BNN: Sindikat Narkoba Filipina Pindah ke Indonesia
31 Juli 2017
Badan Narkotika Nasional mengklaim memiliki bukti bagaimana sindikat narkoba yang beroperasi di Filipina mulai mengalihkan bisnisnya ke Indonesia. Untuk menghadangnya ia meminta persenjataan yang lebih canggih.
Iklan
Indonesia diyakini hanya menghadang sebagian kecil obat-obatan terlarang serupa Methamphetamin yang diselundupkan dari luar negeri. "Kita menjadi lahan empuk buat bandar narkoba, karena mudah disusupi lewat laut. Ada banyak pelabuhan tidak resmi dan pulau," kata Kepala Badan Narkotika Nasional, Budi Waseso.
Buwas meyakini saat ini ada 72 sindikat narkoba yang beroperasi di Indonesia. Menurutnya volume perdagangan narkoba di Indonesia meningkat sejak Presiden Rodrigo Duterte mendeklarasikan perang narkoba di Filipina. "Saya tidak mengatakan kita harus mengikuti Filipina. Tapi harus saya katakan kebijakan Duterte menunjukkan dia peduli pada masyarakat."
BNN mencatat Cina adalah negara pengekspor Methamphetamine alias Sabu-sabu terbesar di Indonesia. Menurut data Komisi Pengawasan Narkotika Nasional Cina, tahun 2016 sebanyak 250 ton narkoba diselundupkan ke Indonesia.
Sisi Gelap Perang Narkoba di Filipina
Presiden Filipina Rodrigo Duterte bersumpah akan memberantas bisnis narkoba. Untuk itu ia menggunakan cara-cara brutal. Hasilnya ratusan mati ditembak dan penjara membludak.
Foto: Getty Images/AFP/N. Celis
Sumpah Digong
Presiden baru Filipina, Rodrigo "Digong" Duterte, melancarkan perang besar terhadap kelompok kriminal, terutama pengedar narkotik dan obat terlarang. Sumpahnya itu bukan sekedar omong kosong. Sejak Duterte naik jabatan ribuan pelaku kriminal telah dijebloskan ke penjara, meski dalam kondisi yang tidak manusiawi.
Foto: Reuters/E. De Castro/Detail
Sempit dan Sesak
Potret paling muram perang narkoba di Filipina bisa disimak di Lembaga Pemasyarakatan Quezon City, di dekat Manila. Penjara yang dibangun enam dekade silam itu sedianya cuma dibuat untuk menampung 800 narapidana. Tapi sejak Duterte berkuasa jumlah penghuni rumah tahanan itu berlipat ganda menjadi 3.800 narapidana
Foto: Getty Images/AFP/N. Celis
Beratapkan Langit
Ketiadaan ruang memaksa narapidana tidur di atas lapangan basket di tengah penjara. Hujan yang kerap mengguyur Filipina membuat situasi di dalam penjara menjadi lebih parah. Saat ini tercatat cuma terdapat satu toilet untuk 130 tahanan.
Foto: Getty Images/AFP/N. Celis
Cara Cepat "menjadi gila"
Tahanan dibiarkan tidur berdesakan di atas lapangan. "Kebanyakan menjadi gila," kata Mario Dimaculangan, seorang narapidana bangkotan kepada kantor berita AFP. "Mereka tidak lagi bisa berpikir jernih. Penjara ini sudah membludak. Bergerak sedikit saja kamu menyenggol orang lain," tuturnya. Dimaculangan sudah mendekam di penjara Quezon City sejak tahun 2001.
Foto: Getty Images/AFP/N. Celis
Minim Anggaran
Sebuah ruang sel di penjara Quezon City sebenarnya cuma mampu menampung 20 narapidana. Tapi lantaran situasi saat ini, sipir memaksa hingga 120 tahanan berjejalan di dalam satu sel. Pemerintah menyediakan anggaran makanan senilai 50 Peso atau 14.000 Rupiah dan dana obat-obatan sebesar 1.400 Rupiah per hari untuk setiap tahanan.
Foto: Getty Images/AFP/N. Celis
Sarang Penyakit
Buruknya situasi sanitasi di penjara Quezon City sering berujung pada munculnya wabah penyakit. Selain itu kesaksian narapidana menyebut tawuran antara tahanan menjadi hal lumrah lantaran kondisi yang sempit dan berdesakan.
Foto: Getty Images/AFP/N. Celis
Sang Penghukum
Dalam perang melawan narkoba Duterte tidak jengah menggunakan cara brutal. Sejak Juli silam aparat keamanan Filipina telah menembak mati sekitar 420 pengedar narkoba tanpan alasan jelas. Cara-cara yang dipakai pun serupa seperti penembak misterius pada era kediktaturan Soeharto di dekade 80an. Sebab itu Duterte kini mendapat julukan "the punisher."
Foto: Getty Images/AFP/N. Celis
Membludak
Menurut studi Institute for Criminal Policy Research di London, lembaga pemasyarakatan di Filipina adalah yang ketiga paling membludak di dunia. Data pemerintah juga menyebutkan setiap penjara di dalam negeri menampung jumlah tahanan lima kali lipat lebih banyak ketimbang kapasitas aslinya.
Foto: Getty Images/AFP/N. Celis
Pecandu Mati Kutu
Presiden Duterte tidak cuma membidik pengedar saja, ia bahkan memerintahkan kepolisian untuk menembak mati pengguna narkoba. Hasilnya 114.833 pecandu melaporkan diri ke kepolisian untuk menjalani proses rehabilitasi. Namun lantaran kekuarangan fasilitas, sebagian diinapkan di berbagai penjara di dalam negeri.
Foto: Getty Images/AFP/N. Celis
Duterte Bergeming
Kelompok HAM dan gereja Katholik sempat mengecam sang presiden karena ikut membidik warga miskin yang tidak berurusan dengan narkoba. Beberapa bahkan ditembak mati di tengah jalan tanpa alasan yang jelas dari kepolisian. Seakan tidak peduli, Duterte malah bersumpah akan menggandakan upaya memberantas narkoba.
Foto: Getty Images/AFP/N. Celis
10 foto1 | 10
"Sabu tidak cuma datang dari Cina, tapi juga dari India, Pakistan, Afrika dan Eropa," kata Buwas.
Menurut survey Universitas Indonesia 201 siilam, saat ini Indonesia memiliki 6.4 juta pecandu narkoba. "Jika setiap orang mengkonsumsi satu gramm sabu per minggu, artinya mereka membutuhkan 300 ton sabu per tahun," imbuhnya.
Sebab itu Buwas mendesak pemerintah petugas BNN dilengkapi dengan persenjataan yang lebih mumpuni. Ia mengklaim sindikat narkoba tidak hanya memiliki senjata canggih, tetapi juga perlengkapan anti penyadapan.
Musim Panen Jagal Narkoba
Perang narkoba yang dilancarkan Presiden Filipina Duterte tidak cuma mencoreng wajah kepolisian, tapi juga mengubah warga biasa menjadi pembunuh bayaran. Inilah potret kejahatan kolektif sebuah bangsa
Foto: Getty Images/D. Tawatao
Perang Kolektif Filipina
Presiden Rodrigo Duterte tidak berkelakar saat menyerukan warga sipil agar ikut membunuh pengedar dan pecandu narkoba. "Lakukan sendiri jika anda punya senjata. Anda mendapat dukungan penuh dari saya," tukasnya. Hasilnya Filipina mengalami glombang pembunuhan ekstra yudisial yang hingga kini telah menelan 3.600 korban jiwa. Dalam proyek berdarah itu, warga sipil sering berada di garda terdepan.
Foto: Getty Images/D. Tawatao
Hantu dari Davao City
Duterte banyak berkaca pada kebijakan berdarahnya melawan tindak kriminalitas selama menjabat sebagai walikota Davao City. Berulangkali ia sesumbar betapa kota berpenduduk terbanyak ketiga di Filipina itu kini menjadi salah satu kota teraman di dunia berkat kepemimpinannya. Klaim tersebut dipatahkan oleh berbagai data statistik kriminalitas. Namun Duterte tetap bersikukuh.
Foto: Getty Images/D. Tawatao
Halal Darah Pecandu
Kini tidak terhitung jumlah warga sipil Filipina yang bekerja sebagai pembunuh bayaran. Setiap nyawa dihargai 430 Dollar AS atau sekitar 5,5 juta Rupiah. Biasanya pembunuh meninggalkan karton bertuliskan "bandar narkoba" pada tubuh korban. Menurut data kepolisian, saat ini sudah sekitar 2.200 terduga bandar atau pengguna narkoba tewas oleh pembunuh bayaran. Jumlahnya diyakini akan terus meningkat.
Foto: Getty Images/D. Tawatao
Ancam dan Dikecam
Kendati mengundang kecaman dunia, Duterte mendapat dukungan warga Filipina. Menurut jajak pendapat Pulse Asia, sebanyak 86% penduduk merasa puas atas kinerja sang presiden. Cuma tiga persen yang menanggap sebaliknya. Padahal Duterte mengancam akan memberlakukan hukum perang setelah dikritik oleh Mahkamah Agung dan mengingatkan jurnalis bahwa mereka tidak kebal terhadap pembunuhan
Foto: Getty Images/D. Tawatao
Kesaksian Edgar
Jejak berdarah Duterte bisa ditelusuri hingga ke Davao City. Di sana pun ia membentuk skuad pembunuh yang terdiri atas preman, bekas narapidana, polisi dan pembunuh profesional. Salah seorang diantaranya baru-baru ini memberikan kesaksian di senat Filipina. Edgar Matobato mengklaim Duterte bahkan menembak mati pegawai Departemen Kehakiman karena menghalangi misi pembunuhan.
Foto: picture-alliance/dpa/M. R. Cristino
Maut di Akar Rumput
Untuk menyusun daftar sasaran kepolisian Filipina banyak mengandalkan peran administrasi desa atau Barangay. Mereka ditekan untuk menyerahkan nama-nama penduduk yang diduga mengkonsumsi atau menjual narkoba. Kepala Barangay yang tidak memberikan daftar mati dianggap terlibat bisnis narkoba dan terancam ikut dibunuh.
Foto: Getty Images/D. Tawatao
Rawan Penyalahgunaan
Biasanya daftar mati disusun oleh sebuah komite Barangay yang terdiri atas penduduk biasa. Namun kelompok HAM mengkhawatirkan sistem tersebut rawan penyelewengan. "Sistemnya sangat kondusif untuk mereka yang menyimpan dendam dan dipersenjatai untuk membunuhmu," ujar Komisioner di Komisi HAM Filipina, Karen Gomez-Dumpit.
Foto: Getty Images/D. Tawatao
Keadilan Semu
Buat banyak keluarga korban, mencari keadilan buat anggotanya yang terbunuh merupakan hal yang mustahil. Kebanyakan korban merupakan bandar kecil-kecilan, pecandu atau pesuruh yang berasal dari keluarga miskin. Mereka juga terancam mengalami presekusi atau dikucilkan dari masyarakat.