1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Booming Pariwisata di Bali

Christina Schott12 Oktober 2012

Kawasan di selatan Bali penuh sesak. Di bandara yang terlalu kecil penumpang yang datang maupun yang akan berangkat berdesakan di pembatas kawasan pembangunan, yang menunjukkan akan dibukanya terminal baru.

Foto: Christina Schott

Dalam tempo yang lamban, taxi dan sepeda motor terjebak macet di pusat turis Kuta, dimana di sepanjang pantai berjejer bangunan hotel yang baru. Di sini krisis keuangan tidak terasa. Hanya sebuah tugu peringatan di tempat bekas Paddy's Club masih mengingatkan, bahwa di sini fundamentalis Islam pada 12 Oktober 2002 melakukan serangan bom terhadap dua klub malam yang padat pengunjung. Menurut catatan resmi 202 orang tewas, diantaranya enam warga Jerman. Ratusan meter dari tempat itu, kini para turis dengan minuman cocktail di tangan dapat kembali berdansa di Paddy's Reloaded.

"Bali ibarat Gula"

"Bali seperti gula. Dan di mana ada gula, di situ ada semut." Demikian dijelaskan pengusaha Cok Ratih, yang menjadi dewasa di Indoensia dengan pariwisata. Yang dimaksud gula adalah pasir putih di pantai sepanjang berkilometer, yang membentang sampai gunung berapi serta campuran unik agama Hindu dengan tradisi budaya kunonya yang hingga kini masih menjadi bagian kehidupan sehari-hari penduduk Bali. "Tradisi kami hanya dapat terus bertahan sampai kini atas jasa wisatawan," disampaikan Cok Ratih yang dulu pernah menjadi penari.

Bali adalah kawasan enklave Hindu di Indonesia, yang merupakan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. 80 persen dari 3,9 juta penduduk Bali kehidupannya tergantung dari pariwisata. Ketika Pulau Dewata itu 10 tahun lalu akibat serangan bom kehilangan mata pencahariannya, tidak hanya masa depan bagi industri perhotelan dan perusahaan wisata tampak suram, melainkan juga bagi banyak pengrajin, kelompok penari dan penjual souvenir.

Remaja Bali jelang upacara adatFoto: Christina Schott

Tren Baru: Pertanian bio dan kursus Yoga

Kala itu diperlukan perubahan pikiran: "Warga Bali harus kembali menemukan jiwa kawasannya. Apa yang kami butuhkan adalah pariwisata berkualitas." Demikian dijelaskan kala itu oleh pencetus ide awal Ida Ayu Agung Mas. Banyak yang menertawakan putri pendeta Hindu tersebut ketika ia sudah mendirikan tempat wisata ekologis dan berkelanjutan sosial di dekat pusat budaya Ubud dan menjadi tempat belajar para tenaga tidak terdidik dari desa tersebut. Kini Bali dipenuhi dengan pusat wisata ekologis (Eco-Resort) termasuk dukungan dari masyarakat desa serta pertanian bio atau kursus Yoga dan meditasi.

Paling lambat sejak film "Eat Pray Love" dari Julia Roberts mengambil lokasi di Bali tahun 2009, Ubud menjadi tempat kunjungan bagi para esoteris seluruh dunia. Dengan momentum puncak setiap tahun, Bali Spirit Festival dengan puluhan ribu pengunjung, yang mengubah tempat kecil itu menjadi kamp yoga raksasa. Tahun ini pemerintah daerah Bali memperkirakan kunjungan sekitar tiga juta turis dari luar negeri.

"Saya pikir bagus, jika banyak turis yang datang, selama mereka pergi lagi," kata barkeeper I Ketut Adi. "Mereka memberi kami kesejahteraan dan kemajuan. Masalahnya dimulai, jika warga asing ingin tinggal di sini. Gaya hidup mereka terlalu liberal dan mempengaruhi penduduk setempat. Untuk jangka panjang itu akan mengubah budaya kami dan pada akhirnya tradisi kami hanya akan menjadi tontonan spektakuler." Di pusat para turis di selatan Bali, kekhawatiran ini sudah menjadi realita. Siapa yang berlibur di sini, pada dasarnya ingin berselancar, menikmati suasana pantai dan berpesta. Budaya Bali di sini ditampilkan pada panggung-panggung hotel berbintang lima.

Pantai Gili MenoFoto: Christina Schott

Booming Wisata di Kepulauan Gili

Sebagai imbalan banyak warga Bali hanya memandang para turis sebagai sumber uang. "Pada tahun 1980-an orang-orang di sini masih mencoba mengerti tamu-tamunya. Sementara ini warga asing hanya dinilai berdasarkan uangnya, tidak lagi dinilai berdasarkan kualitasnya sebagai manusia. Dengan begitu Bali semakin komersial dan dengan demikian pada suatu saat akan menjadi tidak menarik." Demikian pendapat pemilik galeri I Made Aswino Aji. Pada kenyataannya saat ini semakin banyak wisatawan yang mengunjungi kawasan di utara dan timur Bali yang lebih tenang. Atau langsung ke pulau tetangga Lombok dengan kepulauan Gili.

Komang John senang karenanya. Resort bungalow-nya "Blue Moon Villas" termasuk yang paling digemari di pantai Amed di timur Bali. Perjalanan ke kepulauan Gili dari situ hanya sekitar satu jam. "Apa yang saya miliki adalah atas jasa para wisatawan. Tapi saya mencoba sedapat mungkin menjalani hidup yang tidak tergantung dari situ," kata guru agama Hindu yang pernah menempuh kuliah itu. Pendidikannya dibiayainya sebagai pembantu koki di sebuah cafe di pantai, dan ia bangga karenanya. "Saya setiap saat dapt mengajar di sebuah sekolah dan dengan demikian menghidupi keluarga saya. Orang tidak pernah tahu apa yang akan terjadi."

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait