Kumpulan cerita "Bukan Perawan Maria" oleh Feby Indirani
22 Juli 2017
Kumpulan cerita "Bukan Perawan Maria" adalah karya terbaru Feby Indirani, berisi 19 cerita yang ditulis dengan bahasa ceria, kadang kocak, namun mengisahkan hal-hal yang di Indonesia sekarang jadi sensitif.
Iklan
Kumpulan cerita yang diterbitkan oleh penerbit Pabrikultur ini memang punya program dan misi tersendiri, yaitu menjadi bagian dari "gerakan" relaksasi beragama dengan motto "relax, it's just religion". Untuk ukuran situasi dan kondisi Indonesia saat ini, motto itu terasa sangat berani dan revolusioner. Karena baru saja seorang pejabat Gubernur yang sangat populer dijebloskan ke penjara, hanya karena menyebut sebuah ayat dalam sebuah kitab suci. Penyebutan ayat, bisa menggiring Anda ke penjara. Mungkin bukan karena kesewenangan aparat keamanan atau otoritas pemerintahan, melainkan berdasarkan putusan hakim di pengadilan.
Maka benarlah anggapan bahwa Indonesia saat ini sedang berada dalam kondisi "keracunan" agama. Karena kegandrungan menyandang ikon-ikon keagamaan serta melakukan kegiatan ibadah, yang kemudian disebar luas lewat media mainstream dan media sosial, ternyata tidak membawa perubahan tingkah laku para pelakunya. Jadinya ramailah udara pemikiran bumi Nusantara dengan perang ayat, perang interpretasi, perang demonstrasi kemampuan berbahasa Arab. Ayat kitab suci pun bisa menjadi alat pembenaran untuk aksi pencurian uang rakyat lewat korupsi, atau malah jadi kata-kata sandi dalam transaksi korupsi.
Dalam kondisi itu, Feby meluncurkan "Bukan Perawan Maria" yang diharapkan penerbitnya dapat membantu dunia dan media melakukan "detoksifikasi", pembersihan racun, hal yang sering dilakukan kalau seseorang keracunan, atau ingin menurunkan berat badan, atau meningkatkan kebugaran dan daya tahan tubuh.
"Sembilan belas cerita dalam buku ini adalah tawaran untuk lebih santai, semacam relaksasi", tulis Pabrikultur. Cerita tentang Iblis yang ingin pensiun dini, malaikat yang lelah dengan kebebalan manusia dan minta jatah cuti, seekor babi yang ingin masuk Islam. Feby menyuguhkan suatu dunia yang penuh absurditas namun terasa sangat wajar, ketika dunia nyata di sekitar kita justru dipenuhi oleh absurditas-absurditas yang lebih tidak masuk akal.
Greget Indonesia di Pameran Buku Frankfurt
Sebagai tamu kehormatan, Indonesia menyihir publik Jerman di pameran buku terbesar sejagad, Frankfurt Book Fair 2015. Selain karya sastra, tuan rumah juga disuguhi musik, desain dan kuliner dari tanah air.
Foto: DW/R. Nugraha
Rasa, Bahasa dan Telinga
Untuk pertamakalinya publik Jerman bisa mencicipi Indonesia secara intim, yakni lewat Frankfurt Book Fair. Untuk itu komite nasional menyiapkan lebih dari 300 acara dan sebuah paviliun yang menyapa panca indera pengunjung yang ada.
Foto: DW/R. Nugraha
Suasana Mistis di Pavilun
Paviliun Indonesia yang diracik Muhammad Thamrin mengusung desain beraroma mistis, dengan lampu temaram kebiruan yang membuat setiap pengunjung seakan figur yang terbuat dari bayangan dan siluet, layaknya wayang Jawa.
Foto: DW/R. Nugraha
Membau Indonesia
Thamrin berupaya menghadirkan pengalaman unik buat pengunjung Jerman. Selain memanjakan mata dan telinga, publik juga disajikan aroma bumbu dan rempah khas Indonesia. Untuk itu panitia membawa ekstra 400 kilogramm bumbu dari tanah air.
Foto: DW/R. Nugraha
Pulau Budaya di Lautan Kata-kata
Ketika mendapat tanggungjawab mendesain paviliun, Muhammad Thamrin diberi tugas menghadirkan laut dan kepulauan Indonesia dalam desainnya. Setelah berpikir lama, ia akhirnya mendesain lautan lampion bertuliskan puisi dan kutipan prosa dengan tujuh pulau yang dibedakan sesuai jenisnya, seperti Island of Tales yang menyajikan dongeng anak, atau island of images yang dihias dengan gambar-gambar komik
Foto: DW/R. Nugraha
Dendang Tsunami
Salah satu yang paling mengejutkan publik Jerman adalah penampilan grup musik Aceh, Rafly Kande. Hentakan rebana, gitar akustik dan alunan serunai Kalee yang dipadu dengan suara Rafly yang dinamis dan emosional menjadi pengalaman spesial buat pengunjung. Kekaguman penonton meledak ketika Rafly menjelaskan isi lagu yang berkisah tentang hutan gunung leuser, Tsunami dan semangat hidup.
Foto: DW/R. Nugraha
Merdu Puisi Sapardi
Penampilan lain yang tidak kalah menarik adalah musikalisasi puisi Sapardi Djoko Damono oleh Reda Gaudiamo dan Ari Malibu. Merdu suara kedua musisi merangkai bait-bait sederhana puisi Sapardi dalam lagu yang ringan dan menyentuh. Ini pun bisa dikatakan pengalaman baru buat publik Jerman yang hadir.
Foto: DW/R. Nugraha
Indonesia Lewat Imajinasi Jompet
Seniman Indonesia Jompet Kuswidananto turut menghadirkan karyanya dengan judul "Power Unit" yang dipajang di galeri seni Kunstverein, Frankfurt. Instalasinya itu mengingatkan akan aksi demonstrasi yang ramai dan meriah jelang pemilihan umum.
Foto: DW/R. Nugraha
Eko Menggugat
Seniman lain yang turut hadir adalah Eko Nugroho. Karyanya terkesan banal dengan gaya yang mirip sebuah oret-oretan grafiti. Tapi warna-warni dan pesan pada setiap karya seniman asal Yogyakarta ini membuktikan sebaliknya.
Foto: DW/R. Nugraha
"Bukan Politik, Tapi Takdir"
Salah satu gambar Eko berjudul "Bukan Politik, tapi Takdir," yang menyoal pengungsi. Pesan yang disampaikan Eko bahwa "setiap orang bermigrasi" sangat mengena dengan problematika kekinian yang dihadapi publik Jerman.
Foto: DW/R. Nugraha
9 foto1 | 9
Tapi "Bukan Perawan Maria" bukan hanya satu judul buku, melainkan juga sebuah pameran sekaligus festival mini. 19 karya dari tujuh seniman menanggapi 19 cerita dalam buku ditampilkan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta dari 15 sampai 25 Juli 2017. Pembukaan pameran berlangsung haru Sabtu, 15 Juli, didahului dengan sesi diskusi yang menghadirkan antara lain pekerja seni Inayah Wahid dan sutradara Salman Aristo. Ada juga acara Pelatihan Relaksasi Beragama bersama psikolog Ferlita Sari.
Hari Sabtu, 22 Juli 2017 acara dilanjutkan dengan diskusi buku-buku Islam bersama Akhmad Sahal dan Maulida Sri Handayani (editor Tirto.id) dan pembacaan cerpen dan puisi oleh Vonny Anggraini dan Feby Indirani. Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dijadwalkan memberi kata sambutan.
Feby Indirani pernah bekerja sebagai jurnalis di sejumlah media seperti Tempo dan Kompas TV. Dia sudah menerbitkan sejumlah buku fiksi dan nonfiksi, antara lain : Simfoni Bulan (MediaKita, 2006), Ahmadiyah: Keyakinan yang Digugat (bersama tim Pusat Data Analisa Tempo, 2005), Alien Itu Memilihku (Gramedia Pustaka Utama, 2014); I Can (Not) Hear (Gagas Media, 2008). Buku yang disebut terakhir memenangi Anugerah Pembaca Indonesia 2010 dari Goodreads Indonesia, untuk kategori nonfiksi.
Lalu mengapa jumlah ceritanya 19? Bukan kebetulan, kata Feby. Memang dimaksudkan 19 cerita, karena angka itu dianggap punya nilai simbolis dalam agama Islam.
Buku "Bukan Perawan Maria" dan gerakan Relaksasi Beragama (Relax, It's Just Religion) ingin mengajak orang berpikiran terbuka, mampu menertawakan diri sendiri dan bisa menerima orang lain yang memiliki tafsir agama yang berbeda. Kumpulan cerita ini didistribusikan sendiri oleh penulis dan penerbitnya dan saat ini tidak dijual di jaringan toko buku besar di Indonesia.
#PustakaBergerak Tebar Buku Hingga ke Pelosok Terpencil
Di tengah maraknya pemberangusan buku, Pustaka Bergerak tak kenal lelah bangkitkan minat baca dengan perahu, motor, becak bendi,dll. hingga ke pedalaman. Di Mandar, Nusa Pustaka dibangun sekaligus jadi museum maritim.
Foto: Maman Suherman
Perpustakaan di Mandar
Nusa Pustaka adalah perpustakaan milik Muhammad Ridwan Alimuddin di Desa Pambusuang Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polewali Mandar (Polman), Sulawesi barat yang diresmikan Maret 2016.
Foto: Maman Suherman
Armada pustaka
Mengandalkan Armada Pustaka untuk membuka ruang baca ke masyarakat Sulawesi Barat, Muhammad Ridwan Alimuddin mendirikan ativitas literasi lewat Nusa Pustaka di Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat.
Foto: Maman Suherman
Ridwan, pejuang literasi
Muhammad Ridwan Alimuddin dulunya merupakan mantan wartawan. Ia punya kepedulian luar biasa terhadap buku dan usaha membangkitkan minat baca hingga ke pelosok.
Foto: M. Ridwan
Dengan perahu
Dengan perahu atau sampan, Ridwan berkelana membawa buku ke pulau-pulau kecil, agar bisa sampai kepada anak-anak di pelosok terpencil yang haus buku bacaan .
Foto: M. Ridwan
Museum maritim
Perpustakaan ini sekaligus merupakan museum maritim Mandar. Saat ini Perpustakaan Museum Nusa Pustaka mengoleksi lebih dari 6000 buku dan beberapa artefak kebaharian. Misalnya tiga unit sandeq, replika perahu, beberapa alat bantu kerja nelayan dan artefak bangkai perahu Mandar.
Foto: Maman Suherman
#TebarVirusLiterasi
Tujuan utama dibangunnya Nusa Pustaka adalah agar buku-buku dapat dimanfaatkan secara maksimal, mudah diakses masyarakat yang ingin membaca dan meminjam buku setiap saat.
Foto: Maman Suherman
Bisa membaca dimana saja
Nusa Pustaka itu menampung sedikitnya 6.000 buku bacaan, baik buku sastra, komik, budaya, maritim, maupun buku ilmu pengetahuan umum. Anak-anak bisa membaca di mana saja dengan santai, bahkan di luar perpustakaan.
Foto: Maman Suherman
Dukungan sahabat
Motivator dan penulis Maman Suherman setia menemani perjuangan Ridwan. Ketika Maman ikut berlayar bersama perahu pustaka, perahu terbalik di lautan pada 13 Maret 2016, tepat pada hari peresmian Nusa Pustaka. Hampir semua warga di pantai bergegas berupaya menyelamatkan mereka dan buku-buku yang karam ke laut.
Foto: DW/M. Ridwan
Minat besar
Masyarakat setempat khususnya anak-anak amat antusias menyambut Nusa Pustaka. Bahkan ketika masih persiapan pembangunannya pun beberapa pelajar setiap hari sudah mampir ke Nusa Pustaka untuk bisa membaca buku.
Foto: Maman Suherman
Dukungan dari manca negara
David Van Reybrouck, sejarawan dari Belgia memberikan dukungan bagi inisiatif ini. Penulis karya sastra non-fiksi, novel, puisi dan drama ini berkunjung ke Nusa Pustaka dan berdiskusi dengan masyarakat setempat.
Foto: Maman Suherman
Andalkan berbagai armada demi ilmu pengetahuan
Armada Pustaka selain memiliki Perahu Pustaka, juga menyebar buku lewat Motor Pustaka, Sepeda Pustaka, Bendi Pustaka dan Becak Pustaka, yang menjadi tonggak gerakan literasi bersama.
Foto: Maman Suherman
Bendi pustaka
Delman atau bendi lazimnya juga disulap oleh para pegiat literasi ini menjadi perpustakaan keliling di Polewali Mandar, Sulawesi Barat.
Foto: Maman Suherman
Sang sais Bendi Pustaka
Rahmat Muchtar, keua dari kiri, adalah sais Bendi Pustaka. Ia berfoto bersama Maman dan Ridwan.