Jerman Rampungkan RUU Imigrasi Untuk Buka Pasar Kerja
21 November 2018
Jerman kekurangan tenaga kerja terampil, terutama di sektor IT dan pelayanan kesehatan. Pemerintah Jerman berencana mengijinkan tenaga kerja asing datang dan mencari kerja di Jerman.
Iklan
Jerman kekurangan perawat, pekerja kesehatan, pekerja konstruksi, ahli mebel, listrik dan dan spesialis IT. Kalangan bisnis Jerman sejak lama mendesak pemerintah agar membuka lapangan kerja untuk tenaga kerja asing, yang selama ini sangat teregulasi. Pemerintah Jerman kini merampungkan RUU Imigrasi yang fokus pada perekrutan tenaga kerja asing yang sangat dibutuhkan.
Asosiasi Kamar Dagang dan Industri Jerman DIHK mengatakan, 60 persen perusahaan mengeluh mereka kekurangan karyawan. Stefan Herdege dari DIHK menyatakan, kekurangan ini bahkan akan mengancam pertumbuhan ekonomi.
Harian Süddeutsche Zeitung hari Selasa (20/11) menerbitkan beberapa bocoran dari RUU Imigrasi yang baru, yang sedianya akan dibahas dan disetujui parlemen tahun ini juga.
Menghapus hambatan utama
RUU Imigrasi yang baru akan menghapus salah satu hambatan utama bagi tenaga kerja asing. Menurut aturan yang berlaku saat ini, tenaga kerja asing dari luar Uni Eropa hanya dapat direkrut untuk satu jenis pekerjaan, jika tidak ada warga negara Jerman atau warga Uni Eropa yang mampu melakukannya. Artinya, pekerja Jerman atau Uni Eropa harus diutamakan oleh perusahaan dalam perekrutan. Aturan ini tidak ada lagi dalam RUU Imigrasi yang baru.
RUU Imigrasi yang baru juga menghapus batasan sektor-sektor yang boleh dimasuki tenaga kerja asing. Hingga saat ini, tenaga kerja asing hanya bisa melamar ke bidang kerja yang memang sedang kekurangan pekerja. Dengan aturan yang baru, batasan itu tidak ada lagi. Artinya, siapa pun yang memiliki kualifikasi yang diakui, dan mendapat kontrak kerja, bisa datang dan bekerja di Jerman.
RUU Imigrasi yang baru akan memberi kemungkinan bagi tenaga kerja terampil untuk datang ke Jerman selama 6 bulan dan mencari pekerjaan, atau mencoba bekerja mandiri. Syaratnya, mereka harus mampu menghidupi diri sendiri dan dapat berbicara bahasa Jerman.
Hambatan birokrasi dan visa
Selama ini, hambatan terbesar bagi mereka yang ingin bekerja di Jerman adalah mendapatkan visa kerja. Kalangan pengamat mengatakan, selama ini orang dari india atau AS yang ingin bekerja di sektor IT di Jerman harus menunggu berbulan-bulan sampai bisa mendapat visa di Kedutaan Jerman di negaranya.
Bettina Offer, seorang pengacara yang sering membantu perusahaan-perusahaan besar merekrut karyawan di luar negeri, mengatakan bahwa birokrasi sering bekerja sangat lambat atau malah menghambat,
"Bahkan jika ada undang-undang baru, jika kita tidak mendapatkan birokrasi baru, kita tidak akan bisa memroses lebih banyak orang lagi," katanya.
Para ahli tenaga kerja juga mengatakan, di kalangan pejabat Jerman sendiri masih ada antipati mendasar terhadap pekerja migran..
"Klien kami adalah perusahaan besar, bukan perusahaan kecil yang ingin menyelundupkan orang," keluhnya. Selain itu, sering ada perbedaan dalam penafsiran undang-undang yang rumit - dan kadang-kadang pejabat tidak mengetahui perubahan hukum terbaru, kata Bettina Offer.
Thomas Gross, profesor hukum imigrasi di Universitas Osnabrück juga mengeritik sikap politik itu. "Undang-undang untuk warga negara asing selama puluhan tahun didasarkan pada premis bahwa imigrasi pada dasarnya tidak diinginkan di Jerman," tandasnya. Namun dia mengakui, bahwa sekarang beberapa hal "bergerak ke arah yang benar."
Kehidupan dan Sejarah Imigran di Jerman
Jerman adalah negara yang jadi tujuan imigran kedua terbesar setelah AS. Selama 60 tahun Jerman sudah menerima imigran. Sekarang sebuah pameran menengok kembali sejarah ini.
Foto: DW/J. Hennig
Nomor Dua di Dunia
Tahun 2013, sekitar 1,2 juta orang berimigrasi ke Jerman. Jerman, baik Barat dan Timur, sudah mengiklankan diri sebagai negara tujuan pekerja tamu sejak 1950-an. Sekarang, imigran terutama berasal dari negara-negara yang baru jadi anggota Uni Eropa. Mereka memperkaya kebudayaan dan keanekaragaman kuliner di Jerman.
Foto: DW/J. Hennig
Para "Gastarbeiter" (Pekerja Tamu)
Di tahun 1950-an Jerman Barat mengalami kemajuan ekonomi. Untuk mengatasi situasi kurangnya pekerja, pemerintah mempromosikan kemungkinan kerja bagi pekerja tamu dari luar negeri. Mulai 1950-an, sebagian besar orang yang datang ke Jerman sebagai pekerja, hidup dalam kemiskinan di negara asalnya.
Foto: DW/J. Hennig
Kantor Penghubung
Antara 1955 dan 1968 Jerman Barat menandatangani kesepakatan dengan Italia, Spanyol, Yunani, Turki, Maroko, Korea Selatan, Portugal, Tunisia dan Yugoslavia. Di negara-negara itu didirikan kantor khusus untuk orang-orang yang ingin melamar pekerjaan.
Foto: DW/J. Hennig
Pemeriksaan Kesehatan
Sebelum pekerja diijinkan datang ke Jerman, kesehatan mereka diperiksa lebih dulu. Hanya mereka yang sehat dan mampu bekerja mendapatkan pekerjaan di Jerman Barat.
Foto: DW/J. Hennig
Yang Kesatu Juta
Armando Rodrigues de Sá dari Portugal (38), menjadi pekerja ke 1 juta, disambut kedatangannya di stasiun kereta api Köln-Deutz pada September 1964. Pengrajin kayu itu mendapat hadiah sepeda Motor, yang kini masih tersimpan di Museum Haus der Gesichte Bonn.
Foto: DW/J. Hennig
Seberangi Eropa dengan "Türkenkutsche"
Dengan Ford Transit ini, Sabri Güler mengadakan perjalanan dari utara ke selatan Eropa. Pedagang bahan pangan dari Turki itu menjadikan mobil ini sebagai toko keliling. Ford model ini sangat disukai imigran Turki, karena bisa memuat banyak barang. Karena itu, di Jerman Ford Transit sering disebut "Türkenkutsche" (Kereta Turki).
Foto: DW/J. Hennig
Pekerja Kontrak di Jerman Timur
Pertengahan 1960-an pekerja tamu juga dibutuhkan di Jerman Timur yang komunis. Mereka disebut pekerja kontrak, dan terutama bekerja di industri tekstil. Sebagian besar dari mereka berasal dari negara sosialis seperti Vietnam, Kuba dan Aljazair. Pekerja imigran di Jerman Timur lebih sedikit daripada di Barat. Tahun 1989 jumlahnya hanya 190.000, sedangkan di Jerman Barat sudah lima juta orang.
Foto: DW/J. Hennig
Makanan Khas dari Berbagai Negara
Banyak pekerja tamu akhirnya tinggal di Jerman dan mendatangkan keluarga mereka. Mereka membawa serta banyak kebiasaan dan tradisi dari tanah air mereka ke Jerman. Sehingga keanekaragaman budaya menyebar. Ini tampak paling jelas jika melihat menu di restoran. Döner (Turki) sekarang jadi salah satu makanan cepat saji yang paling disukai di Jerman.
Foto: DW/S. Soliman
Kepala Berita Yang Negatif
Tahun 1980-an dan 1990-an muncul perdebatan di Jerman, karena timbulnya kekhawatiran terbentuknya "geto" kaum migran di kota-kota. Di samping itu, kriminalisasi remaja yang berlatar belakang imigran meningkat, dan diberitakan banyak media. Awal tahun 1990-an di Jerman Barat dan Timur terjadi sejumlah kekerasan rasisme.
Foto: DW/J. Hennig
Tradisi vs. Kebudayaan Barat
Di keluarga-keluarga imigran juga terjadi konflik kebudayaan. Sutradara Jerman-Turki Fatih Akin mengangkat pertentangan pendidikan Muslim-Turki dan kehidupan gaya Barat dalam filmnya "Gegen die Wand". Di festival film Berlinale 2004, film itu jadi produksi Jerman yang kembali mendapat penghargaan Beruang Emas, setelah 17 tahun sebelumnya penghargaan selalu diraih negara lain.
Foto: DW/J. Hennig
Pangeran Balam I
Organisasi karnaval dari kota Aachen, "Koe Jonge" mendeklarasikan Balam Bayarubanga asal Uganda jadi "pangeran". Balam I adalah pangeran karnaval pertama di Jerman yang berkulit hitam. Dengan langkah itu, organisasi pencinta karnaval ini memberikan sinyal menentang rasisme dan mendukung integrasi. Kostum pangerannya diserahkan Balam I untuk dipamerkan di museum Haus der Geschichte di Bonn.