1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Gaya hidupPrancis

Bisnis Fashion Sektor Menengah di Prancis Dalam Krisis

Lisa Louis
27 Maret 2023

Sektor mode kelas menengah Prancis menderita didera berbagai krisis silih berganti. Namun, beberapa perusahaan berusaha menantang badai dengan mengandalkan konsep-konsep inovatif.

Fashion show di Paris untuk koleksi musim gugur 2023/2024
Fashion show di Paris untuk koleksi musim gugur 2023/2024Foto: CAP/GOL ©GOL/Capital Pictures/picture alliance

Industri fesyen global sedang bergulat dengan krisis yang dipicu oleh inflasi tinggi dan invasi Rusia ke Ukraina. Sektor pakaian siap pakai Prancis, yang disebut “pret-a-porter”, tidak terkecuali. Bahkan ketika label mewah seperti Chanel dan Louis Vuitton terus menghasilkan keuntungan karena kekuatan brandingnya, banyak merek kelas menengah terpaksa gulung tikar, kecuali beberapa merek yang punya konsep inovatif.

Merek-merek yang bangkrut termasuk pembuat sepatu Andre dan label fesyen wanita Camaieu dan Kookai. "Perusahaan kami dulu sangat sukses, dan kami memiliki sekitar 300 pengecer di sepuluh negara," kata direktur pemasaran Kookai, Jennifer Cohen Solal, kepada DW. "Tetapi setelah grup Prancis Vivarte membeli perusahaan tersebut tahun 1996, segalanya mulai menurun," jelasnya.

Vivarte mengecilkan bisnis perusahaan itu di tiga negara — Prancis, Spanyol, dan Swiss — dan berhenti berinvestasi di 120 toko yang tersisa. Ketika investor Australia Magi membeli merek tersebut pada 2017, restrukturisasi segera dilakukan, yang kedua menyusul pada 2021. Namun aksi penyelamatan ini terlambat.

"Kesehatan keuangan kami yang tidak bagus adalah alasan mengapa bank kemudian menolak dua permintaan kami untuk pinjaman darurat, yang didukung pemerintah setelah pecahnya pandemi COVID-19," kenang Jennifer Cohen Solal. Akhirnya Kookai memasuki proses kepailitan pada bulan Februari tahun ini.

Kreasi desainer Paco Rabanne yang dipoeragakan di Paris, Oktober 2020Foto: Pascal Le Segretain/Getty Images

Dihantam berbagai krisis dan persaingan ketat

Philippe Moati, profesor ekonomi di Paris Cite University dan pendiri perusahaan riset pasar ObSoCo mengatakan, inflasi tinggi saat ini dan penurunan daya beli, hanyalah pukulan terakhir bagi banyak rantai pret-a-porter kelas menengah. "Label fesyen kelas menengah Prancis sebelum ini juga telah mengalami banyak krisis," katanya kepada DW.

"Protes rompi kuning selama berbulan-bulan dari November 2018, membuat banyak pelanggan tidak ingin berbelanja, dan baru-baru ini penguncian selama berminggu-minggu karena pandemi COVID-19 memperburuk masalah arus kas," katanya.

"Terlebih lagi, Prancis memiliki terlalu banyak toko - pasar sudah jenuh - dan sejak 2017, penjualan yang diperbolehkan sepanjang tahun telah meningkatkan persaingan," Moati menguraikan. Selain itu muncul situs-situs web yang menjual pakaian bekas.

"Sekarang, sektor ini juga harus menghadapi serbuan apa yang disebut fesyen cepat, yakni pakaian yang sangat murah dan terus diproduksi serta diperbarui", kata Gildas Minvielle, direktur Observatorium Ekonomi di sekolah mode Institut Francais de la Mode yang berbasis di Paris. "Terutama perusahaan China, Shein, adalah pesaing paling berat. Pemain yang hanya hadir secara online ini menjual semua ukuran busana, termasuk yang sangat kecil dan sangat besar," jelasnya

Sama seperti merek-merek mewah, pakaian yang sangat murah juga tetap populer. Dan itu sangat mengkhawatirkan bagi Gildas Minivielle. "Setiap pembelian memiliki dampak, dan kaum muda harus menyadari betapa fast fashion mencemari lingkungan," katanya. Sektor mode cepat memicu masalah lingkungan, dan menggunakan sumber daya dalam jumlah besar di negara-negara miskin tanpa memperbaiki kondisi tenaga kerja nya.

Perlu konsep inovatif untuk hadapi badai

"Namun beberapa merek berkinerja baik meskipun mengalami banyak krisis - melalui konsep-konsep inovatif", kata Yann Rivoallan, ketua Federasi Pret-a-Porter Wanita di Paris. "Perusahaan seperti Loom atau Bonne Guele sukses dengan pakaian yang diproduksi secara berkelanjutan," katanya kepada DW.

"Rantai yang kreatif dan menciptakan citra online yang baik juga bisa membantu," tambahnya. Bahkan di jaman Internet sekarang ini, jaringan toko yang besar punya potensi bisa menjadi andalan. "Merek misalnya dapat menggunakan model hybrid, di mana pelanggan memesan barang secara online untuk diambil di toko tertentu. Atau mereka dapat mengatur acara promosi di toko mereka," jelas Rivoallan.

Itulah yang sekarang coba dilakukan oleh Jennifer Cohen Solal dari Kookai. "Kami ingin meningkatkan e-commerce, tetapi hanya untuk mencapai 15% dari omzet kami," katanya. "Bagian e-commerce yang lebih besar tidak masuk akal, karena publisitas online menjadi sangat mahal sejak diperkenalkannya aturan perlindungan data pada tahun 2018, yang berarti kita tidak dapat lagi mengandalkan cookie tetapi harus membeli iklan," jelasnya. Undang-undang Uni Eropa tentang perlindungan data dan privasi memang diakui salah satu yang paling ketat di dunia Barat.

Tapi Jennifer Cohen Solal tetap optimistik. "Kami akan memperkuat kehadiran media sosial untuk kembali fokus pada klien inti kami - perempuan berusia antara 25 dan 35 tahun," pungkasnya.

(hp/as)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait