1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Para Politikus Yang Berubah Haluan

Uly Siregar
8 Oktober 2018

Sungguh liar dinamika politik di tanah air, apalagi jelang pilpres 2019. Banyak politikus malah berubah haluan. Bagaimana Anda melihat fenomena ini? Berikut opini Uly Siregar.

Indonesien Treffen Prabowo Subianto mit Präsident Joko Widodo in Jakarta
Foto: Reuters/Beawiharta

Sementara rakyat pendukung konsisten dan fanatik mendukung favoritnya masing-masing, yang didukung justru mengeluarkan jurus-jurus bola liar yang sulit ditebak.

Ditambah lagi figur-figur elite dari yang tadinya galak pada satu pihak, tanpa diduga berubah sikap menjadi jinak pada pihak yang dulu rajin mereka kritik dan nyinyiri.

Sebut saja Ali Mochtar Ngabalin. Ia masuk ke dalam lingkaran istana sebagai Tenaga Ahli Utama Kedeputian IV bidang Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden (KSP), bekerja di bawah komando Jenderal Purnawirawan Moeldoko.

Meski bukan staf khusus presiden, perekrutan Ngabalin sebagai tim Jokowi menjadi sorotan. Pasalnya, pada pilpres 2014 ia bagian dari Tim Pemenangan Prabowo-Hatta, dengan posisi juru debat.

Penulis: Uly Siregar Foto: Uly Siregar

Tak heran dulu Ngabalin pun enteng menyerang Jokowi. Dari soal remeh seperti serangan fisik saat menyebut Jokowi sebagai capres kurus kerempeng, hingga soal yang lebih esensial seperti menuduh Jokowi tak bisa menepati janji kampanye sebagai gubernur DKI Jakarta.

Yang lebih gawat lagi, ketika pemungutan suara usai dan Jokowi dinyatakan sebagai pemenang, Ngabalin bahkan mengatakan perjuangan kubunya tak berhenti dengan kekalahan di pilpres.

Kutipan yang terkenal dari Ngabalin saat berbicara di acara halal bihalal yang diadakan Tim Prabowo-Hatta di Rumah Polonia adalah: "Kita mendesak Allah SWT berpihak pada kebenaran, berpihak kepada Prabowo-Hatta.” Lebih jauh, Ngabalin bahkan melontarkan kegemasannya ingin mendesak Allah menurunkan bala tentara untuk menolong Prabowo-Hatta.

Ngabalin tak sendiri. Gubernur Nusa Tenggara Barat Tuan Guru Bajang (TGB) kini juga berubah haluan menjadi pendukung Jokowi. Tokoh ulama dari Partai Demokrat ini dahulu dikenal sebagai lawan tangguh Jokowi dalam memenangkan suara bagi Prabowo-Hatta, terutama di NTB. Dalam pilpres 2014, saat menjabat sebagai Ketua Tim Pemenangan Prabowo-Hatta di NTB, atas dukungannya, Prabowo-Hatta meraih suara mayoritas sebesar 72,45 persen! Dengan angka tersebut, Jokowi dikabarkan menderita kekalahan paling telak di NTB.

Setelah pilpres 2014 usai, TGB pun masih berada dalam deretan pengkritik keras Jokowi. Ia adalah tokoh ulama yang dekat dengan Muhammad Rizieq Shihab atau lebih dikenal dengan sebutan Habib Rizieq yang kini bermukim di Arab Saudi, terkait dengan kasus percakapan mesum, penodaan agama, dan penghinaan terhadap Pancasila yang sudah dihentikan kasusnya. Sebagai bagian dari Persaudaraan Alumni (PA) 212, TGB bahkan sempat dimasukkan sebagai salah satu kandidat cawapres dari kalangan tokoh ulama. Nama TGB akhirnya dicoret akibat pernyataan terbuka TGB mendukung Jokowi untuk menjadi presiden dua periode.

Masuknya ulama-ulama yang tadinya berseberangan dengan Jokowi masih belum selesai, bahkan kian menjadi. Mencapai puncaknya saat pengumuman cawapres yang akan mendampingi Jokowi dalam pilpres 2019 mendatang. Jokowi menyampaikan, pilihannya jatuh pada Kiai Haji Ma'ruf Amin.

Ramai-ramai berubah haluan

Meski bukan lawan politik langsung Jokowi, seperti halnya TGB dan Ngabalin yang pernah menjadi bagian dari Tim Pemenangan Prabowo, Ma'ruf yang juga Rais Aam (Ketua Umum) NU dan Ketua MUI bukanlah bagian dari pendukung setia Jokowi. Ia justru dianggap berseberangan dengan kubu Jokowi dalam memandang kasus penistaan agama yang menimpa diri Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Dan sebagai bagian dari gerakan 212, Ma'ruf bisa dianggap sebagai oposisi pemerintahan Jokowi.

Selain nama-nama besar dari kalangan ulama yang disebutkan di atas, masih banyak gerombolan penentang Jokowi yang berubah haluan menjadi pendukung. Ada Idrus Marham yang tadinya Koordinator Koalisi Merah Putih (KMP) pada pilpres 2014 sempat menjabat menjadi menteri sosial sebelum akhirnya mundur dari jabatan tersebut karena harus berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Lantas ada Ketua Umum Partai Persatuan Indonesia (Perindo) Harry Tanoesoedibjo, diikuti petinggi-petinggi partai lain yang tadinya berseberangan dengan Jokowi dalam pilpres 2014. Belum termasuk Farhat Abbas yang baru-baru ini mengabarkan dirinya dipilih sebagai juru kampanye di media sosial untuk pasangan Jokowi dan Ma'ruf.

Gelombang dukungan terhadap Jokowi dari mereka yang tadinya bukan pendukung ini menimbulkan olok-olok di media sosial ‘semua akan cebong pada waktunya'. Sebutan ‘cebong' merujuk pada mereka yang dikenal sebagai pendukung berat Jokowi. Apa pun alasan mereka mendukung Jokowi, dinamika politik yang tak memiliki loyalitas absolut ini menunjukkan bahwa politik memang erat kaitannya dengan kepentingan. Apa pun kepentingan itu, tak ada yang tahu persis kecuali pelakunya sendiri.

"This is quite a game, politics. There are no permanent enemies, and no permanent friends, only permanent interests.” Ujaran dari William Clay ini sempurna menggambarkan dinamika politik yang tengah berlangsung di tanah air. Tak ada musuh atau kawan yang abadi dalam politik, hanya kepentingan yang tak berubah. Saking liarnya dinamika politik, bahkan yang sepertinya tak masuk akal pun masih diberi ruang untuk mungkin terjadi.

Bayangkan, inisiator tagar #2019GantiPresiden Mardani Ali Sera bahkan sempat mengatakan akan mempertimbangkan mengubah dukungan apabila Jokowi menjadi lebih baik. Alasannya, tagar tersebut dibuat bukan mutlak untuk mengganti presiden tapi lebih pada menantang Jokowi dan timnya agar bekerja lebih baik. Bila hal itu terjadi bukan tak mungkin dukungan diberikan pada Jokowi.

Meskipun setia adalah kualitas yang selalu dicari dalam diri manusia, kesetiaan adalah satu hal yang dianggap berlebihan dalam politik praktis. Dalam politik, kesetiaan dan janji bisa diubah dan disesuaikan dengan kepentingan yang sedang dikejar saat itu. Jokowi sebagai presiden sendiri dikatakan lahir dari sebuah janji yang tak ditepati. Setidaknya, demikian menurut kubu Gerindra.

Menurut kesepakatan yang dibuat di Batutulis, Bogor, Jawa Barat, PDPI sedianya akan mendukung Prabowo sebagai kandidat presiden 2014. Namun kesepakatan tersebut dilanggar, PDIP justru memberi mandat capres kepada Jokowi. Tentu saja justifikasi terhadap ketidaksetiaan pada janji ini segera dikeluarkan oleh pihak PDIP. Menurut petinggi PDIP, perjanjian Batutulis antara PDIP dengan Gerindra telah gugur berbarengan dengan kalahnya pasangan Megawati-Prabowo dari pasangan SBY-Boediono pada pilpres 2009.

Membingungkan?

Tak usah terlalu dipikirkan bahwa Megawati dan PDIP yang kini menjadi salah kekuatan utama di belakang Jokowi ternyata pernah bersekutu dengan Prabowo dan Gerindra. Pada akhirnya kita harus mafhum bahwa politik adalah soal perebutan kekuasaan.

Begitu pentingnya soal perebutan kekuasaan ini, seringkali etika politik pun dilanggar tanpa sungkan. Rakyat di lapisan tengah dan bawah terkaget-kaget, sementara elit politik enteng menampilkan wajah permusuhan atau perkawanan, sesuai kepentingan.

Sudah saatnya kita sebagai rakyat yang pada bulan April 2019 nanti akan memilih presiden tak lagi naif terhadap politik persekongkolan di tingkat elite. Tak perlu kaget dengan tokoh ulama yang berganti haluan dari lawan Jokowi menjadi kawan.

Mungkin kita justru perlu menyontek prinsip ‘yang abadi adalah kepentingan' dalam menentukan presiden mendatang. Sebagai rakyat, kita pun memiliki kepentingan, dan yakinlah kepentingan kita patut diperjuangkan.

Saran saya, dalam memilih pemimpin tak perlu setia pada satu sosok tertentu. Tapi pilihlah presiden yang bisa memenuhi kepentingan kita, atau setidaknya mendekati ideal dalam upaya memenuhi kepentingan tersebut.

Dan kalau ternyata tak ada capres yang memenuhi kriteria tersebut? Jangan heran kalau pemilih jadi apatis dan memutuskan untuk golput, termasuk saya. Setidaknya, untuk saat ini, dengan dinamika politik liar centang perenang yang tengah berlangsung. Entah nanti, saat berhadapan langsung dengan surat suara pemilu.

@sheknowshoney bekerja sebagai wartawan media cetak dan televisi sebelum pindah ke Arizona, Amerika Serikat. Sampai sekarang ia masih aktif menulis, dan tulisan-tulisannya dipublikasikan di berbagai media massa Indonesia.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Anda dapat berbagi opini di kolom komentar di bawah...