Survei tahunan rutin sejak tahun 1992 kembali menanyakan masyarakat Jerman tentang apa yang paling mereka takuti. Secara mengejutkan, COVID-19 tidak menempati posisi teratas; meski pandemi sudah 2 tahun berselang.
Iklan
Selama bertahun-tahun, masyarakat Jerman merasa tenang karena tinggal di negara yang terbilang aman dari sisi finansial, lantaran tidak pernah menambah jumlah utang negaranya — setidaknya sampai pandemi COVID-19 menerpa dunia bak gelombang tsunami.
Sejak saat itu, Jerman terpaksa harus menambah utang negara lagi, dan dalam jumlah besar. Tidak tanggung-tanggung, pada pertengahan April lalu, parlemen federal Bundestag menyetujui pinjaman dana senilai 240 miliar euro (4 kuadriliun rupiah) untuk dialokasikan sebagai dana pemulihan pandemi — sebuah rekor dalam sejarah pinjaman utang Jerman.
Kini, total utang Jerman pun melonjak hingga 2,2 triliun euro (37 kuadriliun rupiah), yang juga merupakan angka utang tertinggi sepanjang sejarah negara itu.
Mimpi buruk kenaikan pajak
Meningkatnya angka pinjaman utang yang tidak biasa ini lantasditakuti sebagian besar masyarakat Jerman — itulah hasil survei tahunan yang dikeluarkan salah satu perusahaan asuransi terbesar di Jerman, R+V. Survei yang rutin dilaksanakan sejak tahun 1992 ini dilakukan dengan menanyakan masyarakat Jerman tentang kecemasan terbesar mereka dalam berbagai aspek; seperti politik, ekonomi, lingkungan, keluarga, dan kesehatan, yang merupakan bagian dari proses penilaian risiko.
Peneliti R+V tahun ini melakukan survei terhadap sekitar 2.400 laki-laki dan perempuan di atas usia 14 tahun, pada kurun waktu antara 25 Mei hingga 4 Juli.
"Utang yang menggunung untuk mengatasi pandemi COVID-19 pada tingkat federal, provinsi, dan lokal menjadi kekhawatiran utama masyarakat Jerman tahun ini,” sebut Brigitte Römstedt, kepala pusat informasi R+V yang bertanggung jawab atas hasil survei ini.
Menurutnya, sekitar 53% masyarakat Jerman khawatir, pemerintah akan menaikkan pajak secara permanen atau memotong layanan dan manfaat bagi publik karena beban utang tersebut. Kekhawatiran akan pajak pun menempati posisi pertama dalam survei kali ini.
Tidak mengkhawatirkan COVID-19
Secara kontras, ketakutan akan virus COVID-19 — termasuk soal tertular penyakit itu sendiri — hanya menempati posisi ke-14 dalam skala kecemasan, dengan proporsi sebesar 35 persen. Meski begitu, hal ini dinilai Römstedt bukan lah hal yang mengejutkan. "Tahun lalu juga hanya sepertiga masyarakat Jerman yang takut terkena virus korona, dan itu terjadi ketika belum ada vaksin apa pun.”
"Masyarakat ingin membuang jauh-jauh pikiran penyakit tersebut, kita semua tahu itu. Tetapi, ketika menyoal tentang uang, dari sepengalaman saya, ketakutan itu selalu sangat besar,” jelas Römstedt kepada DW.
Topik yang dibungkam dalam kampanye pemilu
Pakar politik Jerman, Manfred G. Schmidt, memperkirakan bahwa rancangan undang-undang mengenai utang pandemi COVID-19 hanya akan diajukan setelah pemilu federal Bundestag, pada 26 September mendatang.
"Semua partai berhasil membungkam isu tersebut,” ujar Schmidt kepada DW. Profesor di Universitas Heidelberg itu telah bertahun-tahun menjadi penasihat perusahaan asuransi R+V dan membantu proses evaluasi studi kecemasan tersebut.
Uang masih dominasi ketakutan orang Jerman
Peringkat kedua dan ketiga dalam studi tersebut juga masih seputar uang. Setiap detiknya, masyarakat Jerman khawatir bahwa biaya hidup akan meningkat (sekitar 51%, sama seperti tahun lalu) dan para pembayar pajak akan diminta untuk membayar krisis utang Uni Eropa (sekitar 49% di tahun lalu).
Meski begitu, kekhawatiran akan ekonomi yang merosot telah berkurang. Pada tingkat 40%, ketakutan ini menempati posisi ke-10 dalam daftar tersebut. Tahun lalu, ketika bisnis terhenti akibat pendemi, ketakutan ini berada di posisi keempat, dengan persentase sebesar 48%.
Pandemi COVID-19 membuka banyak kekurangan yang dimiliki Jerman secara terang-terangan. Salah satu contohnya ialah kurangnya digitalisasi, yang dikhawatirkan sekitar 38% responden. "Saya sangat terkejut akan hal itu,” ujar Römstedt.
Iklan
Meningkatnya ketakutan terhadap isu lingkungan akibat banjir
Ketika dampak dari pandemi COVID-19 mulai terlihat nyata, aturan serupa juga berlaku untuk isu perubahan iklim: lebih samar ancamannya, lebih sedikit ketakutan itu.
Tahun lalu, sekitar 40% masyarakat Jerman mengkhawatirkan dampak perubahan iklim. Namun, sejak banjir bandang yang menerjang wilayah North Rhine-Westphalia dan Rhineland-Palatinate, masyarakat Jerman kini akhirnya melihat ancaman yang jauh lebih nyata. "Hingga akhir Juli, kami melakukan survei tambahan secara daring terhadap 1.000 penduduk tentang kecemasannya terkait lingkungan hidup,” sebut Römstedt.
Inilah Penampakan Banjir Mematikan yang Melanda Jerman
Sedikitnya 103 orang tewas dan puluhan lainnya hilang dalam bencana banjir besar yang melanda sebagian besar wilayah barat Jerman.
Foto: Christoph Reichwein/TNN/dpa/picture alliance
Sekitar 1.300 orang tidak diketahui keberadaannya
Petugas penyelamat di kota Bad Neuenahr memperkirakan sekitar 1.300 orang masih belum ditemukan dalam bencana banjir yang melanda Jerman di bagian barat. Putusnya jaringan komunikasi jadi salah satu kendala. Lebih dari 1.000 petugas layanan darurat telah dikerahkan di wilayah ini, termasuk pemadam kebakaran, polisi, dan angkatan bersenjata.
Foto: Thomas Frey/dpa/picture alliance
Banyak bangunan rumah rusak, penghuni terjebak
Sedikitnya 18 orang tewas di wilayah Bad Neuenahr-Ahrweiler, dan sekitar 50 orang terjebak di atap rumah mereka menunggu dievakuasi. Sedikitnya enam rumah di desa Schuld rusak parah. "Banyak orang dilaporkan hilang," kata pihak berwenang. Schuld terletak di Eifel, wilayah pegunungan di barat daya Köln.
Foto: Christoph Reichwein/TNN/dpa/picture alliance
Akses jalan terputus
Lalu lintas kendaraan di beberapa bagian barat Jerman terganggu karena akses jalan terputus akibat banjir. Sementara itu, koneksi kereta dihentikan di sebagian besar wilayah Nordrhein-Westfalen (NRW), negara bagian terpadat di Jerman. Perdana Menteri NRW Armin Laschet, yang mencalonkan diri menggantikan Angela Merkel sebagai kanselir dalam pemilu Jerman, mengunjungi wilayah yang dilanda banjir.
Foto: Thomas Frey/dpa/picture alliance
Air di bendungan terancam meluap
Bendungan di seluruh wilayah telah mencapai kapasitasnya dan terancam meluap di tengah curah hujan yang sangat besar. Polisi mengatakan empat orang tewas dalam insiden terpisah setelah ruang bawah tanah mereka terendam banjir di Köln, Kamen, dan Wuppertal.
Foto: Fabian Strauch/dpa/picture alliance
Petugas penyelamat melawan bahaya
Seorang petugas pemadam kebakaran tenggelam pada Rabu (14/07) saat berupaya melakukan evakuasi di kota Altena, Jerman bagian barat. Seorang petugas lainnya juga dilaporkan tewas dalam operas SAR di pembangkit listrik di Werdohl-Elverlingsen.
Foto: Harald Tittel/dpa/picture alliance
Putusnya jaringan komunikasi menghambat operasi penyelamatan
Operasi penyelamatan terhambat oleh putusnya jaringan telepon dan internet di sebagian wilayah Euskirchen, salah satu wilayah yang paling parah dilanda banjir. Di barat daya kota Köln, pihak berwenang di wilayah Euskirchen melaporkan sedikitnya delapan orang tewas.
Foto: Gianni Gattus/TNN/dpa/picture alliance
Pasukan militer dikerahkan
Tentara Jerman tiba di lokasi di negara bagian Rheinland-Pfalz dan Nordrhein-Westfalen pada Kamis (15/07) sebagai bagian dari operasi penyelamatan. Perdana Menteri negara bagian Rheinland-Pfalz Malu Dreyer telah memerintahkan semua gedung pemerintahan untuk mengibarkan bendera setengah tiang guna mengenang para korban banjir. (rap/ae)
Foto: Abdulhamid Hosbas/AA/picture alliance
7 foto1 | 7
Kini, bencana alam dan cuaca ekstrim menjadi kecemasan sekitar 69% masyarakat Jerman. Sekitar 61% responden khawatir bahwa perubahan iklim akan membawa konsekuensi yang dramatis bagi umat manusia. Tingkat ketakutan itu dinilai 20 persen lebih tinggi dibandingkan tingkat "normal.”
"Survei lain juga menunjukkan, isu tentang pengungsi dan para pencari suaka menjadi isu penting ketiga, setelah COVID-19 dan perubahan iklim,” sebut Schmidt.
Foto Ikonik Krisis Pengungsi Di Eropa
Jutaan pengungsi hijrah ke Eropa antara tahun 2015 dan 2016. Pemberitaan migrasi gelap dan penderitaan para pengungsi beberapa tahun terakhir turut mempengaruhi opini publik di Eropa.
Foto: picture alliance/AP Photo/E. Morenatti
Upaya mempertahankan hidup
Pengungsian dan penderitaan: Ratusan ribu orang, kebanyakan berasal dari Suriah, masuk ke Yunani dari Turki tahun 2015 dan 2016. Sekitar 10.000 orang terdampar di pulau Lesbos, Chios dan Samos. Tahun 2017, tercatat sudah lebih dari 6.000 pengungsi yang datang dari Januari sampai Mei.
Foto: Getty Images/AFP/A. Messinis
Berjalan kaki menembus Eropa
Tahun 2015 dan 2016, lebih satu juta orang mencoba mencapai Eropa Barat dari Yunani atau Turki melalui rute Balkan - lewat Makedonia, Serbia dan Hungaria. Aliran pengungsi hanya terhenti ketika rute ini ditutup secara resmi. Saat ini, sebagian besar pengungsi memilih rute Mediterania yang berbahaya dari Libya ke Eropa.
Foto: Getty Images/J. Mitchell
Kemarahan global
Gambar ini mengguncang dunia. Mayat bocah Aylan Kurdi berusia tiga tahun dari Suriah hanyut di pantai di Turki, September 2015. Foto ini tersebar luas dengan cepat lewat jejaring sosial dan menjadi simbol krisis pengungsi.
Foto: picture-alliance/AP Photo/DHA
Kekacauan dan keputusasaan
Kerusuhan di menit-menit terakhir: Ribuan pengungsi mencoba masuk ke dalam bus yang sudah penuh sesak dan kereta api di Kroasia setelah mengetahui rute melalui Eropa akan segera ditutup. Pada Oktober 2015, Hongaria menutup perbatasannya dan membuat kamp penampungan tempat pengungsi tinggal selama proses pendaftaran suaka.
Foto: Getty Images/J. J. Mitchell
Perbatasan ditutup
Penutupan resmi rute Balkan bulan Maret 2016 menyebabkan kondisi kacau-balau di seberang perbatasan. Ribuan pengungsi yang terdampar mulai marah dan putus asa. Banyak yang mencoba menyeberangi perbatasan dengan segala cara, seperti para pengungsi ini di perbatasan Yunani-Makedonia tak lama setelah perbatasan ditutup.
Seorang anak berbalut debu dan darah: Foto Omran yang berusia lima tahun mengejutkan publik saat dirilis tahun 2016. Ini menjadi gambaran kengerian perang saudara dan penderitaan rakyat di Suriah. Setahun kemudian, gambar-gambar baru Omran beredar di internet dalam kondisi yang sudah lebih baik.
Foto: picture-alliance/dpa/Aleppo Media Center
Belum tahu tinggal di mana
Seorang pria Suriah membawa putrinya di tengah hujan di perbatasan Yunani-Makedonia di Idomeni. Dia berharap bisa hidup aman dengan keluarganya di Eropa. Menurut peraturan Dublin, permohonan suaka hanya bisa diajukan di negara pertama tempat pengungsi menginjak Eropa. Yunani dan Italia menanggung beban terbesar.
Foto: Reuters/Y. Behrakis
Mengharapkan pertolongan
Jerman tetap menjadi tujuan utama para pengungsi, meski kebijakan pengungsi dan suaka di Jerman sejak munculnya arus pengungsi diperketat. Tetapi Kanselir Jerman Angela Merkel menyatakan Jerman tetap terbuka bagi pengungsi. Sejak 2015, Jerman telah menerima sekitar 1,2 juta pengungsi. Kanselir Merkel jadi ikon harapan bagi banyak pengungsi baru.
Foto: picture-alliance/dpa/S. Hoppe
Situasi darurat di penampungan
Di utara Prancis, pihak berwenang membersihkan "hutan" yang terkenal di Calais. Kamp itu terbakar saat dilakukan evakuasi bulan Oktober 2016. Sekitar 6.500 penghuninya disalurkan ke tempat-tempat penampungan lain di Perancis. Setengah tahun kemudian, organisasi bantuan melaporkan banyak pengungsi anak-anak yang menjadi tunawisma di sekitar Calais.
Foto: picture-alliance/dpa/E. Laurent
Tenggelam di Laut Tengah
Kapal penyelamat organisasi bantuan dan pemerintah setempat terus melakukan pencarian kapal migran yang terancam tenggelam. Meski pelayaran sangat berbahaya, banyak pengungsi tetap berusaha melarikan diri dari konflik dan kemiskinan. Mereka berharap menemukan masa depan yang lebih baik di Eropa. Pada tahun 2017 ini saja, sudah 1.800 orang meninggal di perjalanan. (Teks: Charlotte Hauswedell/hp,rn)
Foto: picture alliance/AP Photo/E. Morenatti
10 foto1 | 10
Masyarakat Jerman tak ambil pusing
Hasil survei tahun 2021 ini merupakan kali ketiga puluh bagi RV dalam mengukur tingkat kekhawatiran masyarakat Jerman. Tidak ada tren atau ketakutan spesifik yang terus bertahan di setiap survei.
Bahkan, sebuah prasangka justru terbantahkan: "Selama beberapa tahun saya melakukan studi ini, satu hal yang jelas bagi saya ialah ‘kecemasan Jerman' yang kerap disebut selama ini pada dasarnya adalah salah. Orang Jerman bukan orang yang penakut,” terang Römstedt.