1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiEropa

Boikot, Kekuatan Konsumen yang Mampu Hentikan Ketidakadilan

15 November 2020

Aksi boikot terhadap negara, orang, atau produk dapat berlangsung hingga berbulan atau bahkan bertahun lamanya. Boikot adalah kekuatan konsumen, tapi butuh kesabaran dan konsistensi.

Seruan untuk boikot produk Prancis di supermarket di Yaman
Seruan untuk boikot produk Prancis di supermarket di YamanFoto: Hani Mohammed/AP Photo/picture-alliance

Pembelaan Presiden Prancis, Emmanuel Macron, terhadap publikasi satir Charlie Hebdo memicu berbagai pihak serukan untuk memboikot produk-produk negara itu. Di Indonesia, pada akhir Oktober lalu Majelis Ulama Indonesia juga mengeluarkan imbauan serupa.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia daring, boikot artinya “bersekongkol menolak untuk bekerja sama (berurusan dagang, berbicara, ikut serta, dan sebagainya).” Boikot pada umumnya memiliki tujuan yang jelas, dan dapat berlangsung hingga bertahun-tahun. 

Sebagai contoh, tahun 1791 aktivis antiperbudakan berusaha meyakinkan Parlemen Inggris untuk mengesahkan RUU diakhirinya perbudakan. Aktivis menyerukan boikot gula Karibia yang produksinya sangat memerah tenaga budak. Pada puncak boikot, sekitar 400.000 rumah tangga diperkirakan telah berhenti menggunakan gula Karibia atau beralih ke gula dari daerah lain.

Setelah perjuangan panjang, tahun 1833 Parlemen Inggris mengesahkan Undang-Undang Penghapusan Perbudakan. Namun menurut theconversation.com, kebebasan penuh tidak tercapai hingga tahun 1838.

Boikot memang punya kekuatan dan bisa berdampak terhadap bisnis dan perdagangan, bahkan bisa meruntuhkan sebuah rezim, seperti yang terjadi pada rezim apartheid di Afrika Selatan. Seperti apa awal mula kata boikot? 

Saat Charles Boycott diboikot para petani

Sebagian besar tanah pertanian di Irlandia pada abad ke-19 dimiliki oleh tuan tanah yang berkebangsaan Inggris. Ironisnya, kebanyakan para tuan tanah ini tidak tinggal di Irlandia, jadi untuk mengelola tanah pertaniannya, mereka menyewa manajer lahan yang juga bertugas mengumpulkan uang sewa dari para petani. Nah, salah satu manajer lahan ini bernama Charles Boycott, mengelola tanah pertanian di County Mayo, Irlandia, untuk Earl of Erne, seorang aristokrat Inggris.

Di abad ke-19 agrikultur memang sektor andalan ekonomi Irlandia, tapi tahun 1880 terjadi gagal panen yang parah. Dikutip dari laman workandmoney.com, para petani yang menyewa tanah kepada Earl of Erne meminta harga sewa diturunkan sebesar 25 persen untuk meringankan beban. Namun Earl of Erne hanya mengurangi sebesar 10 persen dan memerintahkan Boycott untuk mengusir setiap petani yang tidak membayar sewa.

Para penduduk lokal tidak terima atas perlakuan ini, mereka memutuskan untuk tidak lagi mau berurusan dengan Charles Boycott. Waktu itu memang belum ada istilah memboikot, jadi Charles Boycott dieksomunikasikan, dikucilkan, atau mengalami ostrasisme.

Penduduk tidak mau lagi mengurusi lahan, berhenti bekerja sebagai pelayan di rumahnya, tidak mau mengirimkan surat-surat. Pebisnis lokal tidak mau menjual apa pun kepada Boycott, bahkan perempuan lokal menolak membuat roti untuknya. Hingga tukang cuci pakaiannya pun berhenti, demikian diungkapkan Boycott dalam surat terbuka kepada surat kabar The Times. 

Secara fisik Boycott memang tidak dilukai, tapi siapa yang tahan terus-menerus hidup seperti itu? Akibatnya, Charles Boycott terpaksa meninggalkan Irlandia. Pada tahun 1888, kata boikot pertama kali masuk ke Kamus Oxford. Namun aksi pengucilan sendiri telah ada jauh sebelum Charles Boycott mengalami pemboikotan.

ae/vlz (dari berbagai sumber)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait