1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Blora dan Kisah Kaum Samin

Sumanto al Qurtuby
Sumanto al Qurtuby
18 Desember 2024

Apa yang kamu bayangkan ketika mendengar nama Blora? Tandus? Kemiskinan? Pohon jati? Banyak misteri lain di kota itu yang belum terungkap,. Bersama Sumanto al Qurtuby, kita telaah satu persatu dalam kolom ini.

Blora dengan segala keindahan dan kisah di baliknya.Foto: Dreamstime/IMAGO

Bagi masyarakat luar, setiap kali mendengar nama "Blora” yang terbayang mungkin ketandusan, keterpinggiran, kemiskinan, dan keberagamaan yang berwatak "abangan.”

Yang lain membayangkan Blora sebagai kawasan pohon jati berkualitas tinggi atau pusat tambang minyak bumi, khususnya di daerah Cepu. Yang lain lagi menghubungkan Blora dengan ideologi dan gerakan kiri.

Lebih dari tujuh puluh tahun yang lalu, tepatnya 1952, Hans Bague Jassin atau populer dengan nama HB Yasin (1917-2000), seorang akademisi dan kritikus sastra ternama, menulis dengan getirnya suasana Blora: "Blora, daerah kapur yang miskin, di mana seorang sebelum bisa hidup dengan segobang sehari, penghasilan seorang buruh tani kecil 1,5 sen sehari dan dengan gaji berapa rupiah sebulan orang berani hidup berkeluarga dalam segala kemiskinan....”

Kutipan Yasin ini saya ambil dari "Kata Pengantar” yang ia tulis untuk buku Cerita dari Blora, sebuah roman sejarah karya Pramoedya Ananta Toer (Pram, 1925-2006), salah satu penulis prolifik dan novelis masyhur dari Blora yang karya-karyanya banyak diterjemahkan ke berbagai bahasa asing.

Cerita dari Blora adalah kumpulan cerpen bernas Pram yang ditulis semasa revolusi antara 1945 dan 1949 ketika ia berada atau selepas penjara di Bukit Duri, Jakarta. Pram adalah satu ikon Blora yang memilih jalur sebagai kritikus dan oposan pemerintah–baik pemerintah kolonial, Orde Lama maupun Orde Baru–melalui karya-karya briliannya.

Satu sisi, tulisan Yasin yang saya kutip di atas mengilustrasikan situasi kemiskinan, kegetiran, dan keterbelakangan Blora tetapi di pihak lain ia juga menggambarkan spirit hidup yang menyala-nyala meskipun serba kekurangan dan keterbatasan.

Tentu saja situasi sosial-ekonomi Blora saat ini jauh berbeda dengan 70 tahunan silam. Meski demikian, banyak masyarakat di luar Blora yang masih belum memahami sepenuhnya pluralitas dan kompleksitas sejarah, masyarakat, agama, budaya, dan tradisi Blora yang kaya, dalam, warna-warni, dan inspiratif.

Saminisme dan sejarah sosial masyarakat

Dari aspek sejarah, kabupaten di Jawa Tengah yang berbatasan dengan Jawa Timur ini memiliki sejarah panjang. Sejak abad ke-16, Blora silih-berganti berada di bawah otoritas politik sejumlah kekuasaan seperti Jipang, Pajang, Mataram, Kasunanan Surakarta, Orde Lama, Orde Baru, dan tentu saja pemerintahan pascareformasi.

Meskipun daerahnya terisolasi, sejak era kerajaan dulu, Blora menduduki posisi penting bagi pemerintah pusat kerajaan lantaran tanahnya mampu menghasilkan pohon jati berkualitas prima yang bisa digunakan untuk berbagai bangunan.

Pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, Blora juga menorehkan sejarah perlawanan petani terhadap pemerintah kolonial Belanda. Perlawanan ini dipicu oleh kebijakan politik-ekonomi Belanda yang dipandang merugikan rakyat seperti penaikan pajak dan pembatasan penggunaan hasil hutan oleh warga.

Berbeda dengan pemberontakan petani Banten tahun 1888 yang mengambil jalur perlawanan senjata, pemberontakan petani Blora lebih ke bentuk "perlawanan budaya” melalui sejumlah aksi pembangkangan pasif seperti silent protest.

Penulis: Sumanto al QurtubyFoto: S. al Qurtuby

Salah satu tokoh penting dalam melakukan perlawanan non-bersenjata terhadap Belanda adalah Samin Surosentiko (1859-1914) yang bernama asli Raden Kohar, seorang bangsawan putra Raden Surowijoyo tetapi lebih memilih hidup bersama para petani dan rakyat kecil.

Ia mengubah namanya menjadi "Samin” untuk merepresentasikan "wong cilik” (Samin adalah nama populer untuk masyarakat kelas bawah nonbangsawan) sementara "Surosentiko” adalah gelar Warok yang melambangkan lelaki kesatria yang berbudi luhur serta pengayom masyarakat.

Kelak, gerakan protes spiritual-kebudayaan yang berbau milenarisme itu dikenal dengan Ajaran Samin atau saminisme, sedangkan pengikutnya disebut kaum Samin atau Sedulur Sikep Samin. Meskipun banyak orang menilai saminisme sebagai ajaran aneh dan kaum Samin sebagai umat nyeleneh tetapi saya menganggapnya sebagai bagian dari kejeniusan lokal, lambang kejujuran, dan simbol kesederhanaan yang layak diapresiasi.

Hingga kini kaum Samin yang berada di Desa Klopoduwur, Kecamatan Banjarejo, masih eksis dan menjadi salah satu kawasan wisata berbasis budaya-spiritualitas lokal yang sangat menarik. Para pengunjung (turis) bisa berinteraksi dan bercengkrama dengan warga Samin yang ramah dan sederhana serta menikmati berbagai kesenian, praktik ritual-keagamaan, tata busana, adat, tradisi, alam pertanian, dan kuliner khas mereka. Saya membandingkan Kampung Samin Blora ini seperti Kampung Amish di Pennsylvania dan Indiana (Amerika) atau Kampung Arab Baduin di Jordania.

Kiprah penting para tokoh

Kisah menarik lain dari Blora yang cenderung terlupakan adalah mengenai peran inspiratif sejumlah tokohnya. Tidak banyak yang tahu jika sejumlah tokoh Blora telah memainkan peran penting dan memiliki karir bersinar di tingkat nasional, baik di bidang politik, pendidikan, maupun keagamaan. Ada beberapa nama tokoh Blora yang perlu disebutkan di sini karena kiprahnya yang penting di tingkat nasional atau lantaran aktivitasnya yang masyhur hingga mancanegara, selain Pram atau Samin Surosentiko sudah disinggung di atas.

Sebut saja misalnya Oeripan Notohamidjojo (1915-1985), spesialis hukum peminat teologi yang menjadi rektor pertama Universitas Kristen Satya Wacana yang turut meletakkan fondasi keilmuan dan pendidikan di salah satu universitas Kristen tertua di Indonesia ini.

Pusat Kota BloraFoto: Sumanto Qurtuby/DW

Ia dikabarkan putra Abdullah Fatah, seorang tokoh hukum agama dan pergerakan Islam. Mochamad Adnan adalah nama lain yang perlu disebut. Ia adalah ahli pangan dan pertanian alumni universitas di Amerika yang pernah menjadi Rektor Universitas Gadjah Mada di awal tahun 1990an. Yang juga tidak kalah pentingnya adalah Abdul Mukti Ali, mantan Menteri Agama di awal 1970an, sarjana ahli perbandingan agama, dan salah satu ulama pembaharu Islam terkemuka.

Ada sejumlah nama penting berdarah Blora lainnya seperti L.B. Moerdani, Ali Murtopo, jurnalis Marco Kartodikromo, atau tokoh tarekat kharismatik Kiai Zainal Abidin dan lain-lain yang tentu saja tidak mungkin disebutkan satu per satu di esai singkat ini. Data ini belum termasuk tokoh Blora masa kini yang banyak berkiprah di tingkat nasional di berbagai bidang: pendidikan, kepolitikan, kemiliteran, kepolisian, kesenian, jurnalisme, dan lainnya.

Dari data singkat ini dapat diketahui bahwa para tokoh Blora sangat beragam spesialisasi dan kiprah mereka di panggung publik. Data ini juga menunjukkan walaupun secara geografis Blora cukup terisolir dari daerah-daerah lain tetapi tidak lantas membuat masyarakatnya terisolir secara keagamaan, pendidikan, keilmuan, kesenian, tradisi, dan kebudayaan.

Masyarakat Blora mampu beradaptasi dengan baik dan bisa memanfaatkan celah dan potensi lingkungan untuk pengembangan potensi diri sehingga bisa bertahan meskipun dalam keterbatasan. Pula, mereka dapat menciptakan kreativitas lokal di berbagai sektor sehingga membuat Blora tetap menarik, istimewa, dan eksotis (bersambung).   

Sumanto al Qurtuby:  Pendiri Nusantara Institute dan Pengajar King Fahd University of Petroleum & Minerals