Ketika kita geram Belanda tak mau mengakui apa yang diperbuatnya ke Indonesia sebagai agresi pada masa peralihan kemerdekaan dulu, kita tak menyadari kita tengah berlaku sama. Selami perspektif Geger Riyanto.
Iklan
Anda tahu Banda Neira? Mungkin Anda pernah mendengar salah satu dari banyak reputasinya. Sebuah pulau di Maluku yang pernah menjadi pengasingan Hatta dan Sjahrir. Pusat perdagangan pala di dunia pada satu waktu. Saksi dihabisinya para penduduk setempat hanya agar VOC dapat menguasai komoditas ini.
Namun, di luar reputasi hafalan para pelancong tersebut, ada satu hal menggelitik yang didapati Jennifer Lindsay kala mengunjunginya pada 1990-an. Di alun-alunnya, sebagaimana di sudut-sudut lain Indonesia, terdapat monumen kemerdekaan. Di sana, tentu saja, tercantum tanggal kemerdekaan Indonesia.
Tanggalnya? Bukan 17 Agustus 1945 melainkan 27 Desember 1949. Tanggal yang diakui Belanda sebagai penyerahan kedaulatan pihaknya kepada Indonesia.
Bagi para politisi dan tiap insan yang menggebu-gebu menggadang nasionalisme, saya bisa menjamin, ini adalah fakta yang kontan akan menyinggung mereka.
Seandainya Indonesia baru merdeka pada tanggal tersebut, agresi militer Belanda tak dapat dikatakan sebagai agresi. Aksi mereka yang menyengsarakan rakyat Indonesia dapat dibenarkan. Dan pembacaan proklamasi tak lebihnya sebuah pemberontakan. Namun, apa yang menjadikan hal ini lebih-lebih tak termaafkan adalah tanggal tersebut tertera pada monumen kemerdekaan di atas tanah Indonesia sendiri.
Anda bisa membayangkan betapa merahnya wajah para nasionalis totok bila menjumpainya? Dan betapa riuhnya politisi-politisi akan mencari perhatian di media dengan mempersoalkan ini? Saya, entah mengapa, bisa.
Kemerdekaan sebagai konstruksi
Kendati demikian, saya pikir lebih arif bagi kita untuk menafsirkannya sebagai sebuah petunjuk. Petunjuk bahwa kemerdekaan yang jatuh pada 17 Agustus 1945 adalah persepsi yang dibangun baru-baru saja di tepian-tepian dari pusat kekuasaan Indonesia.
Dan, sebenarnya pula, tak ada alasan untuk berpikir bahwa tanpa "sedikit paksaan" dari negara orang-orang dengan sendirinya menerima 17 Agustus 1945 sebagai hari kemerdekaan.
Mungkin kita berpikir setelah proklamasi dibacakan, segenap rakyat Indonesia tergulung total dalam peperangan menghalau penjajahan kembali Belanda. Mungkin kita membayangkan semua insan yang dilahirkan di bumi Indonesia dan hidup melewati periode sejarah tersebut punya memori yang sama. Sukarno membacakan, "kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia." Seluruh rakyat terbakar, bergelora. Dan setelah itu, perang, perang, dan perang…
Tapi, apa yang diajarkan sekolah dan buku sejarah tersebut, kalau tak mau dikatakan bias kepentingan tertentu, hanyalah sebagian dari cerita yang ada. Bila kita periksa sumber-sumber sejarah lain, yang tak sulit ditemukan sebenarnya, cerita lain akan segera mengemuka.
Republik di Ujung Bedil Kolonialisme
Negara ini lahir dari perjuangan dan pengorbanan. Menjelang akhir perang pun Indonesia bahkan masih menghadapi serbuan sekutu. Simak perjalanan panjang nusantara hingga merengkuh kedaulatannya.
Foto: public domain
Dari Portugis ke VOC
Awal abad ke 16 Portugis memasuki nusantara, berdagang dan mencoba menguasainya. Rakyat di beberapa wilayah melakukan perlawanan. Awal abad ke-17 giliran perusahaan Belanda, VOC yang mencari peruntungan di nusantara. Nusantarapun jatuh ke tangan Belanda, sempat direbutkan Perancis dan Inggris, lalu kembali dalam genggaman negeri kincir angin itu.
Foto: public domain
Pecah belah dan jajahlah
Untuk menguasai nusantara, Belanda memanfaatkan persaingan di antara kerajaan-kerajaan kecil. Berbagai pertempuran terjadi di bumi nusantara. Di Jawa, Perang Diponegoro (1825-1830) menjadi salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami Belanda selama pendudukannya di bumi Nusantara. Jendral de Kock memanfaatkan suku-suku lain berusaha menaklukan Jawa di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro.
Foto: public domain
Pengorbanan darah dan nyawa
Wilayah-wilayah di luar Jawa pun tak ketinggalan mengalami berbagai pertempuran sengit. Salah satunya pertempuran di Bali tahun 1846 yang tergambar dalam lukisan ini, dimana Belanda mengerahkan batalyonnya dalam upaya menaklukan pulau Dewata tersebut.
Foto: public domain
Bersatu melawan penjajahan
Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia didirikan September 1926 oleh para mahasiswa. Organisasi ini bermaksud untuk menyatukan organisasi –organisasi pemuda yang tadinya terpecah-pecah dan dari berbagai perguruan tinggi seperti Stovia dan THS dan RHS. Perhimbunan besar ini memiliki pemikiran bahwa persatuan Indonesia merupakan senjata paling ampuh dalam melawan penjajahan.
Foto: public domain
Dijajah saudara tua
Dalam perang dunia ke-2, Jepang memerangi Tiongkok dan mulai menaklukan Asia Tenggara, termasuk Indonesia tahun 1941. Peperangan juga terjadi di berbagai belahan dunia. Ketika Jepang kalah dalam PD II, tokoh nasional merencanakan kemerdekaan Indonesia.
Foto: Imago
Teks bersejarah bagi bangsa Indonesia
Teks Proklamasi dipersiapkan. Dirumuskan oleh Tadashi Maeda, Mohammad Hatta, Soekarno, dan Achmad Soebardjo, dll. Teks tersebut digubah oleh Mohammad Hatta dan RM. Achmad Soebardjo Djodjodisoerjo dan ditulis tangan oleh Soekarno. Teks Proklamasi yang telah mengalami perubahan, yang dikenal dengan sebutan naskah "Proklamasi Otentik", diketik Sayuti Melik.
Foto: public domain
Proklamasi di Pegangsaan
Dengan didampingi Drs. Mohammad Hatta, Ir. Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Pembacaan naskah proklamasi dilakukan di Jalan Pegangsaan Timur no 56. Jakarta, pada pukul 10.00 pagi.
Foto: public domain
Sang Saka Merah Putih berkibar
Sesaat setelah teks proklamasi diumumkan, bendera Sang Saka Merah Putih pun di kibarkan di halaman Pegangsaan Timur 56. Bendera bersejarah ini dijahit oleh istri Bung Karno, Fatmawati Soekarno. Kini tiap tanggal 17 Agustus, bendera Merah Putih berkibar dan menjadi bagian dari peringatan detik-detik kemerdekaanj Indonesia.
Foto: public domain
Dari Sabang sampai Merauke
Perang terus berkobar. 10 November 1945 di Surabaya, rakyat melawan sekutu. Di penghujung tahun yang sama, sekutu menyerbu Medan. Hampir semua wilayah Sumatera, berperang melawan Jepang, sekutu dan Belanda. Mulai dari Sulawesi, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara, hingga Papua, para pejuang mengorbankan nyawa demi mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan.
Foto: picture alliance/Everett Collection
Perjanjian Renville
Peperangan terus berkobar di berbagai wilayah di tanah air. berbagai diplomasi digelar. Perjanjian Renville disepakati Januari 1948, di atas kapal Amerika, USS Renville yang berlabuh di Tanjung Priok. Indonesia diwakili PM. Amir Syarifuddin. Saat itu, dissetujui garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dengan wilayah pendudukan Belanda.
Foto: en.wikipedia.org/Indonesia/Public Domain
Penyerahan kedaulatan
Tak semua mematuhi perjanjian Renville. Perlawanan terhadap Belanda terus berlanjut. Politik Indonesia terus bergejolak. usaha Belanda meredam kemerdekaan Indonesia dikecam masyarakat internasional. Akhirnya penyerahan kedaulatan Indonesia dtandatangani di Belanda, tanggal 27 Desember 1949. Tampak pada gambar, Ratu Belanda, Juliana tengah menandatangani dokumen tersebut.
Foto: public domain
Peta Hindia Belanda dan sekitarnya
Peta Pinkerton untuk Hindia Timur: Mencakup dari Burma selatan ke Jawa, dari Andaman ke Filipina & New Guinea. Peta ini mencatat kota-kota, rawa-rawa, pegunungan, dan sistem sungai. Digambar oleh L. Herbert dan digravir oleh Samuel Neele di bawah arahan John Pinkerton. Sumber gambar: Pinkerton’s Modern Atlas, yang diterbitkan oleh Thomas Dobson & Co di Philadelphia pada tahun 1818.
Foto: public domain
Mencari makna kemerdekaan
Kini lebih dari 70 tahun merdeka, Indonesia memasuki tantangan baru: Memerdekaan diri dari berbagai belenggu penjajahan atas hak asasi manusia,pola pikir dan berekspresi serta memperjuangkan demokrasi.
Foto: picture-alliance/dpa/D. Husni
13 foto1 | 13
Persepsi Masyarakat
William Frederick, yang menghimpun repihan sejarah revolusi di Jawa Timur, misalnya, menemukan bahwa pemuda nasionalis tak pernah identik dengan desa. Mayoritas penduduk Indonesia, fakta yang masih berlaku sampai sekarang, tinggal di desa. Dan ketika para pemuda ini melewati desa, mereka dianggap sebagai orang luar.
Ketegangan revolusi selain itu mencengkeram bukan karena revolusi memang terjadi di mana-mana, namun karena di mana-mana mereka yang sekadar terlihat memiliki uang Belanda—uang merah sebutannya—dan terkesan bekerja untuk Belanda rentan diculik sewaktu-waktu.
Menurut kesaksian seorang guru di Majalengka pada 1947, untuk pedagang dan pegawai pemerintahan preferensi mempergunakan mata uang Republik Indonesia atau Belanda hanya sejauh urusan kemudahan. Uang merah lebih bergengsi dan bernilai. Akan tetapi, membawanya, secara khusus di daerah pedesaan, juga membahayakan.
"Orang-orang takut menerima uang merah. Karena ada ancaman dari para pejuang yang sewaktu-waktu datang ke daerah yang dikuasai Belanda," tulisnya.
Gaung revolusi ini hanya akan semakin kabur semakin seseorang jauh dari lokus-lokus pergelutan politik. Revolusi, kalaupun orang-orang mendengarnya, tak lain diperoleh dari cerita-cerita mencekam dan menyebar dari mulut ke mulut semata lantaran terlalu seru untuk dipendam sendiri.
Di antara orang-orang Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan, cerita ihwal kelompok nasionalis yang dipanggil "Astrimis" ini—dari idiom Belanda, "extremist"—dikisahkan oleh seseorang yang mengaku pernah menjumpai mereka dalam sebuah festival di luar desa. Antropolog Anna Tsing mencatatnya. Dua pemuda Banjar yang dikenal sebagai "Astrimis" datang ke pesta ini. Ketika petugas pemerintahan hendak menangkap mereka, mereka merogoh sesuatu yang membuat para hadirin sontak tunggang langgang. Granat!
"Keadaan akan lebih suram sepuluh kali lipat dari ini sebelum hujan," ancam Ibas, salah satu "Astrimis" tersebut.
Perang Diplomasi demi Kemerdekaan Indonesia
Tanpa diplomasi Sjahrir dan tekanan internasional, Belanda masih akan bercokol di Indonesia, kendati proklamasi 45. Inilah empat tahun bersejarah yang dipenuhi intrik politik, pengkhianatan dan agresi milliter Belanda
Foto: picture-alliance/ANP
Kapitulasi Jepang, September 1945
12 Agustus 45, tiga hari setelah bom atom menghancurkan Nagasaki, Panglima Militer Jepang, Jendral Terauchi Hisaichi mengundang Soekarno dan Radjiman Wedyodiningrat ke Da Lat, Vietnam. Kepada keduanya Hisaichi mengindikasikan Jepang akan menyerah kepada sekutu dan membiarkan proklamasi kemerdekaan RI. Baru pada 2 September Jepang secara resmi menyatakan kapitulasi di atas kapal USS Missouri.
Foto: picture-alliance/dpa/United States Library Of Congres
Proklamasi, Agustus 1945
Setibanya di Jakarta, Soekarno diculik oleh pemuda PETA ke Rengasdengklok. Di sana ia dipaksa mengumumkan kemerdekaan tanpa Jepang. Malam harinya Soekarno menyambangi Mayjen Nishimura Otoshi. Kendati tidak mendukung, Nishimura menawarkan rumahnya untuk dipakai merumuskan naskah proklamasi. Keesokan hari Soekarno dan Hatta mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia di Jl. Pegangsaan Timur No. 56
Foto: picture alliance/CPA Media
Kabinet Sjahrir I, November 1945
Soekarno dan Hatta diangkat sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia. Keduanya memerintahkan Sutan Sjahrir, diplomat ulung yang kemudian menjadi perdana menteri pertama, buat mencari pengakuan internasional. Tugas Sjahrir adalah mempersiapkan Indonesia menghadapi pertemuan Linggarjati. Pidatonya yang legendaris di sidang umum PBB 1947 hingga kini masih tercatat sebagai momen paling menentukan
Foto: picture alliance/United Archives/WHA
Perundingan Linggarjati, November 1946
Dalam pertemuan yang dimediasi Inggris, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia di Jawa, Madura dan Sumatera. Tapi Belanda nyaris bangkrut dan berniat mengamankan akses ke sumber daya alam Indonesia. Sjahrir yang ingin menghindari perang sempat menyetujui pemerintahan transisi di bawah kepemimpinan Belanda. Idenya ditolak Sukarno, dan Sjahrir harus mundur sebulan setelah penadatanganan perjanjian.
Foto: Public Domain
Agresi Militer I, Juli 1947
Akibatnya Belanda menyerbu Sumatera dan Jawa demi merebut sumber daya alam dan lahan pertanian. Apa yang oleh Indonesia disebut sebagai Agresi Militer, dinamakan Belanda "misi kepolisian" untuk menghindari campur tangan internasional. Parlemen Belanda awalnya menginginkan perluasan agresi buat merebut ibukota Yogyakarta, tapi ancaman sanksi PBB membuat Den Haag menarik pasukannya dari Indonesia.
Foto: picture alliance/Everett Collection
Perjanjian Renville, Desember 1947
Di atas kapal USS Renville, Indonesia berhasil memaksakan gencatan senjata, tapi kehilangan sebagian wilayahnya. Belanda cuma mengakui kedaulatan RI di Jawa tengah, Yogyakarta, dan Sumatera, serta meminta TNI menarik pasukannya dari wilayah pendudukan. Belanda kala itu sedang menunggu pemilu legislatif. Pemerintahan yang baru kemudian mengambil kebijakan yang lebih keras terhadap Indonesia.
Foto: Publilc Domain
Agresi Militer II, Desember 1948
Belanda memanfaatkan masa liburan natal PBB buat menggelar Agresi Militer II. 80.000 pasukan diterjunkan. Soekarno, Hatta dan Sjahrir ditangkap. Akibatnya Sjafruddin Prawiranegara diperintahkan membentuk pemerintahan darurat. Uniknya operasi militer di Indonesia didukung 60% penduduk Belanda. Sembilan hari setelah dimulainya agresi, PBB menelurkan dua resolusi yang menentang serangan Belanda
Foto: Getty Images/Keystone
Konferensi Meja Bundar, Agustus 1949
Setelah menjalin kesepakatan dalam perjanjian Roem Roijen, Indonesia dan Belanda sepakat bertemu di Den Haag atas desakan internasional. Belanda bersedia menarik mundur pasukan dan mengakui kedaulatan RI di semua kepulauan, kecuali Papua barat. Sebagai gantinya Indonesia harus membayar sebagian utang pemerintahan kolonial, termasuk yang dipakai untuk agresi militer selama perang kemerdekaan.
Foto: Getty Images/Keystone
Penyerahan Kedaulatan, Desember 1949
Ratu Juliana menandatangani akta penyerahan kedaulatan kepada RI di Amsterdam pada 27. Dezember 1949. Setelah kemerdekaan, Indonesia tenggelam dalam revolusi buat mengamankan kesatuan republik. Sementara Belanda menghadapi tekanan internasional. Sikap Den Haag soal Indonesia dan Papua bahkan nyaris membatalkan keanggotaan Belanda di NATO, yang kala itu mendukung kemerdekaan Indonesia.
Foto: picture-alliance/ANP
9 foto1 | 9
Pelupaan dan Penciptaan Bangsa
Di mana cerita-cerita ini sehingga kita, saya yakin, baru mendengarnya sekarang?
Ia tersempil di catatan-catatan sejarawan, antropolog dan, kita boleh ragu, akan pernah benar-benar mencuat ke publik. Apa pasal? Mungkin kata-kata Ernest Renan lebih mewakili apa yang hendak saya sampaikan dibandingkan kata-kata saya sendiri. "Pelupaan," tulis Renan, "adalah anasir penting dalam penciptaan sebuah bangsa."
Ketika 17 Agustus 1945 ditetapkan sebagai hari kemerdekaan, ia ditetapkan untuk membenarkan skenario sejarah bahwa kemerdekaan Indonesia dicapai, diperjuangkan, dipertahankan dengan pertempuran bersenjata. Indonesia ada karena peperangan. Ia adalah raison d'etre bangsa ini. Dan cerita-cerita di luar itu—bahwa dalam prosesnya bergulir teror, ketidakpedulian, kesemerawutan, dinamika internasional, negosiasi antar kekuatan—tak sebaiknya diingat.
Persoalannya, tentu saja, bukanlah tanggal 17 Agustus 1945 atau proklamasi itu sendiri. Persoalannya adalah proklamasi dibungkus semata sebagai tanda dimulainya perjuangan bersenjata mempertahankan kemerdekaan dan ini, saya khawatirkan, membiasakan kita dengan sebuah bayangan keji. Bahwa bangsa ini lahir dari rahim kekerasan. Dan ini, jelas, tidak baik.
Kalau Anda sempat membaca status Facebook penulis Tere Liye yang kontroversial, Anda akan memahami kecemasan ini. Sang penulis mempertanyakan andil kelompok tertentu terhadap kemerdekaan Indonesia karena, selain tak cermat membaca sejarah, ia membayangkan perjuangan kemerdekaan sebagai perjuangan berwatak militeristis. Pergerakan intelektual dan keorganisasian tidak termasuk di dalamnya.
Dan kalau kemasygulan ini dikatakan berlebihan karena contoh saya hanya satu anak muda yang berusaha tampil di jejaring sosial, sejarah sayangnya berkata lain. Di masa silam yang bahkan belum terlalu jauh, sebagian besar masyarakat Indonesia menunjukkan mereka bisa mendukung kebijakan pertahanan dan keamanan apa pun selama retorikanya adalah menjaga negara dari perpecahan dan ancaman. Operasi militer dapat direstui rakyat di wilayah yang, ironisnya, awalnya bermasalah karena operasi militer itu sendiri.
Geger Pacinan: Sejarah Kelam Batavia 1740
Tumpahnya darah etnis Tionghoa di Batavia tahun 1740 menjadi bagian sejarah kelam ibukota metropolitan yang gemerlap ini.
Foto: Public Domain
Membangun Batavia
Awal abad ke-17, Belanda membutuhkan bantuan dalam pembangunan kota pesisir di Hinda Belanda. Kaum migran Tionghoa bekerja sebagai tukang bangunan, buruh pabrik gula dan berdagang. Sebagian tinggal di dalam tembok Batavia, sisanya di luar tembok. Beberapa di antara mereka menjadi kaya karena berdagang, namun tidak sedikit yang miskin dan dimanfaatkan oleh VOC.
Foto: Public Domain
Merosotnya pendapatan VOC
Awal awad ke 17, Kamar Dagang VOC kalah bersaing dengan maskapai dagang Inggris, Britisch East India Company. Alhasil VOC pusat menekan VOC Hindia Belanda untuk menaikkan pendapatan. Meningkatnya imigran Tionghoa yang masuk ke Batavia bukan lagi dianggap bantuan, melainkan ancaman. Tahun 1719, jumlah etnis Tionghoa lebih dari 7500 jiwa, sementara tahun 1739 melonjak jadi lebih dari 10 ribu.
Foto: public domain
Gula dunia merosot
Di pasar dunia, harga gula yang menjadi andalan VOC menurun, akibat banyaknya ekspor gula ke Eropa. Hal ini menyebabkan pabrik gula di Hindia Belanda terus merugi. Angka pengangguran termasuk para buruh gula Tionghoa di Batavia pun meningkat.
Foto: public domain
Aturan izin tinggal diperketat
Gubernur Jendral Hindia Belanda saat itu Adriaan Valckeneir memberlakukan aturan izin tinggal yang ketat. Ancamannya: penjara, denda atau di deportasi. Para etnis Tionghoa kaya merasa diperas. Semenatara itu isu berkembang, jika aturan izin tinggal tak dipenuhi, para buruh dan pengangguranTionghoa dikirim ke Zeylan (Sri Lanka). Etnis Tionghoa didera kecemasan.
Foto: Public Domain
Korupsi merajalela
Sementara kaum Tionghoa terdiskriminasi oleh pembatasan itu, oknum pejabat diduga memanfaatkan aturan untuk meraup duit ke kocek mereka sendiri. Situasi itu menciptakan rasa frustrasi yang berlanjut dengan perlawanan terhadap VOC. Perlawanan terjadi tanggal 7 Oktober 1740. Ratusan etnis Tionghoa menyerbu pabrik gula, pos-pos keamanan VOC, disusul serangan ke Benteng Batavia keesokan harinya.
Foto: Public Domain
Konflik internal di Dewan Hindia
Kebijakan pembatasan etnis Tionghoa sebenarnya ditentang keras oleh beberapa kalangan lain di Dewan Hindia, misalnya mantan gubernur Zeylan, Gustaaf Willem baron van Imhoff, yang datang kembali ke Batavia tahun 1738. Namun Valckeneir tetap mengambil tindakan tegas dan mematikan dalam mengatasi kerusuhan di bawah otoritasnya.
Foto: Public Domain
Pecah pemberontakan
Situasi itu menciptakan rasa frustrasi yang berlanjut dengan perlawanan terhadap VOC. Perlawanan memuncak pada tanggal 7 Oktober 1740. Ratusan etnis Tionghoa menyerbu pabrik gul, pos-pos keamanan VOC, disusul serangan ke Benteng Batavia kesokan harinya.
Foto: Public Domain
Pembumihangusan rumah kaum Tionghoa
9 Oktober 1740, tentara VOC mengatasi pemberontakan, berbalik mengejar pemberontak. Rumah-rumah & pasar warga Tionghoa dibumihanguskan. Ratusan warga Tionghoa lari ke kali, diburu & dibantai tanpa ampun. Kali Angke & Kali Besar banjir darah. Razia etnis Tionghoa berlanjut. Bahkan Dewan Hindia menjanjikan hadiah per kepala etnis Tionghoa yang dipancung. Hal itu memancing etnis lain ikut memburu.
Foto: Public Domain
Gustaaf Willem van Imhoff gantikan van Valkeneir
Diperkirakan hanya sekitar 600 hingga 3000 etnis Tionghoa yang selamat akibat insiden itu. Valckeneir ditarik kembali ke Belanda dan tahun 1742 ia digantikan Gustaaf Willem Imhoff yang berhasil meyakinkan pemegang saham utama VOC, bahwa Valckenier yang memicu pembantaian di Batavia.
Foto: Public Domain
9 foto1 | 9
Membenarkan Agresi Sendiri
Apakah ada jaminan retorika ini tak akan sukses menggalang legitimasi masyarakat di masa mendatang? Tidak. Tidak selama kita membayangkan Indonesia merupakan negara yang tegak berkat perjuangan bersenjata sehingga tak salah untuk dipertahankan dengan cara yang sama.
Saya khawatir, ketika kita geram Belanda tak mau mengakui apa yang diperbuatnya ke Indonesia sebagai agresi, kita tak menyadari kita tengah berlaku sama. Kita tak pernah menganggap aksi-aksi penertiban negara, dari pengerahan militer hingga pemolisian petani, sebagai agresi kendati mereka yang mengalaminya tanpa tedeng aling-aling akan mengatakan demikian. Dan, untuk menambah kemirisannya, ia tak terjadi berdasawarsa lalu.
Sungguh ironis? Tidak. Sungguh pandir!
Penulis:
Geger Riyanto, esais dan peneliti sosiologi. Mengajar Filsafat Sosial dan Konstruktivisme di UI. Bergiat di Koperasi Riset Purusha.
@gegerriy
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
VOC - Mendunia Berkat Bumi Indonesia
VOC menjelma menjadi raksasa dagang berkat menguasai bumi Indonesia. Kompeni bentukan Belanda itu bertindak layaknya negara. Tapi lalu remuk tanpa bersentuhan dengan musuh. Ini perusahaan multinasional pertama di dunia.
Foto: public domain
Jelajah Bumi demi Rempah
Rempah adalah faktor besar yang mendorong kolonialisme. Tidak berbeda dengan Belanda. Lantaran takut tersaingi oleh Portugis dan Inggris, negeri kincir angin ini membentuk perusahaan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) untuk memonopoli jalur perdagangan rempah di Asia. Berbekal kekuasaannya di Indonesia, VOC menjelma menjadi raksasa multinasional pertama di dunia.
Foto: picture-alliance/akg
Negara dalam Negara
VOC bukan cuma sekedar perusahaan biasa. Ia bertindak layaknya sebuah negara. Kompeni bentukan Belanda ini misalnya berwenang buat merangkai perjanjian multilateral, membangun koloni, memenjarakan dan mengeksekusi mati terpidana, membangun pasukan bersenjata dan membentuk mata uang sendiri.
Foto: public domain
Kaya dan Berkuasa
Sejak berdiri tahun 1602 hingga 1799, VOC tercatat mempekerjakan hampir satu juta penduduk Eropa dan mengirimkan 4785 kapal dagang ke Asia yang membawa sekitar 2,5 juta ton barang dagang. Berkat keberhasilan di Indonesia, VOC bahkan mampu menerbitkan saham pertama di dunia (gambar).
Foto: Privat
Jayakarta Menjadi Batavia
Awalnya VOC mendapat hak dagang dari kesultanan Banten. Namun Gubernur Jendral VOC pertama, Pieter Both memilih Jayakarta sebagai pusat administrasi. Belanda kemudian mengubah kota kecil itu menjadi kota dagang besar dengan benteng dan pelabuhan.
Foto: public domain
Coen, Jagal dari Batavia
Adalah Jan Pieterszoon Coen yang bertanggungjawab atas dominasi VOC di Indonesia. Sempat nyaris terusir oleh Pangeran Jayakarta, Belanda tahun 1627 lalumenugaskan Coen untuk menumpas tentara kerajaan Jayakarta. Setelah berkuasa, Coen mengubah nama Jayakarta menjadi Batavia. Oleh sejahrawan, ia digambarkan sebagai pribadi yang kejam dan gemar menggunakan kekerasan.
Foto: gemeinfrei
Jantung Kolonialisme
Nama Batavia berasal dari nama suku Germanik, Batavi, yang bermukim di kawasan sungai Rhein. Penduduk Belanda meyakini, suku tersebut adalah nenek moyang mereka. Di kota baru ini, Belanda membangun banyak infrastruktur yang terutama berfungsi sebagai kantor administrasi, pangkalan militer, pelabuhan dan berbagai tempat hiburan buat penduduk non pribumi.
Foto: public domain
Menggurita di Asia
Kendati bermarkas di Batavia, aktivitas dagang VOC melebar ke wilayah Asia Timur semisal Cina dan Jepang. Indonesia saat itu adalah pemasok rempah terbesar dunia di samping Asia Selatan. Nilai perusahaan swasta Belanda itu ditaksir mencapai 7,4 Milyar US Dollar dengan nilai uang saat ini.
Foto: public domain
Remuk dari Dalam
Tanpa lawan yang memadai, VOC sejatinya mampu bertahan hidup lebih lama. Tapi korupsi yang merajalela membuat perusahaan multinasional pertama di dunia itu ambruk di tahun 1799. Akibatnya semua aset dan utang VOC dilimpahkan pada kerajaan Hindia Belanda. Setelah kemerdekaan, menjadi milik Republik Indonesia.