"Apa kamu ingin jadi martir?" Demikian Erdogan bertanya kepada bocah perempuan berusia 6 tahun dan berseragam tentara, yang tak henti menangis. Presiden Turki kini dituduh jadikan anak-anak alat propaganda.
Iklan
Dalam sidang partainya, AKP di daerah Kahramanmaras di Anatolia, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan memanggil seorang anak perempuan untuk naik ke atas panggung. Anak itu mengenakan seragam militer. "Apa kamu ingin jadi martir?" Tanya Erdogan kepada anak berusia enam tahun itu. Ketika anak itu mulai menangis, Erdogan menegur dengan kata-kata: "Tentara tidak menangis". Ia menambahkan juga, "Kalau kamu gugur, kami akan menyelubungi kamu dengan bendera".
Penampilan Erdogan dengan bocah itu menyulut hujan kritik dari netizen. Seorang dari mereka yang bernama @emilezolam menulis di Twitter, "negara bukan berdiri untuk membunuh anak-anak, melainkan untuk menjamin hidup baik bagi mereka".
Sementara @tuyocu mengkritik situasi yang terpaksa dihadapi anak-anak di Turki. "Pengantin anak-anak, jenasah anak-anak, eksploitasi anak-anak, martir anak-anak. Ini bukan negara, melainkan jebakan buat anak-anak."
Turki: Antara Kudeta Gagal dan Aksi Dukung Erdogan
Setahun setelah percobaan kudeta yang gagal di Turki, Presiden Erdogan dan pendukungnya gelar rapat akbar di Ankara demonstrasikan persatuan. Tapi tidak semua warga Turki mendukung acara tersebut.
Foto: DW/D. Cupolo
Kudeta Gagal dan Demonstrasi Kekuasaan
Kudeta gagal di Turki tahun 2016 sebabkan 250 orang tewas. Acara peringatan setahun sukses tumpas kudeta di Ankara dan Istanbul jadi demonstrasi bagi haluan masa depan negara Turki. Para pendukung presiden Erdogan berkumpul mendengarkan pidato di depan gedung Parlemen.
Foto: DW/D. Cupolo
Berbeda Pandangan
Banyak warga yang terlibat langsung melawan kudeta, untuk mendukung pemerintah yang terpilih secara demokratis, juga hadir dalam rapat akbar itu. Tapi tidak semuanya mendukung demokrasi. Seperti grup "serigala abu-abu" nama julukan partai gerakan nasionlistis ini, demonstrasikan salam partai ekstrim kanan Turki.
Foto: DW/D. Cupolo
Rela Mati demi Erdogan
Sureyya Kalayci (ki) dan putranya Sohn Ahmet (ka), menjadi aktivis yang memblokir jalanan di Ankara untuk menghentikan upaya kudeta militer setahun lalu. Saat peringatan setahun suskes tumpas kudeta, Kalayci memakai baju yang ia tulisi sendiri nyatakan kesetiaan pada Erdogan. "Cukup telefon saya, dan perintakan saya untuk mati, sayapun siap mati"
Foto: DW/Diego Cupolo
Pengawas Demokrasi
Plakat di sebuah gedung di Ankara ini bertuliskan: Kami terus memonitor demokrasi". Inilah dukungan bagi "demokrasi" pasca percobaan kudeta setahun silam. Sebagian penduklung Erdogan meyakini, bahwa pendukung imam Fetullah Gülen masih ada di dalam institusi pemerintahan, dan terus menyiapkan kudeta berikutnya.
Foto: DW/D. Cupolo
Percaya Kekuatan Nasional
Seorang demonstran mengatakan tertembak kakinya saat usaha kudeta yang gagal, dan menggeletak setahun di rumah sakit. Kini dia hadir dalam rapat akbar di Ankara, dan menyatakan siap membela negara. Ia menyebutkan, pengkhianat berusaha mempengaruhi militer lakukan kudeta. Tapi efeknya negara kini semakin kuat.
Foto: DW/D. Cupolo
Dukung Aksi Pembersihan
Demonstran yang membawa anak ini memakai ikat kepala bertuliskan "syuhada tak pernah mati. Tanah air tidak bisa dibagi". Banyak demonstran mendukung aksi pembersihan terhadap kelomopk anti Erdogan. Sejauh ini lebih 150.000 pegawai negeri dipecat dan lebih 50.000 orang ditahan di penjara. Demonstran ini menyebutkan, warga yang tidak bersalah tidak perlu takut.
Foto: DW/D. Cupolo
Demo Tandingan Pengritik Status Quo
Para pengritik situasi darurat dan represi terhadap tersangka lawan politik pemerintah gelar demo tandingan. Peserta aksi menentang kewenangan besar bagi tentara untuk melakukan tindakan apapun. Jika ada referendum, para penentang status quo akan memilih menolak dituasi darurat.
Foto: DW/D. Cupolo
Banyak Hak Sipil Dilenyapkan
Aktivis hak asasi manusia Seyma Urper menegaskan, banyak yang tidak ingin mendukung rapat akgar pendukung Erdogan. Pasca usaha kudeta, banyak pegawai negeri dipecat, dan walikota di Sirnak diganti oleh politisi pro AKP. Rakyat kehilangan banyak hak sipil. Banyak yang makin sulit menjalankan profesinya.
Foto: DW/D. Cupolo
Rindukan Kejayaan Usmaniyah
Dampak dari represi, menyebabkan Erdogan dipandang banyak pendukungnya sebagai penguasa tunggal di Turki. Ia dianggap sebagai tokoh yang bisa mengembalikan kejayaan Turki seperti di masa kekaisaran Usmaniyah yang runtuh 100 tahun lalu. Hal ini terlihat dari banner yang dibawa dengan tulisan :"Kami cucu Usmaniyah. Recep Tayyip Erdogan."
Foto: DW/D. Cupolo
Semua Mengharap Erdogan Terpilih Kembali?
Demostran pendukung Erdogan mengusung bendera bertuliskan. "Tetap kuat, rakyat mendukungmu". Tapi banyak yang diam-diam mengharapkan hal sebaliknya. Seorang sopir taksi mengatakan, jika Erdogan terpilih kembali 2019, Turki akan jadi ngara Syariah. Bagi pria ini bukan masalah, tapi bagi perempuan akan jadi masalah berat. Penulis:Diego Cupolo (as/ap)
Foto: DW/D. Cupolo
10 foto1 | 10
@GaziCaglar juga berang karena anak-anak disalahgunakan untuk tujuan politik: "Ada banyak penyalahgunaan anak-anak. Salah satu yang paling menjijikkan adalah jika otokrat menggunakan anak-anak untuk show politiknya, dan orang tua memberikan izin. Ada sekelompok pemberi suara yang akan tercatat dalam sejarah sebagai pelindung penyalahgunaan anak-anak."
Tapi pendukung Erdogan juga bisa menggunakan Twitter, dan melancarkan ciutan balasan. Misalnya @mrtdrs_79 yanmenulis: "Lihat tuh, para orang tolol. Rasa cinta bagi Recep Tayyip Erdogan tidak bisa dibeli hanya dengan pasta dan arang."
Sementara pemakai Twitter lain bernama @enesiovic mengajak semua netizen "Mari kita tutup bersama malam ini dengan memandang pria besar Recep Tayyip Erdogan."
Sejarah Kudeta Militer di Turki
Sebanyak enam kudeta dilancarkan militer terhadap pemerintah sipil sepanjang sejarah Turki. Hampir semua bermotifkan politik. Militer menganggap diri sebagai pengawal sekularisme Atatürk dan tidak jengah mengintervensi.
Foto: Reuters/O. Orsal
1960: Kudeta Demokrasi
Kepala pemerintahan pertama di Turki yang dipilih langsung oleh rakyat tidak berusia lama. Kekuasaan Adnan Menderes dan Partai Demokrat diwarnai pelanggaran HAM dan upaya untuk mengembalikan Syariat Islam ke pemerintahan Turki. Militer kemudian melancarkan upaya kudeta pertama. Setahun berselang Menderes dihukum mati oleh junta militer.
Foto: picture-alliance/AP Photo
1971: Berakhir Lewat Memorandum
Selang 11 tahun setelah kudeta terakhir, militer melayangkan memorandum yang menyebut pemerintah telah "menyeret negara dalam anarki dan kerusuhan sosial." Surat yang ditandatangani semua perwira tertinggi militer itu mengultimatum pemerintahan untuk segera membubarkan diri dan membentuk pemerintahan kesatuan.
Foto: Imago/ZUMA/Keystone
1980: Kudeta Mengakhiri Perang Proksi
Muak dengan pertikaian antara kaum kanan dan komunis kiri, panglima militer Jendral Kenan Evren melancarkan kudeta buat menyingkirkan pemerintahan sipil. Turki pada dekade 80an ikut terseret dalam arus perang dingin yang ditandai dengan konflik berdarah di level akar rumput. Hingga akhir 70an negeri dua benua itu mengalami 10 pembunuhan per hari terhadap aktivis komunis atau sayap kanan
Foto: imago/Zuma/Keystone
Darah Berbayar Duit
Kudeta 1980 membuahkan pertumbuhan ekonomi buat Turki yang nyaris bangkrut. Namun kekuasaan Jendral Evren hingga 1989 banyak diwarnai oleh penculikan dan penyiksaan terhadap oposisi dan kelompok anti pemerintah. Tahun 2014 Evren akhirnya divonis penjara seumur hidup oleh sebuah pengadilan di Ankara. Namun lantaran faktor usia, vonis tersebut cuma bersifat simbolis.
Foto: AP
1997: Intervensi Senyap
Kembali militer bereaksi ketika pemerintahan Necmettin Erbakan dinilai menanggalkan prinsip sekulerisme Ataturk. Saat itu dewan jendral, termasuk Panglima Militer Jendral Ismail Hakki Karadayi, mengultimatum pemerintah untuk melaksanakan enam butir tuntutan yang membatasi gerak kelompok Islam. Kudeta itu berhasil menjatuhkan Erbakan. Tapi para jendral yang terlibat kemudian diadili tahun 2012
Foto: Adem Altan/AFP/Getty Images
2016: Kudeta Setengah Hati
Pada Jumat malam, 15 Juli 2016, militer tiba-tiba mendeklarasikan kudeta dan mengklaim telah merebut pemerintahan dari tangan Presiden Recep Tayyip Erdogan. Saat itu Erdogan sedang berlibur di luar negeri. Militer lalu bergerak merebut tempat-tempat strategis, termasuk kantor stasiun televisi CNN Turki di Istanbul
Foto: Getty Images/G.Tan
Balas Dendam Erdogan
Lewat pesan ponsel Erdogan memerintahkan pendukungnya untuk turun ke jalan. Aparat kepolisian dan pasukan pemerintah dikerahkan buat menghalau kelompok makar. Hasilnya ratusan orang tewas dan ribuan lain luka-luka. Kudeta di Turki dinilai berlangsung tanpa perencanaan matang. Erdogan lalu memanfaatkannya buat memberangus musuh politik yang sebagian besar simpatisan kelompok Gulen
Foto: Reuters/O. Orsal
7 foto1 | 7
Bocah sebagai alat propaganda di Turki
Tapi itu sebenarnya bukan contoh pertama penggunaan anak-anak sebagai alat propaganda. Sehari sebelumnya, televisi pemerintah TRT sudah menyiarkan lewat situsnya, rekaman video berisi pesan seorang anak laki-laki yang juga berusia sekitar enam tahun.
Dalam video, bocah bernama Isa mengatakan, "Ayah saya berjuang bersama rekan-rekannya dalam Pasukan Pembebasan Suriah melawan organisasi separatis PKK, bersama tentara Turki. Semoga Tuhan melindungi semua pejuang kita, dan melimpahkan kemenangan. Saya berterimakasih kepada presiden, yang bagi saya seperti kakek. Karena berkat Tuhan dan presidenlah, saya bisa bersekolah dan hidup dalam kedamaian. Semoga Tuhan memberkati presiden dan negara Turki".
Video itu berakhir dengan gambar di mana sang bocah bersama seorang anak lainnya memandang foto ayahnya yang mengenakan seragam militer.
Pengacara Seda Akço Bilen, yang ahli dalam masalah hak anak-anak mengungkap sejumlah kesepakatan internasional yang sudah ditandatangani Turki. Menurut kesepakatanm anak-anak tidak boleh diikutsertakan dalam konflik bersenjata apapun. Jika perjanjian tidak ditepati, anak-anak menjadi korban terbesar perang, demikian Bilen.
Penulis: Melis Yüksel, Ceyda Nurtsch (ml/hp)
Inilah Tujuh Industri Surga Buruh Anak
Menurut Unicef, di seluruh dunia terdapat sekitar 152 juta juta anak yang bekerja sebagai buruh. Berikut tujuh sektor yang paling sering mengeksploitasi anak-anak sebagai pekerja berupah rendah.
Foto: dpa
Kopi
Menurut Organisasi Buruh Internasional (ILO), sektor pertanian adalah yang paling aktif memanfaatkan jasa anak di bawah umur. Banyak perkebunan kopi di seluruh dunia mengeksploitasi buruh anak untuk memanen biji kopi, antara lain di Indonesia, Kolombia, Tanzani, Kenya, Uganda, Meksiko, Nikaragua, Honduras, Panama dan Pantai Gading.
Foto: dpa
Kapas
Panen kapas secara tradisional sering melibatkan anak-anak, terutama di negara yang bergantung pada ekspor kapas seperti Pantai Gading. Menurut LSM pemantau industri kapas, Cotton Campaign, buruh anak di industri kapas juga marak di Uzbekistan dan Turkmenistan, di mana bocah sering dipaksa keluarga untuk bekerja mencari nafkah.
Foto: Issouf Sanogo/AFP/Getty Images
Batu-bata
Kementerian Tenaga Jerja AS menyusun daftar berisikan 15 negara, di mana banyak buruh anak bekerja di sektor konstruksi, antara lain untuk memproduksi batu-bata. Selain Brazil dan Peru, Argentina, Cina, Korea Utara dan Ekuador termasuk yang paling banyak menyimpan kasus buruh di bawah umur.
Potret muram buruh anak yang sempat mencuat berkat kasus di Kamboja dan Bangladesh bukan hanya fenomena regional. Hampir semua negara yang mengekspor produk garmen kerepotan mengawasi praktik terlarang tersebut. Dalam gambar ini terlihat bocah pengungsi Suriah yang bekerja di pabrik kain di Gaziantep, Turki,
Foto: picture-alliance/AP Photo/L. Pitarakis
Gula
Panen tebu di sejumlah negara seperti Guatemala, Filipina dan Kamboja tidak jarang melibatkan anak-anak. ILO menemukan ribuan buruh anak bekerja di perkebunan tebu di Filipina, di mana banyak bocah berusia kurang dari tujuh tahun bekerja dengan upah rendah.
Foto: dpa
Tembakau
ILO mencatat industri tembakau adalah salah satu yang paling mengancam kesehatan buruh anak lantaran jam kerja yang panjang, terik matahari, paparan zat kimia berbahaya, kewajiban mengangkut hasil panen yang berat dan risiko diserang hewan liar. Rata-rata buruh anak di industri rokok tembakau bekerja selama 10 jam per hari.
Foto: Getty Images/AFP/C. Khanna
Emas
Buruh anak di tambang emas adalah hal lumrah di sejumlah negara Afrika, Asia dan Amerika Selatan. Para bocah menghadapi risiko tinggi, mulai dari ledakan di dalam tambang atau terpapar zat kimia berbahaya. Mereka juga sering harus mengkonsumsi air kotor dan berisiko tinggi terkena penyakit malaria, meningitis dan TBC.