Siapa peduli Nusantara kita? Siapa yang peduli menjaga, merawat, melestarikan, memperjuangkan, atau mengembangkan warisan khazanah kultural, intelektual, dan spirititual serta nilai-nilai luhur leluhur Nusantara kita?
Iklan
Siapa yang peduli memperkenalkan kekayaan khazanah kebudayaan Nusantara ke masyarakat luas, lebih-lebih dunia internasional atau mancanegara?
Pertanyaan ini gampang tapi tak mudah untuk menjawabnya. Apalagi dewasa ini, alih-alih merawat dan mengembangkan kebudayaan Nusantara, banyak pihak yang justru cuek dan mengabaikannya. Bukan hanya itu saja, ada bahkan kelompok sosial-keagamaan yang malah mendiskreditkan, melecehkan, mengharamkan, dan menabukan tradisi dan budaya lokal Nusantara dengan alasan bertentangan dengan syariat dan aqidah Islam.
Dua Kelompok Kontra Budaya Nusantara
Setidaknya ada dua kelompok kontra Nusantara yang jika tidak diantisipasi dengan baik bisa berpotensi menghilangkan tradisi dan kebudayaan Nusantara di masa mendatang. Kedua kelompok ini ada di dalam struktur pemerintah maupun di luar pemerintah (state and society).
Kelompok pertama adalah kelompok modernis yang tergila-gila dengan modernitas (kemodernan atau kekinian) dan kemajuan. Karena terlalu terobsesi dengan kemajuan dan gemerlap dunia modern, mereka mengabaikan hal-ihwal yang berbau lokal karena dianggap tradisional, kuno, kolot, old-fashion, tidak fashionable, atau bahkan "ndeso” dan "kampungan”.
Biasanya kelompok ini tergila-gila dengan masyarakat yang mereka bayangkan atau imajinasikan sebagai "masyarakat maju” dalam hal pendidikan, pengetahuan, sains dan teknologi, perabadan, dan seterusnya.
Karena Barat (khususnya Amerika Serikat atau Eropa Barat) kebetulan saat ini yang dipersepsikan sebagai simbol kemodernan dan kemajuan itu, maka banyak masyarakat Indonesia dewasa ini, tua-muda, laki-perempuan, yang berbondong-bondong meniru "gaya Barat”, baik dalam hal tata-busana, bahasa (percakapan) maupun pergaulan sehari-hari. Dulu, pada zaman kolonial Belanda, sekelompok elit "pribumi” juga tergila-gila dengan "kompeni” yang karena dianggap sebagai representasi dari kemodernan dan kemajuan tadi.
Bagaimana Buddha Mengakar di Bumi Indonesia
Buddha di Indonesia dianut tak sampai 1% dari total penduduk atau hanya sekitar 1,8 juta orang. Meski kecil, agama Buddha pernah menoreh catatan sejarah penting yang membawa nusantara ke kancah dunia. Berikut faktanya.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Agama Klasik Indonesia
Agama Buddha adalah agama tertua kedua di Indonesia setelah Hindu. Ajaran Buddha mulai memasuki nusantara pada awal abad pertama lewat perdagangan di Jalur Sutra yang menghubungan Indonesia dan India. Bukti peninggalan Buddha kuno dari abad kedua dapat ditemukan di kompleks Stupa Batujaya di Karawang, Jawa Barat.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Sriwijaya Mendunia
Sriwijaya, kerajaan maritim terkuat beraliran Buddha dari abad ke-7 yang kekuasaannya membentang dari Kamboja, Thailand Selatan, Semenanjung Malaya, Kamboja, Vietnam dan Filipina. Pangeran Sriwijaya bernama Dharmakīrti dikenal sebagai penyair dan menjadi filsuf di Universitas Nalada, India. Ia mengajarkan teori yang terangkum dalam “pramana“, dasar kurikulum pengajaran biksu di Tibet hingga kini.
Foto: picture alliance/CPA Media
Kawah Intelektual Asia
Buddha Indonesia pernah membawa Nusantara ke kancah Internasional karena menjadi pusat pengajaran Buddha yang mendatangkan peziarah dan sarjana dari negara-negara di Asia. Biksu Tiongkok bernama I-tsing pada tahun 682 menulis bahwa terdapat 1000 orang pendeta yang belajar kepada seorang mahaguru Buddha terkenal di masa itu bernama Sakyakirti.
Foto: Getty-Images/AFP/J. Kriswanto
Jatuh Bangun
Pengaruh ajaran Buddha mulai meredup sejak Islam memasuki nusantara pada abad ke-13. Setelah itu, hampir 450 tahun jejak keberadaan Buddha tidak terlihat lagi di Indonesia hingga akhirnya abad ke-17, para pendatang dari Tiongkok mulai menetap di nusantara dan kembali memperkaya keberagaman di Indonesia.
Foto: picture-alliance/AP Photo/Trisnadi
Tak Hanya Etnis Tionghoa
Pengikut ajaran Buddha di Indonesia umumnya adalah etnis Tionghoa yang berada di Jakarta, Riau, Bangka Belitung, Sumatera Utara dan Kalimantan Timur. Namun, ada juga sebagian kecil penduduk asli Sasak yang dikenal sebagai penganut sasak Bodha, sebutan untuk warga Sasak yang menganut ajaran Buddha sejak pra-Islam.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Tokoh Buddha Indonesia
Salah satu pahlawan nasional yang dikenal sebagai pengagum Buddha adalah Jenderal Gatot Subroto. Ia dikenal sebagai pelindung agama Buddha dan sering hadir dalam upacara Waisak di Borobudur. Selain Gatot Subroto, R.A.Kartini dalam suratnya kepada Abendanon-Mandri juga menuliskan bahwa ia adalah anak Buddha, ketika menjelaskan alasan mengapa ia menjadi vegetarian.
Foto: Getty Images/AFP/A. Rochman
Ajaran Cinta Kasih
Agama yang diperkenalkan Sidharta Gautama ini dalam praktiknya bertujuan meminimalkan perbuatan menyakiti segala kehidupan. Itulah sebabnya praktik vegetarian sangat memainkan peranan mendasar dalam ajaran Buddha: Mahaparinirvana Sutra, memakan daging akan membunuh cinta kasih.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Candi Warisan Dunia
Candi Borobudur adalah warisan Buddha nusantara yang masuk daftar situs warisan dunia dan menjadi objek wisata yang paling banyak dikunjungi. Candi ini paling ramai pada bulan Mei ketika perayaan Tri Suci Waisak. Pelepasan lampion jadi atraksi yang menarik perhatian turis lokal. Candi ini pernah dibom seorang penceramah beraliran ekstrem, Husein Ali Al Habsyie pada pertengahn dekade 1980-an.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
8 foto1 | 8
Kedua adalah kelompok agamis, khususnya "kelompok Islamis” (dan juga "kelompok Syar'i”) tetapi juga sejumlah kelompok Kristen puritan-reformis yang juga kontra terhadap tradisi dan budaya lokal Nusantara. Harap dibedakan antara "kelompok agama” dan "kelompok agamis”, antara "kelompok Islam” dan "kelompok Islamis” (silakan baca karya Bassam Tibi, Islamism and Islam).
Yang dimaksud dengan "kelompok agamis” disini (baik Muslim maupun non-Muslim) adalah kelompok fanatikus agama atau kaum reformis-puritan yang mengidealkan kemurnian dan kesempurnaan praktik doktrin dan ajaran agama yang bersih dan murni dari unsur-unsur lokal.
Bagi kelompok agamis ini, mempraktikkan elemen-elemen tradisi dan budaya lokal dianggap sebagai perbuatan syirik atau tindakan bid'ah (atau bidat) yang bisa mengganggu dan menodai otentisitas, kesucian, dan kemurnian doktrin dan ajaran agama mereka. Oleh mereka, aneka adat, tradisi, dan budaya lokal itu dianggap tidak relijius (tidak Islami, tidak Kristiani dan seterusnya), dan karena itu harus dijauhi dan ditolak karena bertentangan dengan Kitab Suci, teologi atau aqidah, praktik kenabian, serta doktrin dan ajaran normatif agama mereka.
Melongok Ragam Alkitab Nusantara: Mulai Dari Huruf Jawi Hingga Bahasa Tombulu
Alkitab dalam bahasa Ibrani, mulai dari huruf Jawi hingga bahasa Tombulu terarsip di Museum Alkitab. Sejarah penerjemahan hingga pemakaian kata kontroversial seperti Allah dan Isa Almasih dapat dipelajari di sini.
Foto: Monique Rijkers
Naskah Pada Kulit Sapi 12 Meter
Museum Alkitab punya replika Kitab Kejadian yang ditulis pada kulit sapi sepanjang 12 meter dalam bahasa Ibrani, bahasa asli Alkitab Perjanjian Lama, sedangkan Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani. Dulu yang bisa membacanya hanya rabbi dengan menggunakan yad, penunjuk ayat. Sesudah dibaca, Alkitab digulung. Naskah Ibrani tertua, Codex Allepo disimpan di Museum Israel di Yerusalem.
Foto: Monique Rijkers
Alkitab Tertua: Codex Sinaiticus
Codex Sinaiticus adalah naskah Alkitab tulisan tangan setebal 1460 halaman yang disalin dalam bahasa Yunani sekitar tahun 360 Masehi dan jadi bukti terpenting Alkitab yang masih ditemukan aslinya. Ditemukan Constantin von Tischendorf, peneliti Universitas Leipzig tahun 400-an Masehi di Biara Santa Catherine, Sinai, Mesir. 694 halaman naskah asli disimpan di British Library di London.
Foto: Monique Rijkers
Berkat Mesin Cetak Guttenberg
Biblia Sacra Vulgata atau Alkitab bahasa Latin sehari-hari yang dicetak pertama kali menggunakan mesin cetak yang ditemukan Johannes Guttenberg pada pertengahan abad ke-15. Mesin cetak Guttenberg yang menggunakan tinta berbasis minyak yang tak mudah luntur. Mesin cetak Guttenberg berperan besar dalam penerbitan Alkitab.
Foto: Monique Rijkers
Dari Bahasa Latin Menjadi Bahasa Inggris
1382 John Wycliffe terjemahkan Perjanjian Baru dari bahasa Latin ke bahasa Inggris. William Tyndale terjemahkan ke bahasa Inggris tahun 1526. Tahun 1604 Raja Inggris James I perintahkan penerjemahan yang lebih baik. Versi ini selesai 1611. Inilah bentuk awal versi terjemahan yang dikenal hingga kini dengan sebutan King James Version. Foto ini adalah lembaran asli dari edisi pertama Alkitab itu.
Foto: Monique Rijkers
Alkitab Sang Tokoh Reformasi Gereja
Tokoh Reformasi Gereja asal Jerman Martin Luther menerjemahkan Alkitab dari bahasa Ibrani dan Yunani ke dalam bahasa Jerman tahun 1521-1522. Meski bukan yang pertama kali menerjemahkan Alkitab, Alkitab Luther dianggap lebih bermutu karena dari bahasa asli.
Foto: Monique Rijkers
Alkitab Mini
Alkitab Raja James I ini dicetak tahun 1839 yang merupakan versi terjemahan pertama. Untuk membaca Alkitab dibutuhkan kaca pembesar. Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) juga mencetak Alkitab mini untuk memudahkan jemaat mengantungi Alkitab.
Foto: Monique Rijkers
Alkitab Rembrant, Alkitab Bergambar
Alkitab Rembrant adalah Alkitab yang dilengkapi dengan gambar-gambar yang digoreskan khusus oleh Rembrant, pelukis Belanda. Alkitab ini diterbitkan tahun 1931 oleh Hugo Schmidt Verlag, München, Jerman. Rembrant menghasilkan lebih dari 500 gambar atau sketsa dan 60 lukisan yang terinspirasi dari kisah-kisah di Alkitab. Gambar pada foto ini adalah kisah Daniel di Gua Singa.
Foto: Monique Rijkers
Alkitab Bahasa Melayu Pertama
1629 pertamakalinya Injil Matius diterbitkan dalam bahasa Melayu. Penerjemahnya Albert Corneliss Ruyi. Ruyi sudah menggunakan kata Allah yang sempat dianggap eksklusif untuk Islam. Penerbitan Kitab Matius dilakukan dalam bahasa Belanda dan Melayu. Alkitab asli disimpan di Perpustakaan Stuttgart, Jerman karena dianggap salah satu penerjemahan Alkitab pertama di luar bahasa-bahasa di Eropa.
Foto: Monique Rijkers
Alkitab Aksara Arab Bahasa Melayu
Gubernur Jendral Inggris Thomas Raffles dirikan Lembaga Alkitab Jawa tahun 1814. Lembaga Alkitab Belanda berdiri tahun 1816. 1863 terbit Perjanjian Baru Melayu Semarang yang dikerjakan Hillebrandus Klinkert. 1879 Lembaga Alkitab Belanda mencetak Perjanjian Lama huruf Latin atau Alkitab Melayu Tinggi. 1889 terbit Alkitab huruf Jawi yakni yang ditulis dengan huruf Arab gundul dalam bahasa Melayu.
Foto: Monique Rijkers
Alkitab Shellabear, Alkitab Huruf Jawi
William Shellabear, tentara Inggris di Singapura selesaikan penerjemahaan Injil dan Kisah Para Rasul dalam bahasa Melayu, huruf Jawi tahun 1906, seluruh Perjanjian Baru 1910 dan Perjanjian Lama 1912. Mitranya Sulaiman bin Muhammad Nur, asal Sumatera, guru di Malaka. Tahun 1927-1929 penerjemahan sudah menggunakan huruf Latin, bukan Jawi. Shellabear menerjemahkan kata Yesus jadi Isa Almasih.
Foto: Monique Rijkers
Alkitab Tulisan Tangan Bode
W. A Bode adalah orang Jerman yang menjadi pendeta dan guru Teologi di Minahasa. Bode terlibat dalam penerjemahan Perjanjian Baru ke dalam bahasa Melayu dan diterbitkan tahun 1938. Penerjemahan Perjanjian Lama diselesaikan di tahanan Belanda di Aceh Selatan. Saat dipindah ke India, kapal Bode dibom Jepang. 400 penumpang tewas. Alkitab Perjanjian Baru terjemahan Bode digunakan hingga tahun 1974.
Foto: Monique Rijkers
Alkitab Versi LAI
Direktur Museum Alkitab Bambang Sitompul menyatakan Alkitab yang digunakan oleh Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) mengacu pada penerjemahan Klinkert untuk Perjanjian Lama dan Bode untuk Perjanjian Baru yang diterbitkan tahun 1958, 4 tahun setelah LAI berdiri. Baru pada tahun 1974 ada Alkitab Bahasa Indonesia versi penerjemahan berdasarkan bahasa asli Ibrani, Yunani dan Aramaik.
Foto: Monique Rijkers
Ada Berapa Banyak Alkitab Bahasa Suku?
Alkitab bahasa daerah pertama diterbitkan berbahasa Jawa tahun 1829 oleh G. Brucker. Sudah puluhan Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru berbahasa daerah diterbitkan oleh Lembaga Alkitab Indonesia. 2018 terbit bahasa Tombulu dan Yali Angguruk. Untuk Alkitab bahasa Rejang di Bengkulu yang diterbitkan tahun 2012, seorang penerjemahnya adalah umat Muslim.
Foto: Monique Rijkers
Alkitab Tulisan Tangan Anak-anak
Alkitab yang sangat tebal ini adalah hasil tulisan 6000 anak-anak dari gereja dan sekolah Kristen di seluruh Indonesia. Kegiatan menulis ayat Alkitab ini diadakan pada 2002 dengan tujuan menggalang dana untuk pengadaan Alkitab dan bacaan rohani untuk anak-anak di pedalaman. Dari kegiatan ini diharapkan anak-anak tahu menyalin ayat-ayat Alkitab itu membutuhkan waktu dan tidak mudah.
Foto: Monique Rijkers
Guide Museum Alkitab
Museum Alkitab yang terletak di Gedung Lembaga Alkitab Indonesia di Jalan Salemba Raya menyediakan jasa guide untuk menjelaskan 300 buah koleksi museum. Peminat bisa mendaftar secara kelompok dan dikenakan tarif masuk 5000 ribu rupiah per orang. Museum yang berdiri pada tahun 2002 ini didukung pula oleh Yayasan William Soeryadjaya (almarhum dulunya seorang konglomerat Indonesia).
Foto: Monique Rijkers
15 foto1 | 15
Bukan hanya itu saja. Atas nama pemurnian ajaran agama, mereka juga menyerang berbagai aset kultural, nilai-nilai luhur leluhur, dan khazanah keilmuan nenek moyang Nusantara karena dianggap bid'ah atau bidat (tidak dipraktikkan oleh Nabi Muhammad dan generasi awal Islam atau oleh Yesus dan rasul mula-mula) dituduh tidak agamis, dicap tidak syar'i, atau dipandang tidak sesuai dengan ajaran normatif keagamaan tertentu, seraya memperkenalkan (dan dalam banyak hal memaksakan) doktrin, wacana, gagasan, pandangan, dan ideologi keagamaan eksklusif-puritan dan aneka ragam budaya luar kepada masyarakat Indonesia.
Jika "kelompok modernis” di atas mengabaikan tradisi dan budaya lokal lebih karena alasan-alasan yang bersifat profan-sekuler-duniawi, maka "kelompok agamis” menolak adat, tradisi, dan kebudayaan lokal karena alasan teologi-keagamaan yang bersifat sakral-relijius-ukhrawi.
Berbeda dengan "kelompok modernis”, "kelompok agamis” ini sangat agresif dalam menyerang hal-ihwal yang berbau lokal. Mereka bukan hanya sekadar mengabaikan dan tak mempraktikkan tradisi dan budaya lokal tetapi juga mengadvokasi untuk memusnahkannya.
Meskipun "kelompok modernis”, atau tepatnya sejumlah faksi militan kelompok modernis, dalam batas tertentu, juga menyerang tradisi dan budaya lokal Nusantara tetapi mereka tidak seekstrim seperti yang dilakukan oleh "kelompok agama” yang mengampanyekan atau bahkan mempropagandakan penghancuran tradisi, budaya dan nilai-nilai luhur leluhur Nusantara.
Madagaskar Yang Sangat Indonesia
Madagaskar ternyata kental nuansa nusantara. Ilmuwan bahkan memperkirakan, negara kepulauan ini ditemukan oleh seorang perempuan Indonesia. Tapi bagaimana budaya bisa bertukar lewat jarak 8000 kilometer?
Foto: Getty Images
8000 Kilometer ke Barat
Menurut catatan sejarah, pulau Madagaskar pertama kali dihuni oleh pendatang asal Indonesia. Mereka diyakini berlayar sejauh 8000 kilometer dari Kalimantan dan Sulawesi. Ilmuwan sejauh ini memang belum menemukan bukti fisik, kecuali hasil uji Mitokondria DNA yang mengungkap garis keturunan penduduk Madagaskar berasal dari Indonesia.
Foto: picture alliance/CPA Media
Sampel DNA
Tiga tahun silam peneliti Universitas Massey, Selandia Baru, menganalisa DNA milik 266 orang. Dalam kelompok tersebut, mereka menemukan bahwa 22 persen memiliki tanda genetik “orang Indonesia”. Jika sampel DNA ini benar, diperkirakan ada sekitar 30 perempuan Indonesia yang ikut membentuk populasi awal di Madagaskar.
Foto: DW/P. Hille
Metode Pertanian
Bukti lain pengaruh nusantara di Madagaskar bisa ditemui pada sektor pertanian yang banyak menggunakan metode dan teknologi yang serupa dengan di Indonesia. Menurut catatan sejarah, pendatang baru itu mulai menanami padi dan talas di dataran tinggi Madagaskar sejak abad ke-enam. Mereka disebut Vazimba yang jika diterjemahkan langsung berarti orang rimba.
Foto: Getty Images
Rumah Kotak
Tidak seperti rumah tradisional Afrika pada umumnya yang berbentuk bulat, kediaman penduduk asli Madagaskar lebih menyerupai suku-suku di Asia Tenggara, yakni berbentuk kotak dengan atap segitiga. Penduduk asli Madagaskar juga mengenakan pakaian yang terbuat dari serat tanaman, berbeda dengan Afrika yang lebih menyukai kulit binatang.
Foto: DW/F.Müller
Bahasa Nusantara
Kendati dikuasai oleh Bahasa Perancis, penduduk Madagaskar masih memelihara bahasa sendiri, yakni bahasa Malagasi yang masih termasuk rumpun Bahasa Melayu-Polinesia. Di dalamnya terkandung pengaruh bahasa lokal di Indonesia, yakni Barito Timur, Jawa dan Melayu. Tangan misalnya menjadi tananə atau nusa menjadi nosy. Bahasa Malagasi juga mengadopsi kata kulit dan putih dari bahasa melayu.
Foto: DW/Peter Hille
Pengaruh dalam Tradisi Kuliner
Nasi adalah makanan pokok penduduk Madagaskar. Tradisi kuliner di pulau tersebut juga ditengarai banyak dipengaruhi pemukim pertama yang berasal dari kawasan nusantara. Nasi biasanya ditemani laoka alias lauk, yakni sayur dan daging yang ditumis dengan saus tomat atau santan.
Foto: DW/F.Müller
Teka Teki Besar
Sejak dihuni pertamakali 1200 tahun lalu oleh pendatang asal nusantara, kini Madagaskar memiliki identitas sendiri yang banyak terpengaruh budaya lain, semisal Arab, Afrika, Bantu dan bahkan Perancis. Tapi pertanyaan tentang bagaimana kapal asal Indonesia saat itu bisa berlayar 8000 kilometer tanpa kompas dan peta, belum akan terjawab.
Pendirian Nusantara Kita Foundation dan Nusantara Institute
Dilatarbelakangi oleh keprihatinan mendalam atas maraknya sejumlah gerakan, kelompok, paham dan ajaran (baik lokal maupun asing) yang kontra tradisi dan budaya Nusantara maupun atas maraknya tradisi dan budaya luar (asing) yang dewasa ini masuk dan "menyerbu” secara masif-intensif di Indonesia, maka saya dan sejumlah teman idealis (Ida Widyastuti dan Muhammad Haris Setiawan, keduanya pebisnis, spiritualis, dan pecinta tradisi dan budaya Nusantara) mendirikan Nusantara Kita Foundation (NKF) dan Nusantara Institute (NI).
Kami menyadari bahwa perkembangan aneka gerakan, kelompok, paham, ajaran, tradisi, dan budaya yang anti-Nusantara ini telah membuat generasi muda Bangsa Indonesia melupakan paham, ajaran, tradisi, dan budayanya sendiri serta nilai-nilai luhur para leluhur bangsa. Jika fenomena ini dibiarkan, maka pelan tapi pasti, kelak bangsa Indonesia akan kehilangan jati diri mereka sebagai sebuah bangsa, menjadi bangsa yang asing dengan paham, ajaran, tradisi, dan budayanya sendiri.
Jelasnya, pendirian NKF dan NI merupakan respons atas maraknya aneka gerakan anti-Nusantara, baik yang dilakukan oleh individu maupun kelompok sosial-keagamaan, yang berkembang marak belakangan ini, terutama sejak berakhirnya pemerintahan Orde Baru. Aneka gerakan kontra-Nusantara itu bukan hanya terbatas pada "gerakan pemikiran” saja tetapi juga bahkan "gerakan politik”.
Visi NKF dan NI adalah menjamin terpeliharanya aset-aset kultural, nilai-nilai luhur leluhur, dan kekayaan khazanah keilmuan Nusantara warisan nenek moyang, baik yang terdokumentasi melalui tulisan, prasasti, maupun tradisi lisan, termasuk agama dan kepercayaan (beliefs); kerajaan; tradisi, adat, dan kebudayaan, baik budaya material maupun imaterial; nilai-nilai spiritual; warisan intelektual para pujangga; local wisdom; dan sebagainya.
Nostalgia Layar Tancap di Indonesia
Layar tancap nyaris mati digerus film digital. Namun hingga kini tradisi kuno itu masih dilestarikan oleh segelintir penikmat film lawas yang bersikeras menjajakan bioskop keliling sebagai hiburan buat kaum pinggiran.
Foto: Reuters/Beawiharta
Nostalgia Bioskop Terbuka
Kecintaan Kamaluddin pada film lawas 35 milimeter hampir tak mengenal batas. Maka saban pekan ia rajin memutar lakon klasik untuk acara pernikahan atau hajatan sejenis di Jakarta dan sekitarnya. Buatnya, bisokop keliling alias layar tancap membawa nostalgia dan juga hiburan buat kaum miskin ibukota.
Foto: Reuters/Beawiharta
Kualitas Unik Teknologi Lawas
Format film 35 mm sejatinya sudah lama ditinggalkan industri perfilman. Sineas muda kini lebih memilih format digital, karena lebih murah dan mudah, serta punya resolusi lebih baik. Tapi buat sebagian, teknologi lawas memiliki kualitas yang unik. "Lebih artistik dan suaranya juga lebih bagus ketimbang digital," kata Kamaluddin. "Jika anda menonton tiga film berturut-turut, anda tidak lekas lelah."
Foto: Reuters/Beawiharta
Bioskop Pes di Era Kolonial
Layar Tancap sudah menjadi tradisi di Indonesia sejak era penjajahan Belanda. Kala itu pemerintah kolonial menggunakan layar tancap untuk program penyuluhan, antara lain untuk membangun kesadaran terhadap penyakit menular berbahaya. Sebab itu penduduk menamainya "bioskop pes," merujuk pada penyakit sampar yang sempat merajalela di tanah air.
Foto: Reuters/Beawiharta
Primadona Hiburan Kaum Urban
Di era keemasannya, layar tancap adalah primadona hiburan kaum urban. Terutama pada dekade 1970 hingga 1990an, bioskop keliling menjadi kesempatan buat kaum muda untuk berkumpul dan bercengkrama. Namun menyusul kehadiran televisi, bioskop modern dan film digital, layar tancap mulai ditinggalkan penggemarnya.
Foto: Reuters/Beawiharta
Melestarikan Tradisi Kuno
Kini tradisi kuno itu masih hidup di tangan sebagian kecil penikmat film lawas seperti Kamaluddin. Perlengkapannya terdiri atas layar raksasa, tenda, proyektor 35mm dan sistem pengeras suara yang ia angkut dengan mobil bak terbuka. Ia bersikeras melestarikan layar tancap dengan menggelar pertunjukan keliling dari kampung ke kampung.
Foto: Reuters/Beawiharta
Duit Tidak Lagi Berputar
"Tahun 1997, satu malam saya bisa membuka empat layar di empat tempat berbeda," kata Kamaluddin. Ia menaksir pendapatan hariannya saat itu bisa mencapai 4 juta Rupiah dalam kurs saat ini. "Sekarang saya disebut beruntung kalau bisa membuka layar dua kali sebulan dan mendapat 1,5 juta dalam semalam," imbuhnya.
Foto: Reuters/Beawiharta
Investasi Mahal buat Hiburan Murah
Padahal membuka usaha layar tancap tidak murah. Sebagian besar proyektor harus diimpor dari Jepang. Setiap unit dibanderol antara 50-70 juta Rupiah. Sebab itu sebagian pengusaha berkocek tipis lebih suka membeli proyektor bekas. Saat ini terdapat sekitar 7.500 judul film berbentuk lembaran seluloid yang disewakan kepada pengusaha layar tancap.
Foto: Reuters/Beawiharta
Dari Hollywood ke Bollywood
Jika dulu film laga barat atau film silat Cina yang rajin diputar, maka kini film Bollywood India yang merajai pagelaran layar tancap. "Selain gratis, kita juga bisa nonton film tua yang sudah jarang dijumpai," kata salah seorang pengunjung layar tancap milik Kamaluddin, Nurul Fitriyah, kepada kantor berita Reuters.
Foto: Reuters/Beawiharta
Hidup Lewat Gairah Masa Lalu
Terancam mati perlahan, tradisi layar tancap mencoba bertahan hidup lewat gairah masa lalu, menjadi semacam bahasa perlawanan terhadap digitalisasi yang membekap dunia sinema dan hiburan saat ini. Namun buat kaum miskin, bisokop keliling seperti milik Kamaluddin tetap bernilai sama seperti beberapa dekade silam, yakni sebagai ajang hiburan sekaligus berkumpul dan bercengkrama.
Foto: Reuters/Beawiharta
9 foto1 | 9
NKF dan NI akan berusaha sekuat tenaga untuk ikut andil dalam merawat, menjaga, melestarikan, dan bahkan memperkenalkan dan mengembangkan aset-aset kultural, nilai-nilai luhur, dan kekayaan khazanah keilmuan Nusantara itu baik di tingkat nasional maupun global melalui berbagai program dan aktivitas agar eksistensi mereka tidak pudar sekaligus diakui oleh publik masyarakat yang lebih luas.
Ke depan, perlu ada semakin banyak kelompok sosial, lembaga swadaya masyarakat, atau komunitas yang peduli dengan aset-aset kultural, spiritual, dan intelektual warisan para leluhur Nusantara, apalagi di saat bangsa Indonesia kini sedang diserbu oleh berbagai gerakan dan grup yang anti terhadap spirit nasionalisme dan ke-Nusantara-an. Jika tidak diantisipasi dengan cerdas, cermat, bijak, dan seksama, bukan hal yang mustahil jika pada tahun-tahun mendatang, nilai-nilai luhur Nusantara kita hanya tinggal kenangan saja.
Menyibak Pengembaraan Tradisi Tionghoa di Batavia
Jejak peradaban Tionghoa di Indonesia bisa ditelusuri melalui peninggalan bangunan, tradisi, budaya hingga citarasa masakan khas Tionghoa. Kawasan Glodok, Jakarta, kental hadirkan nuansa masa lalu Tionghoa di Batavia.
Foto: M. Rijkers
Rumah Teh Pancoran
Sepanjang Jalan Pantjoran, Glodok, pedagang obat Cina membuka toko dan masih bertahan hingga kini. Tahun 1928, bangunan ini digunakan sebagai Apotik Chunghwa. Pada 1997 hingga 2015, bangunan ini berada dalam keadaan tidak terawat sehingga direvitalisasikan dan difungsikan kembali sebagai restoran dengan nama Pantjoran Tea House atau Rumah Teh Pancoran sejak dua tahun lalu.
Foto: M. Rijkers
Tukang Obat
Sejak tahun 1930-an, kawasan Jalan Pantjoran terkenal sebagai sentra obat Cina. Hingga kini toko obat Hauw-hauw masih mempekerjakan sinshe, menerima resep atau menuliskan cara konsumsi obat dalam Bahasa Mandarin. Sinse atau tabib meracik obat berdasarkan keluhan pasien dengan menggunakan ramuan herbal atau hewan tertentu dalam bentuk kering dan disimpan di laci-laci di dinding toko.
Foto: M. Rijkers
Swalayan Tertua di Jakarta
Toko kelontong Jaya Abadi atau Tjiang Tiang Sen adalah swalayan pertama di Jakarta. Terletak di Petak Sembilan, Glodok, toko yang kini dikelola generasi keempat sejak berdiri pada 1906 masih menempati lokasi sama. Barang yang dijual umumnya produk makanan dan kebutuhan masak yang diimpor dari Cina. Yang harganya cukup mahal adalah asparagus kalengan yang berharga ratusan ribu rupiah.
Foto: M. Rijkers
Kedai Kopi Es Tanpa Saingan
Bagi peyeruput kopi, Gang Gloria di kawasan Glodok menyimpan sebuah kedai kopi klasik tanpa saingan yang bertahan sejak 1927. Racikan dan pengolahan kopi yang ditempa bertahun-tahun menghasilkan cita rasa kualitas kopi yang membuat pelanggan bertahan. Kedai kopi tutup jam 12 siang. Meski disukai banyak orang, tak ada keinginan membuka cabang atau menambah jam buka kedai.
Foto: M. Rijkers
Gereja Nuansa Tionghoa
Gereja Santa Maria de Fatima, satu-satunya gereja bernuansa Tionghoa di Indonesia. Bangunan dari tahun 1700 ini tadinya rumah keluarga bermarga Tjioe yang kemudian dibeli misionaris Belanda tahun 1955 dan dijadikan gereja. Cagar budaya ini dipertahankan sesuai bentuk aslinya, atap melengkung berbentuk ekor walet, sepasang singa batu, partisi warna emas dan altar berwarna merah dan emas.
Foto: M. Rijkers
Gapura Ornamen Tionghoa
Meski kawasan Glodok dikenal sebagai kawasan Pecinan, namun masyarakat yang bermukim di sini berasal dari berbagai kalangan. Salah satu bentuk toleransi terhadap warga keturunan Tionghoa adalah gapura bercorak Tionghoa dan di gang Kemenangan 7 ini.
Foto: M. Rijkers
Gapura Ornamen Tionghoa dan Altar di Ruang Publik
Di mulut gang Kemenangan 7 ini ada sebuah altar sembahyang Konghucu yang bisa digunakan warga tanpa terusik. Warga pun tak jengah melihat pemeluk Konghucu sedang sembahyang di tepi jalan. Indahnya keberagaman.
Foto: M. Rijkers
Herbal Kaki Lima
Bu Iis sudah tiga tahun menyediakan ramuan herbal kaki lima di Petak Sembilan, Glodok. Ramuan herbal tradisional ala Cina yang dijual berupa dedaunan dan akar pohon yang dikeringkan berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Satu kantung plastik daun yang diklaim berguna untuk meluruhkan lemak hanya 10 ribu rupiah. Obat herbal masih diminati oleh beberapa kalangan, termasuk keturunan Tionghoa.
Foto: M. Rijkers
Ci Cong Fan Roda Dua
Makanan khas Medan Ci Cong Fan bisa ditemui di Glodok berkat penjual bermotor ini. Ci Cong Fan teksturnya mirip kwetiau, terbuat dari tepung beras, disajikan bersama kuah kecap asin atau asam manis pedas bertabur bawang goreng renyah, biasanya dimakan bersama talas goreng.
Foto: M. Rijkers
Siomay Haram Dari Tangerang
Siomay, salah satu makanan khas China yang paling populer di Indonesia. Siomay umumnya terbuat dari ikan tenggiri namun khusus di kawasan Petak Sembilan, Glodok cukup mudah menemukan siomay babi seperti yang dijajakan di emperan toko ini.
Foto: M. Rijkers
Bakmi Belitung Kedai Lao Hoe
Peranakan Tionghoa di Pulau Belitung, Sumatera punya bakmi khas sendiri yang berbeda dengan Bakmi Bangka. Bakmi Belitung Kedai Lao Hoe di Gang Kodok, Petak Sembilan terdiri dari mi kuning, tahu, kentang, udang dan emping. Kedai Lao Hoe yang bermakna usia tua dibangun 1911 kala Gang Kodok masih merupakan pemukiman. Saat menjadi kedai, bentuk rumah tidak diubah dan teras masih luas seperti dulu.
Foto: M. Rijkers
Teripang, Menu Wajib Imlek
Satu hidangan khas saat makan malam Tahun Baru Imlek adalah teripang. Binatang laut ini dianggap membawa keberuntungan atau hoki sehingga permintaan teripang saat Imlek meningkat. Menurut penjual teripang di kawasan Petak Sembilan ini, teripang masak sekilo 600 ribu rupiah (sekitar 6 potong), yang kering 3 juta rupiah/kilo. Selain teripang, hidangan khas Imlek adalah sup burung walet dan abalon.
Foto: M. Rijkers
Kue Keranjang Imlek
Kue keranjang adalah penganan khas Imlek yang disajikan saat sembahyang seminggu menjelang Tahun Baru hingga 20 hari sesudah Imlek. Kue keranjang dibungkus daun pisang atau plastik. Bentuk bundarnya simbol pengharapan keluarga yang terus rukun selama tahun ke depan. Biasanya kue keranjang menjadi bingkisan hantaran.
Foto: M. Rijkers
Toko Khas Imlek
Toko ini, khusus menjual berbagai kebutuhan sesuai hari raya. Saat Imlek menjual berbagai kue kering, manisan, asesoris Imlek dan di saat Perayaan Festival Musim Gugur menjual kue bulan atau Tiong Chiu Pia. Kue bulan dibuat khusus pada bulan ke-8 setelah Imlek yang biasanya jatuh saat bulan purnama. Kue bulan akan dimakan bersama keluarga, dibagi delapan buah yang melambangkan keberuntungan.
Foto: M. Rijkers
Semarak Kaki Lima
Selain dekorasi rumah bernuansa Imlek, pedagang kaki lima juga menyediakan produk fesyen berciri khas Tionghoa berwarna merah untuk anak-anak, wanita dan pria. Satu blus wanita berbordir teratai, misalnya dijual seharga 65 ribu rupiah. Mengenakan pakaian baru juga menjadi tradisi Imlek. Penulis: Monique Rijkers (ap/vlz)
Foto: M. Rijkers
15 foto1 | 15
Penulis:
Sumanto Al Qurtuby adalah anggota dewan pendiri Nusantara Kita Foundation dan Presiden Nusantara Institute. Ia juga Dosen Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Dhahran, Arab Saudi. Ia pernah menjadi fellow dan senior scholar di berbagai universitas seperti National University of Singapore, Kyoto University, University of Notre Dame, dan University of Oxdord. Ia memperoleh gelar doktor (PhD) dari Boston University, Amerika Serikat, di bidang Antropologi Budaya, khususnya Antropologi Politik dan Agama. Ia telah menulis lebih dari 20 buku, ratusan artikel ilmiah, dan ribuan esai popular, baik dalam Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia yang terbit di berbagai media di dalam dan luar negeri. Bukunya yang berjudul Religious Violence and Conciliation in Indonesia diterbitkan oleh Routledge (London & New York) pada 2016. Manuskrip bukunya yang lain, berjudul Saudi Arabia and Indonesian Networks: Migration, Education and Islam, akan diterbitkan oleh I.B. Tauris (London & New York) bekerja sama dengan Muhammad Alagil Arabia-Asia Chair, Asia Research Institute, National University of Singapore.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
*Tulis komentar Anda di kolom di bawah ini.
Dunia Imajinasi Daniel Kho: Mata Satu, Kaki Tiga? Jangan Pikirkan Perbedaan
Figur-figur ini punya jumlah organ yang berbeda. Berkaki tiga, bertangan entah satu atau lima, bermata hanya satu. Inilah wayang-wayang modern karya Daniel Kho, seniman Jawa yang bermukim di Kota Köln, Jerman.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Kebersamaan dalam seni
Karya Daniel Kho kerap dipamerkan di berbagai kota di dunia. Musim panas 2018, giliran Galeri Musnadi-Weskamp gelar pameran 40 karyanya di Köln, Jerman. Daniel Kho berasal dari Jawa Tengah. Pada awal tahun 70-an, Daniel Kho belajar teknik pembuatan batik, patung dan lukisan secara otodidak. Tahun 1977 dia pindah ke Jerman dan makin mengembangkan karya seninya yang unik.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Ceria dalam warna, unik dalam figur
Karya-karya Kho berwarna cerah, yang ditampilkan dalam bentuk patung, lukisan dan kolase. Ada burung dalam mata burung, ada gurita di dalam otak. Karyanya membawa kita pada perjalanan ke dunia imajinatif di mana tema sentralnya adalah "pohon kehidupan". Tahun 2002 Kho mendirikan “Shadow Theater Kho” di Köln, Jerman. Sejak tahun 2012 ia hidup dan bekerja di Bali, Barcelona dan Köln.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Pohon memiliki fungsi penting
Mengapa temanya pohon kehidupan? Pohon membersihkan udara dari polusi, berfungsi sebagai pemasok oksigen dan air bersih, menyediakan tempat tinggal dan habitat bagi manusia dan hewan. Tanpa pohon tak akan ada kehidupan di bumi," ujarnya. "Saya hanya menggambar hal-hal yang membawa dunia terlihat lebih indah. Indah meski ajaib." Wayang yang identik tradisional, di tangannya menjadi wayang modern.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Figur apa saja yang selalu ada di lukisan?
Tentunya pohon, lalu dalam lukisan juga ada mata. Ada yang kecil, ada yang besar tergantung figurnya. Tetapi bentuk bulan selalu keluar karena kehidupan itu sendiri adalah perputaran 360 derajat. Titik awal berjumpa dengan titik akhir. Roket dan ikan terbang juga selalu ada. Bahan dasar karyanya pun bermacam-macam. Ada yang dilukis di kanvas, fiber, pasir, kulit hingga kayu.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Sumbangan untuk anak-anak
Seniman dan penyelenggara pameran menegaskan bahwa tidak hanya pohon tetapi juga anak-anak harus dilindungi. Oleh karena itu, 10 persen dari hasil keuntungan pameran disumbangkan untuk organisasi "Kami Membantu" atau "Wir Helfen" Köln Stadt-Anzeiger. Organisasi ini membantu anak-anak miskin di Köln dan sekitarnya dengan proyek-proyek mereka. (ap/na)