1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikBrasil

Brasil Jelang Duel Antara Lula Melawan Bolsonaro

26 Juli 2022

Bulan Oktober mendatang, Brasil akan memilih antara tokoh populis kanan yakni Jair Bolsonaro, dan Lula da Silva, kandidat kiri yang dirayakan sebagai pahlawan rakyat miskin. Apa latar belakang keduanya?

Luiz Inacio Lula da Silva & Jair Bolsonaro
Luiz Inacio Lula da Silva dan Jair Bolsonaro

Pemilihan umum kepresidenan di Brasil pada 2 Oktober mendatang dipastikan bakal mempertemukan dua kandidat, yakni petahana Jair Bolsonaro yang diusung partai-partai populis kanan, melawan tokoh kiri dan bekas Presiden Luiz Inacio Lula da Silva. Persilangan ideologi kedua kandidat mencerminkan perpecahan yang melanda Brasil.

Kembalinya Lula

Lula berasal dari keluarga miskin. Sebagai buruh pabrik logam, dia memprakarsai sejumlah aksi mogok melawan kediktaturan militer pada dekade 1970an. Aktivitasnya itu berulangkali membawanya ke balik jeruji besi.

Lula kemudian mendirikan Partai Buruh (PT) yang sejak itu mengusungnya sebagai kandidat presiden. "Kalau bukan dia sendiri yang mencalonkan diri, maka kandidat PT adalah orang pilihannya," kata Camila Rocha, pemerhati politik Brasil. Tahun ini, dia akan mencalonkan diri untuk keenam kali.

Ketika Lula menyerahkan jabatan presiden kepada rekan separtainya, Dilma Roussef, pada 2010 silam, tingkat kepuasan publik terhadap presiden mencapai 83 persen. Popularitasnya terdongkrak oleh program bantuan sosial pemerintah, antara lain beasiswa dan bantuan keluarga alias "Bolsa Familia" yang membantu banyak keluarga untuk keluar dari garis kemiskinan.

Namun belakangan, Lula tidak lagi semata dianggap sebagai "pelindung kaum miskin dan kelas buruh," kata Rocha, tetapi juga "cacat korupsi''. Selama pemerintahan PT antara 2003 hingga 2016, Brasil digoyang sejumlah skandal korupsi. Kasus paling mencolok adalah Operasi Lava Jato, di mana pemerintah menyogok anggota Kongres melalui perusahaan minyak negara, Petrobras.

Akibatnya 2018 silam Lula dipidana penjara selama beberapa bulan dengan dakwaan pencucian uang dan pembiaran tindak korupsi. Hingga kini, dia membantah dirinya bersalah dan menuduh proses persidangan sebagai upaya konspirasi. Pada 2019, sekelompok peretas membocorkan bukti transkrip pembicaraan antara penyidik dan hakim pengadilan. Alhasil, proses sidang dibatalkan dan hukuman terhadap Lula dicabut.

Kebangkitan Bolsanoro

Bukan kebetulan bahwa Jair Messias Bolsonaro hingga kini masih menggelorakan era kedikaturan militer Brasil (1964-1985) dan mendukung tindak penyiksaan oleh kepolisian. Pria berusia 67 tahun ini sejak awal mengimpikan karier militer. Namun masalah disipliner membuatnya terusir dari angkatan bersenjata. Ujung-ujungnya, Bolsonaro beralih ke politik.

Pengamat politik Brasil, Rafael Cortez, menggambarkan sang politikus sebagai "pejabat kelas dua yang eksentrik. Sudah jelas bahwa dia mewakili kepentingan militer, tapi selebihnya dia kurang mencolok atau pernah memegang jabatan penting:"

Meski berulangkali pindah partai, idealisme Bolsanoro yang dikenal gemar melontarkan narasi homofobi, misogini dan rasis itu tetap bermuara di  spektrum kanan. Serupa poltisi populis kanan lain, dia menjunjung prinsip BBB, yakni Biblia, Boi e Bala, alias Alkitab, daging sapi dan senjata api. Bahwa dia sukses menjadi presiden pada 2018 silam, adalah berkat dua faktor, kata Cortez.

"Dia mengenali pengaruh media sosial sejak dini dan memodernisasi kampanyenya. Selain itu skandal korupsi Lula da Silva sangat berpengaruh menjauhkan pemilih di Brasil dari partai-partai politik arus utama, terutama terhadap kelompok kiri."

Ekonomi hijau vs. ekonomi ekstraktif

Tiga bulan sebelum pemilu, Lula memperkenalkan program politiknya di sebuah hotel di Sao Paulo. Di dalamnya dia berjanji menanggulangi kejahatan lingkungan, terutama terhadap penebangan dan penambangan ilegal di Amazona. Sikapnya itu berbanding terbalik dengan kebijakan Bolsonaro yang memprioritaskan pertumbuhan ekonomi di atas kerusakan lingkungan.

Selama masa jabatannya, dunia menyaksikan kebakaran raksasa di hutan Amazona dan kawasan bakau, Pantanal, yang antara lain dipicu pembukaan lahan. Ekspansi ini terutama mengancam suku asli Amazona yang kehilangan hutan dan sumber penghidupan.

Menurut pakar politik, Camila Rocha, Lula ingin membenahi UU Perburuhan untuk mempersulit perusahaan melakukan pemecatan.

Sebaliknya, Bolsonaro belum mengumumkan program kongkrit, kecuali fokus utama pada pertumbuhan ekonomi. Dua tahun setelah pandemi Corona, perekonomian Brasil masih dibebani inflasi yang tinggi. Isu lapangan kerja diyakini akan menjadi faktor utama bagi pemilih.

Selama masa kampanye, dia sering memoles reputasi sebagai "pelindung nilai-nilai tradisional dan kejayaan masa lalu yang katanya pernah ada di Brasil sebelum kedatangan kelompok kiri," kata Cortez. Menurutnya, Bolsonaro akan mempertahankan gaya politiknya yang "konfrontatif, berbeda dengan Lula yang selalu mendahulukan dialog dan kompromi."

Berebut dukungan elektoral

Salah satu kelemahan terbesar Bolsonaro adalah riwayatnya yang buruk dalam penanggulangan pandemi corona. Tidak heran jika berbagai jajak pendapat memprediksikan kemenangan mutlak Lula. Menurut survey Instit Datafolha pada 23 Juni silam, sebanyak 43 persen pemilih Brasil mendukung Lula, sementara Bolsonaro hanya mendapat 28 persen suara.

Situasi ini bisa berubah dalam beberapa bulan ke depan, kata Camila Rocha. Tapi secara umum, kantung pendukung kedua kandidat terbagi jelas, terutama bagi Lula yang didukung rakyat miskin. "Selain itu, perempuan, warga kulit hitam dan pemuda banyak yang mendukungnya. Pada Bolsonaro situasinya terbalik, pemilihnya kebanyakan kaum menengah atas, laki-laki, putih dan berusia tua."

Untuk menyiasati ketertinggalannya, Bolsonaro dikhawatirkan akan meminjam siasat bekas Presiden AS, Donald Trump, yakni dengan menebar keraguan terhadap keabsahan pemilu sejak dini. Baik Cortez dan Rocha menilai, dengan cara itu dia bisa menolak mengakui hasil pemilu.

(rzn/pkp)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait

Topik terkait

Tampilkan liputan lainnya