Apa yang kamu bayangkan ketika mendengar nama Blora? Tandus? Kemiskinan? Pohon jati? Banyak misteri lain di kota itu yang belum terungkap,. Bersama Sumanto al Qurtuby, kita telaah satu persatu dalam kolom ini.
Iklan
Bagi masyarakat luar, setiap kali mendengar nama "Blora” yang terbayang mungkin ketandusan, keterpinggiran, kemiskinan, dan keberagamaan yang berwatak "abangan.”
Yang lain membayangkan Blora sebagai kawasan pohon jati berkualitas tinggi atau pusat tambang minyak bumi, khususnya di daerah Cepu. Yang lain lagi menghubungkan Blora dengan ideologi dan gerakan kiri.
Lebih dari tujuh puluh tahun yang lalu, tepatnya 1952, Hans Bague Jassin atau populer dengan nama HB Yasin (1917-2000), seorang akademisi dan kritikus sastra ternama, menulis dengan getirnya suasana Blora: "Blora, daerah kapur yang miskin, di mana seorang sebelum bisa hidup dengan segobang sehari, penghasilan seorang buruh tani kecil 1,5 sen sehari dan dengan gaji berapa rupiah sebulan orang berani hidup berkeluarga dalam segala kemiskinan....”
Kutipan Yasin ini saya ambil dari "Kata Pengantar” yang ia tulis untuk buku Cerita dari Blora, sebuah roman sejarah karya Pramoedya Ananta Toer (Pram, 1925-2006), salah satu penulis prolifik dan novelis masyhur dari Blora yang karya-karyanya banyak diterjemahkan ke berbagai bahasa asing.
Cerita dari Blora adalah kumpulan cerpen bernas Pram yang ditulis semasa revolusi antara 1945 dan 1949 ketika ia berada atau selepas penjara di Bukit Duri, Jakarta. Pram adalah satu ikon Blora yang memilih jalur sebagai kritikus dan oposan pemerintah–baik pemerintah kolonial, Orde Lama maupun Orde Baru–melalui karya-karya briliannya.
Satu sisi, tulisan Yasin yang saya kutip di atas mengilustrasikan situasi kemiskinan, kegetiran, dan keterbelakangan Blora tetapi di pihak lain ia juga menggambarkan spirit hidup yang menyala-nyala meskipun serba kekurangan dan keterbatasan.
Tentu saja situasi sosial-ekonomi Blora saat ini jauh berbeda dengan 70 tahunan silam. Meski demikian, banyak masyarakat di luar Blora yang masih belum memahami sepenuhnya pluralitas dan kompleksitas sejarah, masyarakat, agama, budaya, dan tradisi Blora yang kaya, dalam, warna-warni, dan inspiratif.
Mengabadikan Kekuatan Supranatural
Men, Mountains and Sea merupakan proyek foto hitam putih Rony Zakaria yang mengabadikan hubungan antara manusia dengan alam. Ia memotret panorama Indonesia dengan ritual berbagai kepercayaan dan penghormatan kepada alam.
Foto: Rony Zakaria
Bromo, Jawa Timur, 2009
Kawah Tengger, Gunung Bromo, Gunung Batok dan Semeru di malam hari, sebelum puncak perayaan Hindu Yadnya Kasada, dimana orang-orang Tengger memohon berkah dari Hyang Widi Wasa, dengan melemparkan sesajen berupa makanan dan hasil panen mereka ke kawah Gunung Bromo.
Foto: Rony Zakaria
Merapi, Jawa Tengah, 2008
Seorang pria berjalan di puncak gunung. Puncak Gunung Merapi, dengan Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing sebagai latar belakangnya. Gunung Merapi merupakan salah satu dari lebih 100 gunung berapi aktif di Indonesia.
Foto: Rony Zakaria
Bromo, Jawa Timur, 2012
Para peziarah tengah beristirahat di pinggiran kawah Gunung Bromo. Masyarakat setempat sangat menghormati gunung di pulau Jawa yang dianggap sakral ini.
Foto: Rony Zakaria
Bromo, Jawa Timur 2009
Para pemuka adat Tengger mengumpulkan air suci di air terjun Madakaripura sebagai bagian dari ritual perayaan Yadnya Kasada. Selama festival berlangsung, para warga memohon berkat dari Hyang Widi Wasa dengan memberikan sesajen.
Foto: Rony Zakaria
Yogyakarta, 2009
Para wisatawan di pantai Parangtritis menikmati matahari terbenam. Di pantai ini diyakini sebagai wilayah kekuasaan Nyai Roro Kidul, penguasa pantai selatan. Para pengunjung biasanya tidak disarankan memakai pakaian berwarna hijau, karena ada kepercayaan bahwa mereka yanag berpakaian hijau akan diambil oleh Ratu Pantai Selatan.
Foto: Rony Zakaria
Yogyakarta, 2009
Warga Yogyakarta bersembahyang di Pantai Parangkusumo, dalam upacara Labuhan Alit. Mereka memohon jalan keluar dari masalah-masalah kehidupan yang dihadapi. Mulai dari masalah keuangan, karir, keluarga, percintaan dan lain-lain.
Foto: Rony Zakaria
Bali, 2008
Seorang pria di pantai Batubolong Bali sedang mencuci topeng tradisional di laut untuk upacara penyucian. Emas dan mutiara hiasan topeng ini dicuri beberapa waktu sebelumnya. Jadi warga lokal ingin membuang sisa-sisa kejahatan itu dengan melarungkannya di laut.
Foto: Rony Zakaria
Jepara, 2012
Parade perahu nelayan di pantai Jepara dalam ritual “Sedekah Laut“, merupakan tradisi rutin memberikan sesajen kepada penguasa laut. Ritual dipercaya dapat memberikan berkah bagi musim mencari ikan berikutnya.
Foto: Rony Zakaria
8 foto1 | 8
Saminisme dan sejarah sosial masyarakat
Dari aspek sejarah, kabupaten di Jawa Tengah yang berbatasan dengan Jawa Timur ini memiliki sejarah panjang. Sejak abad ke-16, Blora silih-berganti berada di bawah otoritas politik sejumlah kekuasaan seperti Jipang, Pajang, Mataram, Kasunanan Surakarta, Orde Lama, Orde Baru, dan tentu saja pemerintahan pascareformasi.
Meskipun daerahnya terisolasi, sejak era kerajaan dulu, Blora menduduki posisi penting bagi pemerintah pusat kerajaan lantaran tanahnya mampu menghasilkan pohon jati berkualitas prima yang bisa digunakan untuk berbagai bangunan.
Pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, Blora juga menorehkan sejarah perlawanan petani terhadap pemerintah kolonial Belanda. Perlawanan ini dipicu oleh kebijakan politik-ekonomi Belanda yang dipandang merugikan rakyat seperti penaikan pajak dan pembatasan penggunaan hasil hutan oleh warga.
Berbeda dengan pemberontakan petani Banten tahun 1888 yang mengambil jalur perlawanan senjata, pemberontakan petani Blora lebih ke bentuk "perlawanan budaya” melalui sejumlah aksi pembangkangan pasif seperti silent protest.
Salah satu tokoh penting dalam melakukan perlawanan non-bersenjata terhadap Belanda adalah Samin Surosentiko (1859-1914) yang bernama asli Raden Kohar, seorang bangsawan putra Raden Surowijoyo tetapi lebih memilih hidup bersama para petani dan rakyat kecil.
Ia mengubah namanya menjadi "Samin” untuk merepresentasikan "wong cilik” (Samin adalah nama populer untuk masyarakat kelas bawah nonbangsawan) sementara "Surosentiko” adalah gelar Warok yang melambangkan lelaki kesatria yang berbudi luhur serta pengayom masyarakat.
Kelak, gerakan protes spiritual-kebudayaan yang berbau milenarisme itu dikenal dengan Ajaran Samin atau saminisme, sedangkan pengikutnya disebut kaum Samin atau Sedulur Sikep Samin. Meskipun banyak orang menilai saminisme sebagai ajaran aneh dan kaum Samin sebagai umat nyeleneh tetapi saya menganggapnya sebagai bagian dari kejeniusan lokal, lambang kejujuran, dan simbol kesederhanaan yang layak diapresiasi.
Hingga kini kaum Samin yang berada di Desa Klopoduwur, Kecamatan Banjarejo, masih eksis dan menjadi salah satu kawasan wisata berbasis budaya-spiritualitas lokal yang sangat menarik. Para pengunjung (turis) bisa berinteraksi dan bercengkrama dengan warga Samin yang ramah dan sederhana serta menikmati berbagai kesenian, praktik ritual-keagamaan, tata busana, adat, tradisi, alam pertanian, dan kuliner khas mereka. Saya membandingkan Kampung Samin Blora ini seperti Kampung Amish di Pennsylvania dan Indiana (Amerika) atau Kampung Arab Baduin di Jordania.
Iklan
Kiprah penting para tokoh
Kisah menarik lain dari Blora yang cenderung terlupakan adalah mengenai peran inspiratif sejumlah tokohnya. Tidak banyak yang tahu jika sejumlah tokoh Blora telah memainkan peran penting dan memiliki karir bersinar di tingkat nasional, baik di bidang politik, pendidikan, maupun keagamaan. Ada beberapa nama tokoh Blora yang perlu disebutkan di sini karena kiprahnya yang penting di tingkat nasional atau lantaran aktivitasnya yang masyhur hingga mancanegara, selain Pram atau Samin Surosentiko sudah disinggung di atas.
Sebut saja misalnya Oeripan Notohamidjojo (1915-1985), spesialis hukum peminat teologi yang menjadi rektor pertama Universitas Kristen Satya Wacana yang turut meletakkan fondasi keilmuan dan pendidikan di salah satu universitas Kristen tertua di Indonesia ini.
Ia dikabarkan putra Abdullah Fatah, seorang tokoh hukum agama dan pergerakan Islam. Mochamad Adnan adalah nama lain yang perlu disebut. Ia adalah ahli pangan dan pertanian alumni universitas di Amerika yang pernah menjadi Rektor Universitas Gadjah Mada di awal tahun 1990an. Yang juga tidak kalah pentingnya adalah Abdul Mukti Ali, mantan Menteri Agama di awal 1970an, sarjana ahli perbandingan agama, dan salah satu ulama pembaharu Islam terkemuka.
Ada sejumlah nama penting berdarah Blora lainnya seperti L.B. Moerdani, Ali Murtopo, jurnalis Marco Kartodikromo, atau tokoh tarekat kharismatik Kiai Zainal Abidin dan lain-lain yang tentu saja tidak mungkin disebutkan satu per satu di esai singkat ini. Data ini belum termasuk tokoh Blora masa kini yang banyak berkiprah di tingkat nasional di berbagai bidang: pendidikan, kepolitikan, kemiliteran, kepolisian, kesenian, jurnalisme, dan lainnya.
Dari data singkat ini dapat diketahui bahwa para tokoh Blora sangat beragam spesialisasi dan kiprah mereka di panggung publik. Data ini juga menunjukkan walaupun secara geografis Blora cukup terisolir dari daerah-daerah lain tetapi tidak lantas membuat masyarakatnya terisolir secara keagamaan, pendidikan, keilmuan, kesenian, tradisi, dan kebudayaan.
Masyarakat Blora mampu beradaptasi dengan baik dan bisa memanfaatkan celah dan potensi lingkungan untuk pengembangan potensi diri sehingga bisa bertahan meskipun dalam keterbatasan. Pula, mereka dapat menciptakan kreativitas lokal di berbagai sektor sehingga membuat Blora tetap menarik, istimewa, dan eksotis (bersambung).
Sumanto al Qurtuby: Pendiri Nusantara Institute dan Pengajar King Fahd University of Petroleum & Minerals
Misi Dialog Budaya: Goethe Institut Berusia 70 Tahun
Goethe Institut didirikan 9 Agustus 1951 dengan misi menggalang dialog budaya. Dengan cepat lembaga ini berkembang menjadi duta Jerman untuk bahasa dan budaya.
Foto: Michael Friedel/Goethe-Institut
Didirikan di München
Enam tahun setelah Perang Dunia II berakhir, Goethe Institut resmi didirikan menggantikan Deutsche Akademie (DA). Pada awalnya, lembaga ini berkonsentrasi pada pelatihan guru bahasa Jerman. Dalam foto ini, pelajar bahasa Jerman dari Ghana terlihat berjalan-jalan bersama keluarga angkatnya di Murnau, Bayern.
Foto: Michael Friedel/Goethe-Institut
Citra positif Jerman
Pada tahun-tahun awal, tujuan lembaga ini adalah untuk menciptakan citra positif Jerman setelah Perang Dunia II. Pada tahun 1952, institut pertama di luar negeri dibuka di Athena, Yunani. Kota-kota lain menyusul, seperti di Mumbai, India (pada foto), di mana institut ini dinamai menurut Indolog Jerman, Max Mueller. Di Jerman, kursus ditawarkan di lokasi-lokasi yang indah.
Foto: Michael Friedel/Goethe-Institut
Mengubah citra pusat propaganda dan mata-mata
Secara politis, Goethe Institut merupakan upaya Jerman untuk memulai awal baru. Pasalnya, Deutsche Akademie yang didirikan pada tahun 1925 telah berubah menjadi alat propaganda Nazi. Pada tahun 1945, pasukan Amerika membubarkan Deutsche Akademie, yang mereka anggap sebagai "pusat propaganda dan mata-mata di seluruh Eropa" untuk Nazi. Foto siswa GI di Schwäbisch Hall pada tahun 1970-an.
Foto: Goethe-Institut
Musik Jazz atas nama Goethe
Pada tahun-tahun berikutnya, semakin banyak cabang Goethe Institut dibuka di berbagai negara di seluruh dunia, misalnya di Afrika Utara dan Barat, yang mana pada 1950-an dan 1960-an, merupakan negara-negara baru muncul setelah berakhirnya kolonialisme. Institut dan perwakilannya juga populer di Asia. Pemain saksofon Jerman, bintang jazz Klaus Doldinger (paling kanan), bersama musisi di Pakistan.
Foto: Goethe-Institut
Berkembang jadi jaringan global
Lab bahasa jadi tren paling anyar, saat belajar bahasa Jerman di tahun 1980-an. Haluan strategi baru lembaga ini telah membuahkan hasil, Sejak tahun 1960 lembaga budaya Jerman yang aktif di luar negeri diintegrasikan menjadi jaringan yang luas. Saat ini, 157 institut di 98 negara menyebarluaskan informasi tentang budaya dan bahasa Jerman.
Foto: Michael Friedel/Goethe-Institut
Melempari Ayatollah dengan pakaian dalam
Pada tahun 1987, Rudi Carrell, seorang pembawa acara talk show satir dari Belanda, membuat kehebohan, ketika ia menyajikan sketsa televisi yang menunjukkan orang-orang melemparkan bra dan celana dalam ke pemimpin revolusioner Iran, Ayatollah Khomeini. Teheran berang dan mengusir diplomat Jerman, melarang penerbangan ke Jerman serta menutup Goethe Institut di sana.
Foto: Dieter Klar/dpa/picture alliance
Membuka gerbang ke timur
Setelah "Tirai Besi" runtuh, Goethe Institut melebarkan sayapnya ke Eropa Timur. Para pendiri lembaga pertama di negara-negara bekas komunis harus banyak berimprovisasi. Pada tahun 1992, Menteri Luar Negeri Jerman, Klaus Kinkel, meresmikan Goethe Institut di Moskow. Lembaga ini tidak hanya tumbuh di luar Jerman, tetapi juga di kawasan bekas Jerman Timur.
Foto: Goethe-Institut
Promosikan dialog perdamaian dan saling pengertian
Serangan teror 11 September 2001 juga menggeser fokus Goethe Institut. Dialog dan pemahaman antarbudaya menjadi prioritas utamanya. Lembaga ini sekarang berfokus pada penguatan masyarakat sipil dan pencegahan konflik. Gambar ini menunjukkan proyek seni dan musik "Kunstdisco" di Seoul, Korea Selatan.
Foto: Goethe-Institut
Menari dengan robot
Pada tahun 2016, Goethe Institut memulai "Kultursymposium Weimar," di mana para pemikir dari seluruh dunia mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan mendesak di zaman ini. Pada tahun 2019 digelar festival bertajuk "Die Route wird neu berechnet" (Rute sedang dikalibrasi ulang), di mana para peserta mendiskusikan perubahan teknologi yang sangat cepat di masyarakat.
Foto: Goethe-Institut
Gambaran menyeluruh tentang Jerman
Lembaga ini secara teratur menyelenggarakan "Deutschlandjahre" (tahun Jerman) bersama dengan Kementerian Luar Negeri. Tujuan acara ini adalah untuk mempromosikan citra Jerman yang menyeluruh. "Deutschlandjahr" 2018/19 di AS dihadiri oleh total dua juta tamu yang menghadiri 2.800 acara. Acara tahun sebelumnya diadakan di Meksiko, di mana Kanselir Angela Merkel hadir sebagai tamu.
Foto: Goethe-Institut
70 tahun dan usia terus bertambah
Pandemi COVID memicu gelombang digitalisasi. Dipimpin oleh presiden Goethe Institut, Carola Lentz dan Sekretaris Jenderal Johannes Ebert, institut tersebut akan merayakan hari jadinya yang ke-70 pada November 2021. Sebuah buku karya Carola Lentz akan dirilis untuk merayakan acara tersebut, dan sebuah situs web interaktif akan memperkenalkan pembaca pada sejarah penting institusi tersebut. (sc/as)