinan diri.
Foto: picture-alliance/dpa
Apakah Benar Iman Tidak Penting Lagi?
Sekitar dua pertiga orang Jerman menyatakan percaya kepada Tuhan. Di Jerman Timur, karena sejarah ateis di masa Jerman Timur, jumlahnya lebih sedikit daripada di Jerman Barat. Banyak orang yang percaya kepada Tuhan tidak jadi anggota kedua gereja Jerman terbesar. Mereka memilih jadi anggota organisasi gereja yang lebih kecil. Selain itu, berdoa juga bisa dilakukan sendirian.
Foto: Fotolia/milkovasa
11 foto1 | 11
"Stempel ketuhanan"
Dengan membubuhkan teks-teks sakral-agamis, maka gagasan dan wacana profan-sekuler seperti konsep “Islam politik” tadi kemudian menjadi ikut-ikutan tampak suci-Islami karena mendapat legitimasi teologis atau “stempel ketuhanan”.
Meskipun sebetulnya “Islam politik” sebagai sebuah konsep maupun aksi dan gerakan politik tetap saja profan dan sekuler karena merupakan produk dari pemikiran dan kebudayaan manusia. Tetapi sebagian segmen publik massa Islam tidak memperdulikannya. Yang penting buat mereka, produk-produk itu ada dalil-dalil keislamannya.
Jika sudah kelihatan Islami dan seolah-olah mendapat restu dari Allah, maka produk “Islam politik” pun siap untuk di-launching. Di luar sana, sudah mengantri sekian banyak konsumen setia menunggunya.
Itulah yang terjadi saat ini dan juga masa-masa yang lalu di mana sebagian kaum Muslim rela berbondong-bondong menjadi pengikut setia para “kapitalis” Muslim yang menjual agama untuk kepentingan material-ekonomi dan politik-kekuasaan.
Atas nama menghormati dan memuliakan Islam serta menjunjung tinggi martabat kaum Muslim, mereka pun rela merendahkan, melecehkan, dan mengabaikan hak-hak politik dan kewargaan non-Muslim seperti yang menimpa pada Ahok saat ini.
Disinilah sesunggunya saya melihat apa yang mereka klaim sebagai aksi atau gerakan “politik Islami” itu sangat tidak Islami karena berlawanan dengan kaedah-kaedah, moralitas, tata-krama, etika profetis, dan norma-norma kepolitikan yang digariskan dalam Al-Qur'an dan praktik-praktik kenabian.
Penulis:
Sumanto Al Qurtuby, Dosen Antropologi Budaya dan Kepala General Studies Scientific Research, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Tembok pada Tembok
Fotografer Kai Wiedenhofer mendokumentasikan tembok-tembok di dunia yang memisahkan bangsa, agama dan sistem politik.
Foto: DW/T. Tropper
Akhir Masa Kelam
Selama 28 tahun lamanya, Tembok Berlin menjadi simbol konflik antara Barat dan Timur dan simbol perpecahan Jerman. Dengan dibukanya perbatasan pada tanggal 9 November 1989, Tembok Berlin hanya menjadi bagian kelam dari sejarah Jerman..
Foto: Reuters
Tembok Baghdad
Berdiri berliku sepanjang jalan-jalan di kota Baghdad, Irak, tembok setinggi lebih dari 3 meter ini memisahkan kelompok Sunni dan Syiah. Dan tembok ini bukanlah satu-satunya yang berdiri di ibukota Irak ini. Satu tembok lain membentang mengelilingi kawasan pemerintahan.
Foto: DW/T. Tropper
Antara Korea Utara dan Selatan
Tembok yang berdiri di Panmunjom tingginya hanya beberapa sentimeter, namun hamper mustahil untuk dilewati. Tembok ini menandai perbatasaan antara kedua negara Korea. Zona perbatasan sepanjang sekitar 250 km tidak hanya membagi dua sistem pemerintahan tetapi juga memisahkan banyak keluarga.
Foto: DW/T. Tropper
Membagi Timur Tengah
Sejak 10 tahun terakhir, Israel telah membangun tembok sepanjang 700 kilometer dan setinggi 8 meter untuk menandai perbatasan dengan Tepi Barat. Bagi Israel tembok ini merupakan pelindung dari serangan. Namun tembok ini membuat hidup warga Palestina sangat sulit. Masyarakat internasional mengecam tembok ini sebagai rintangan lain bagi tercapainya perdamaian di Timur Tengah.
Foto: DW/T. Tropper
Antara Uni Eropa dan Afrika
Pagar yang menandai perbatasan antara Uni Eropa dan Afrika berdiri setinggi 6 meter. Pagar, yang memisahkan Ceuta di Spanyol dan Melilla di Mariko, juga merupakan pemisah dua standar hidup yang berbeda. Pagar pembatas ini tidak menggoyahkan niat warga Afrika untuk mempertaruhkan nyawa mencari penghidupan yang lebih baik di Eropa.
Foto: DW/T. Tropper
Peninggalan Konflik di Irlandia Utara
Sejak pecahnya konflik di Iralandi Utara, tembok setinggi 7 meter, yang disebut Garis Perdamaian, memisahkan kota Belfast. Konflik di Irlandia secara resmi berakhir setelah disepakatinya Perjanjian Belfast pada 1998. Namun ketegangan antara umat Katolik dan Protestan masih kerap terjadi. Kini, Garis Perdamaian ini merupakan salah satu obyek wisata yang ditawarkan kota Belfast.
Foto: DW/T. Tropper
Pemisah Amerika Serikat dan Meksiko
Walau Amerika Serikat menyebut dirinya sebagai “Tanah Bebas”, namun perbatasannya ke Meksiko tetap dijaga dengan ketat. Tembok yang dikenal dengan Tortilla Wall ini dibangun untuk menghentikan imigran illegal dan mencegah perdagangan narkoba. Setiap tahunnya, sekitar 500 orang tewas saat mencoba melintasi perbatasan. Namun setiap tahunnya, ribuan orang tetap berupaya menyebranginya.
Foto: DW/T. Tropper
Siprus – Pulau yang Terbelah
Tembok yang melintasi ibukota Nicosia membuat bangsa Siprus sebagai bangsa Eropa terakhir yang terbagi. Sejak 1974, tembok ini memisahkan antara warga Yunani di selatan dan warga Turki di utara. Sejak 2003, warga di kedua belahan pulau ini bias saling mengunjungi. Pameran terbuka Wall on Wall di Tembok Berlin digelar sampai 13 September 2013.