1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiGlobal

Bisnis Belanja Online, Tantangan Sekaligus Peluang

Lisa Stüve
8 Februari 2024

Pasar e-commerce berkembang pesat dan semakin banyak orang berbelanja secara online. Bagi perkotaan, hal ini berarti tantangan sekaligus peluang baru.

Salah satu gudang dan pusat distribusi portal belanja online Amazon di Inggris
Salah satu gudang dan pusat distribusi portal belanja online Amazon di InggrisFoto: Aaron Chown/empics/picture alliance

Pemesanan barang menjadi sangat mudah: hanya satu klik saja, dan sepatu, kabel pengisi daya, makanan, atau hadiah untuk ulang tahun kerabat atau teman akan diantar ke rumah. Omset belanja online semakin meningkat setiap tahun. Menurut perkiraan awal, hampir enam triliun dolar AS dihasilkan di seluruh dunia pada tahun 2023. Sebagai perbandingan: tahun 2017, belanja online masih  2,3 triliun dollar AS. Pertumbuhan pesat terus berlanjut, terutama di pasar Asia.

Tapi apa arti e-commerce secara lokal? Berbelanja dari kenyamanan bagi pelanggan punya konsekuensi yang luas bagi perencana kota, pemasok, ahli logistik, dan perusahaan pembuangan limbah.

Banyak yang khawatir, tren belanja online bisa membuat pusat kota menjadi sepi, karena pertokoan akan terdesak dan banyak toko yang harus gulung tikar. Tapi apakah memang harus terjadi seperti itu?

"Ini adalah pasar tempat banyak hal terjadi, tempat berbagai hal dicoba dan konsep-konsep inovatif diterapkan. Itulah sebabnya sangat menyenangkan melakukan penelitian di sini,” kata Heleen Buldeo Rai dari Universitas Brussels. Dia meneliti dampak e-commerce terhadap keberlanjutan dan logistik di perkotaan.

Maraknya belanja online berarti lebih banyak limbah kertas dan kartonFoto: picture alliance/Wolfram Steinberg

Belanja online dan limbah kemasan

Konsumsi kemasan kertas diperkirakan naik pesat sebagai efek belanja online. Di Jerman saja meningkat lebih dari 600 persen antara tahun 1996 dan 2017, menurut perhitungan Kantor Lingkungan Hidup Jerman. Di Uni Eropa, situasinya tidak berbeda. Setiap warga negara UE tahun 2021 mengumpulkan kemasan seberat 246 kilogram, sekitar 40 persennya adalah karton dan kertas kemasan, menurut studi kantor statistik Eropa, Eurostat.

Karena itu, daur ulang kemasan menjadi penting. "Menggunakan kemasan yang dapat digunakan kembali seharusnya sama lumrahnya dengan cara kita memilah sampah saat ini,” kata Carina Koop, pakar ekonomi sirkular dan peneliti pencegahan limbah di Wuppertal Institute.

Perusahaan logistik terkemuka Jerman, DHL Group, saat ini sedang mengembangkan kemasan e-commerce yang dapat digunakan kembali. Saat ini, hal itu baru diterapkan di sektor B2B – artinya perdagangan antar perusahaan. "Jika tahap uji cobanya berhasil, penawaran akan diperluas," jelas Jessica Balleer, juru bicara keberlanjutan di DHL Group, kepada DW.

Carina Koop melihat potensi penghematan limbah tidak hanya pada kemasan. "Pengembalian barang adalah masalah besar dalam e-commerce, jadi kami benar-benar memerlukan solusi yang masuk akal, insentif, dan perubahan kesadaran di kalangan pelanggan." Di Jerman, rata-rata satu  dari tujuh paket belanja online dikembalikan.

Di Asia sudah ada inovasi baru. Idenya adalah model virtual yang dipersonalisasi untuk mencoba pemakaian T-shirt, sepatu, atau produk lainnya. Heleen Buldeo Rai mengatakan, pengembalian barang sebagian besar dilakukan karena pembeli sering memesan dua hingga tiga ukuran sekaligus, untuk memastikan mereka mendapat barang dengan ukuran sesuai. Lalu yang tidak dipakai dikirim kembali. Sejauh ini, kebanyakan penjual memang menyediakan fasilitas pengembalian barang secara gratis.

Menurut Carina Coop, pengembalian dapat dicegah sampai 50 persennya dengan model virtual yang dipersonalisasi. Cara lain adalah dengan sistem Click&Collect atau showrooming, produk dibeli secara online tetapi diambil di toko setelah dicoba lebih dulu, atau pakaian dicoba di lokasi lebih dulu baru kemudian dibeli secara online dan dikirim ke rumah.

Bagaimana membuat belanja online lebih ramah lingkungan?

Tapi masih ada tantangan lain dengan meningkatnya tren belanja online. "Perkotaan menghadirkan paradoks yang menarik, karena perdagangan online di perkotaan tidak menunjukkan manfaat lingkungan hidup,” kata Heleen Buldeo Rai. Justru penduduk di pusat kota yang getol berbelanja online, bukan penduduk yang jauh dari kota.

Berbagai supermarket, toko pakaian dan sepatu, perlengkapan listrik, bahkan toko barang kerajinan menyediakan jasa pengiriman belanjaan ke rumah. Akibatnya, mobil-mobill pengiriman memenuhi jalan, bersama dengan trem, taksi, dan bus, menciptakan lebih banyak lalu lintas dan meningkatkan emisi CO2, jika alat tranportasi tidak dioperasikan secara elektrik. Selain itu, meningkatnya belanja online juga berarti kebutuhan ruang penyimpanan barang meningkat. Sehingga gudang-gudang baru perlu dibangun.

Penata kota perlu mencari solusi menghadapi masalah ini. Misalnya dengan konsep "pusat penitipan barang mini”, yang mulai dikembangkan di beberapa kota besar. Barang-barang pesanan mula-mula diantar ke tempat penitipan sementara, baru dari sana disebarkan ke pembeli dengan menggunakan sepeda listrik atau dengan berjalan kaki. Amazon misalnya mengoperasikan pusat-pusat tersebut di London, München dan Paris. Tujuannya terutama menunrunkan lalu lintas dan menurunkan emisi CO2 di pusat-pusat kota. Ada juga banyak banyak perusahaan rintisan yang mengembangkan solusi pengiriman lain yang cepat dan bebas emisi – misalnya dengan menggunakan drone dan robot.

Ritel online dalam jangka panjang memang bisa mengubah tampilan perkotaan. Perkembangan itu juga akan dipengaruhi oleh kebijakan politik yang diterapkan, terkait distribusi ruang kota dan penataan ruang. Di Eropa misalnya, puluhan kota akan memperkenalkan zona nol emisi mulai tahun 2025. Itu berarti, perusahaan-perusahaan besar belanja online harus memikirkan ulang model pengiriman barang mereka, dan juga daur ulang kemasan barang mereka.

(hp/as)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait