Betapa mudahnya para hantu muncul di Indonesia. Setelah komunisme, persoalan pribumi merupakan arwah berikutnya yang dibangkitkan dari kuburan sejarah. Opini Ben Sohib.
Iklan
Persoalan pribumi merupakan arwah berikutnya yang dibangkitkan dari kuburan sejarah dalam dua bulan terakhir ini dan bergentayangan dalam kehidupan berbangsa. Kita belum tahu arwah apa lagi yang hendak "dipanggil” dalam waktu dekat ini.
Adalah Anies Baswedan yang berperan sebagai sang pemanggil arwah kali ini. Terlepas dari apakah itu sekadar keteledoran dalam memilih diksi, deklarasi penegasan kesetiaan pada sebagian pendukungnya yang selama ini berjuang dengan bendera agama dan ras, pesan tersirat yang diniatkan sebagai investasi politik untuk jabatan yang lebih tinggi di masa depan, atau memang cerminan dari apa yang mengendap jauh di lubuk kesadarannya (hanya Anies, Tuhan, dan hantu itu sendiri yang tahu), faktanya, kata "pribumi” yang terlontar dari mulut "Sang Gubernur Muslim” itu telah ikut berperan dalam memperbesar kobaran bara rasial di Indonesia.
Ujaran kebencian dan laku kekerasan berbasis SARA yang memang sudah memanas seiring meningkatnya politik identitas semenjak pemilu 2014, sekarang tampaknya akan menjadi lebih mendidih lagi. Berbagai reaksi dan klarifikasi yang eksesif baik dari para penentang maupun pendukung Anies atas kata "pribumi” yang ia gunakan dalam pidato pelantikannya, kian membuat segregasi dan permusuhan sesama anak bangsa menajam. Tiba-tiba saja kita dilemparkan ke dalam arena pertarungan babak baru: pribumi versus non-pribumi.
Jika sebelumnya sejumlah politisi kanan di Indonesia mengumbar peringatan bahaya dominasi "Aseng” yang merujuk pada Republik Rakyat Cina nun jauh di sana, kini alarm tanda bahaya secara terang-terangan sepertinya dibunyikan guna mewaspadai anak bangsa Indonesia etnis Tionghoa. Sungguh ini merupakan upaya penajaman mata pisau konflik yang dramatik.
Term rasial peninggalan masa lalu
Pribumi sesungguhnya merupakan term rasial peninggalan masa lalu (masa kolonial) yang ditinggalkan oleh Indonesia seiring dengan runtuhnya rezim orde baru. Sebelum reformasi, kata pribumi umumnya digunakan untuk membedakan warga "asli” dengan warga etnis keturunan Cina yang biasa disebut dengan warga non-pri. Lalu gerakan reformasi memberikan kesadaran baru bagi Indonesia dalam menggariskan batas identitas warga bangsanya. Trauma kerusuhan rasial Mei 1998 melahirkan zeitgeist baru; dorongan untuk membangun rumah bersama bernama Indonesia, rumah yang aman bagi seluruh penghuninya.
Maka secara formal Indonesia tak lagi menggolongkan warga yang satu sebagai pribumi dan yang lainnya sebagai non- pribumi. Penggunaan istilah itu menjadi terdengar kasar dan rasis. Pergeseran rasa bahasa atas diksi itu, merupakan konsekuensi yang sehat dari perubahan cara pandang terhadap batas identitas pemilik sah negara ini. Tak boleh lagi warga yang satu merasa lebih berhak memiliki Indonesia dibanding warga yang lain. Nama, wajah, warna kulit, bentuk mata, bentuk hidung, dan asal usul nenek moyang, tak menjadikan seseorang lebih atau kurang Indonesia dari yang lain.
Geger Pacinan: Sejarah Kelam Batavia 1740
Tumpahnya darah etnis Tionghoa di Batavia tahun 1740 menjadi bagian sejarah kelam ibukota metropolitan yang gemerlap ini.
Foto: Public Domain
Membangun Batavia
Awal abad ke-17, Belanda membutuhkan bantuan dalam pembangunan kota pesisir di Hinda Belanda. Kaum migran Tionghoa bekerja sebagai tukang bangunan, buruh pabrik gula dan berdagang. Sebagian tinggal di dalam tembok Batavia, sisanya di luar tembok. Beberapa di antara mereka menjadi kaya karena berdagang, namun tidak sedikit yang miskin dan dimanfaatkan oleh VOC.
Foto: Public Domain
Merosotnya pendapatan VOC
Awal awad ke 17, Kamar Dagang VOC kalah bersaing dengan maskapai dagang Inggris, Britisch East India Company. Alhasil VOC pusat menekan VOC Hindia Belanda untuk menaikkan pendapatan. Meningkatnya imigran Tionghoa yang masuk ke Batavia bukan lagi dianggap bantuan, melainkan ancaman. Tahun 1719, jumlah etnis Tionghoa lebih dari 7500 jiwa, sementara tahun 1739 melonjak jadi lebih dari 10 ribu.
Foto: public domain
Gula dunia merosot
Di pasar dunia, harga gula yang menjadi andalan VOC menurun, akibat banyaknya ekspor gula ke Eropa. Hal ini menyebabkan pabrik gula di Hindia Belanda terus merugi. Angka pengangguran termasuk para buruh gula Tionghoa di Batavia pun meningkat.
Foto: public domain
Aturan izin tinggal diperketat
Gubernur Jendral Hindia Belanda saat itu Adriaan Valckeneir memberlakukan aturan izin tinggal yang ketat. Ancamannya: penjara, denda atau di deportasi. Para etnis Tionghoa kaya merasa diperas. Semenatara itu isu berkembang, jika aturan izin tinggal tak dipenuhi, para buruh dan pengangguranTionghoa dikirim ke Zeylan (Sri Lanka). Etnis Tionghoa didera kecemasan.
Foto: Public Domain
Korupsi merajalela
Sementara kaum Tionghoa terdiskriminasi oleh pembatasan itu, oknum pejabat diduga memanfaatkan aturan untuk meraup duit ke kocek mereka sendiri. Situasi itu menciptakan rasa frustrasi yang berlanjut dengan perlawanan terhadap VOC. Perlawanan terjadi tanggal 7 Oktober 1740. Ratusan etnis Tionghoa menyerbu pabrik gula, pos-pos keamanan VOC, disusul serangan ke Benteng Batavia keesokan harinya.
Foto: Public Domain
Konflik internal di Dewan Hindia
Kebijakan pembatasan etnis Tionghoa sebenarnya ditentang keras oleh beberapa kalangan lain di Dewan Hindia, misalnya mantan gubernur Zeylan, Gustaaf Willem baron van Imhoff, yang datang kembali ke Batavia tahun 1738. Namun Valckeneir tetap mengambil tindakan tegas dan mematikan dalam mengatasi kerusuhan di bawah otoritasnya.
Foto: Public Domain
Pecah pemberontakan
Situasi itu menciptakan rasa frustrasi yang berlanjut dengan perlawanan terhadap VOC. Perlawanan memuncak pada tanggal 7 Oktober 1740. Ratusan etnis Tionghoa menyerbu pabrik gul, pos-pos keamanan VOC, disusul serangan ke Benteng Batavia kesokan harinya.
Foto: Public Domain
Pembumihangusan rumah kaum Tionghoa
9 Oktober 1740, tentara VOC mengatasi pemberontakan, berbalik mengejar pemberontak. Rumah-rumah & pasar warga Tionghoa dibumihanguskan. Ratusan warga Tionghoa lari ke kali, diburu & dibantai tanpa ampun. Kali Angke & Kali Besar banjir darah. Razia etnis Tionghoa berlanjut. Bahkan Dewan Hindia menjanjikan hadiah per kepala etnis Tionghoa yang dipancung. Hal itu memancing etnis lain ikut memburu.
Foto: Public Domain
Gustaaf Willem van Imhoff gantikan van Valkeneir
Diperkirakan hanya sekitar 600 hingga 3000 etnis Tionghoa yang selamat akibat insiden itu. Valckeneir ditarik kembali ke Belanda dan tahun 1742 ia digantikan Gustaaf Willem Imhoff yang berhasil meyakinkan pemegang saham utama VOC, bahwa Valckenier yang memicu pembantaian di Batavia.
Foto: Public Domain
9 foto1 | 9
Tak ada yang benar-benar asli Indonesia
Tak ada yang sungguh-sungguh pribumi. Semua suku dan etnis yang ada di Indonesia merupakan pendatang dari tanah-tanah yang jauh, terlepas dari siapa yang lebih awal dan siapa yang lebih akhir datang. Runtuhnya rezim otoriter orde baru dan munculnya sistem demokrasi memberikan tawaran baru bahwa hak dan kewajiban semua warga negara adalah sama, tak peduli asal-usulnya.
Dengan kata lain, sejak saat itu dan saat seterusnya, istilah pribumi dan non-pribumi berikut konsekuensi hukumnya dinyatakan tak berlaku lagi. Sebagai gantinya, demokrasi membuka pintu yang sama lebar bagi semua warga negara Indonesia. Maka, etnis Tionghoa yang selama ini hanya fokus dalam ranah perolehan ekonomi tapi terpencil dari partisipasi politik, mulai tergerak untuk berperan serta dalam kontestansi kekuasaan melalui jalur formal.
Namun demokrasi membawa paradoksnya sendiri. Sejak awal, pintu yang sama telah dimanfaatkan untuk masuknya ormas-ormas fasistik yang mengibarkan bendera agama dan ras. Selanjutnya, pertalian fasisme dan kepentingan politik menimbulkan berbagai riak intoleransi serta gelombang rasisme di banyak tempat di Indonesia.
Kartu primordial dimainkan untuk meraih kemenangan
Politik identitas menjadi gegap gempita sebagai cara paling ampuh meraih dukungan. Kartu primordial dimainkan untuk meraih kemenangan, membiarkan toleransi dan keutuhan bangsa terkapar sebagai korban. Dan semangat zaman berubah secepat membalik telapak tangan. Belum genap seperempat abad reformasi menggaungkan penghapusan dikotomi pribumi dan non-pribumi, sekarang tiba-tiba identifikasi rasistik itu muncul lagi dengan keriuhan yang memekakkan. Yang satu melecehkan etnis Tionghoa, yang lainnya mengolok-olok etnis keturunan Arab, yang lainnya lagi menghina etnis yang lain lagi, dan seterusnya. Betapa banyak yang hatinya terluka.
Prahara Mei 1998
Mei 1998 menjadi arus balik dalam sejarah demokrasi di Indonesia. Tapi bulan berdarah itu hingga kini masih menyisakan sejumlah pertanyaan tak terjawab perihal keterlibatan militer.
Foto: Juni Kriswanto/AFP/Getty Images
Kebangkitan Mahasiswa
Mai 1998 menandai perputaran sejarah Indonesia. Berawal dari ketidakpuasan rakyat atas kenaikan harga kebutuhan pokok, mahasiswa mulai bergerak memrotes pemerintahan Suharto. Saat itu presiden kedua Indonesia itu baru saja terpilih secara aklamasi oleh parlemen untuk ketujuh kalinya. MPR berdalih, kepemimpinan Suharto dibutuhkan di tengah krisis moneter yang melanda.
Foto: picture-alliance/dpa
Protes dari Kampus
Bibit protes sebenarnya sudah bermunculan sejak pengangkatan Suharto sebagai Presiden RI pada Maret 1998. Namun karena sebatas di wilayah kampus, aksi tersebut masih dibiarkan oleh militer. Kendati begitu bentrokan dengan aparat keamanan tetap tak terelakkan.
Foto: Getty Images/AFP/R. Gacad
Titik Api di Sumatera
Awalnya cuma sekelompok kecil mahasiswa yang berdemonstrasi menentang pemilihan ulang Suharto. Namun ketika pemerintah menaikkan harga barang pokok pada 4 Mai, rakyat kecil pun ikut terlibat. Penjarahan pertama muncul di Medan yang tidak berlangsung lama, tapi menjalar ke berbagai daerah.
Foto: Getty Images/AFP/P. Richards
Bara di Jakarta
Pada 9 Mei, sehari setelah kerusuhan Medan berakhir, Jakarta mulai bergolak. Tapi Suharto terbang ke Kairo untuk menghadiri KTT G15. Dia pulang lebih dini saat kerusuhan di Jakarta memasuki fase paling mematikan. Pada 12 Mei, 10.000 mahasiswa berkumpul di kampus Trisakti. Saat itu empat mahasiswa, Elang Mulia Lesmana, Hafidhin Royan, Hery Heriyanto dan Hendriawan Sie tewas tertembak peluru polisi.
Foto: picture-alliance/AP Images
Protes dari Luar Negeri
Peristiwa berdarah di Indonesia juga disimak oleh aktivis kemanusiaan asing dan mahasiswa Indonesia di mancanegara. Berbagai aksi protes digelar di Australia, Jerman, Belanda, Inggris (gambar), Swedia, Perancis dan Amerika Serikat.
Foto: Getty Images/AFP/J. Eggitt
Bergerak ke Senayan
Hingga tanggal 13 Mei kepolisian masih berupaya membarikade kampus-kampus di Jakarta untuk mencegah mahasiswa keluar. Sebagian yang berhasil menerobos, berkumpul di berbagai titik untuk kemudian bergerak ke arah Senayan. Momentum terbesar adalah ketika ribuan mahasiswa menduduki gedung MPR/DPR.
Foto: picture-alliance/dpa
Api di Klender
Termakan amarah lantaran mendengar kabar mahasiswa yang tewas ditembak, massa kembali melakukan aksi penjarahan di beberapa sudut kota. Yang terparah terjadi di kawasan Klender, di mana massa membarikade dan membakar gedung Yogya Department Store. Sekitar 1000 orang yang terjebak di dalam tewas seketika.
Foto: picture-alliance/dpa
Akhir Pahit Orde Baru
Aksi pendudukan mahasiswa terhadap gedung MPR/DPR dan tekanan internasional memaksa Presiden Suharto undur diri dari jabatannya. Diktatur yang berkuasa selama 32 tahun itu menyisakan republik yang carut marut oleh kasus korupsi dan pelanggaran HAM. Sesaat setelah pengunduran diri Suharto, Wapres B.J. Habibie memulai 517 hari perjalanannya membawa Indonesia kembali ke pangkuan demokrasi.
Foto: picture alliance/CPA Media
Saling Tuding di TNI
Tragedi 1998 menyisakan pertanyaan besar buat TNI. Bekas Pangkostrad, Prabowo Subianto diduga ikut mendalangi kerusuhan, berdasarkan temuan tim Gabungan Pencari Fakta. Bekas Jendral bintang tiga itu kemudian dipecat oleh Presiden Habibie menyusul isu kudeta yang disebarkan Panglima ABRI Wiranto. Prabowo sebaliknya menuding Wiranto lah yang mengeluarkan perintah agar TNI menyulut kerusuhan berdarah
Foto: Juni Kriswanto/AFP/Getty Images
9 foto1 | 9
Mungkin apa yang terjadi di Indonesia merupakan bagian dari pertarungan dua gelombang kesadaran di tingkat global: fasisme melawan liberalisme. Kemenangan Donald Trump di Amerika Serikat dengan memanfaatkan isu identitas, maraknya serangan teror ISIS di kota-kota dunia, menguatnya partai-partai dan kelompok ultra kanan semacam Pegida di Eropa, di satu sisi, dengan kemenangan Angela Merkel di Jerman, Mark Rutte di Belanda, dan Emmanuel Macron di Perancis melawan partai-partai yang mengusung kebijakan anti imigran dan anti Islam, gelombang penerimaan pengungsi Suriah di Jerman dan beberapa negara Eropa, gerakan sosial semacam Doctors Without Borders, semboyan dan cita-cita Citizen of The World, dll, di sisi lain, merupakan peta pergulatan yang bisa memberi kita sedikit gambaran tentang apa yang terjadi.
Di atas semua itu, berbagai penemuan baru di bidang DNA, secara mengejutkan telah memberitahu kita bahwa pada dasarnya kita semua bersepupu. Seluruh manusia berasal dari "etnis” yang sama. Hanya saja kemudian kita menjadi penuh warna lantaran moyang kita "melakukan” Out of Africa.
Dengan demikian, sungguh ketinggalan zaman jika ada orang yang masih menggunakan istilah pribumi (apalagi dalam konteks jargon politik), untuk menggambarkan penduduk asli suatu wilayah. Tidak ada yang benar-benar asli, tidak ada yang sungguh-sungguh pribumi. Jikapun ada, tentu itu bukan pribumi biasa.
Penulis: Ben Sohib (ap/vlz)
Sastrawan. Sedang mengikuti program Residensi Penulis Kemendikbud di Amsterdam, Belanda.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis
Nelson Mandela
Ia mengabdikan hidupnya untuk menentang apartheid. Nelson Mandela menjadi presiden kulit hitam Afrika Selatan pertama.
Foto: AP
Selamat Jalan Mandela!
Selalu tersenyum, begitulah dunia mengenal dan mengenang Nelson Mandela. Pejuang anti Apartheid ini wafat dalam usia 95 dahun di Johannesburg. Nelson Mandela dilahirkan pada 18 Juli 1918 di Mvezo, dengan nama "Rolihlahla". Mandela merupakan yang pertama dalam keluarganya yang belajar menulis dan membaca.
Foto: Reuters
Masa Muda
Nelson Mandela dalam foto yang diambil tahun 1937 ketika ia menjalani pendidikan di sekolah misionaris di Healdtown. Mandela lahir pada tanggal 18 Juli 1918 di Eastern Cape. Nama Inggris Nelson ia dapatkan di sekolah. Mandela pernah menikah sebanyak tiga kali. Dari dua pernikahannya ia dikaruniai enam anak.
Foto: DW
Apartheid
Papan pengumuman seperti tampak dalam foto merupakan pemandangan yang biasa ketika Mandela tumbuh dewasa. Pemisahan rasial diterapkan di semua bidang kehidupan: tempat berbeda bagi orang kulit hitam dan putih di kereta api atau bis, pintu masuk terpisah di rumah sakit, balai kota dan bank. Demikian pula, wilayah tempat tinggal dipisah.
Foto: AP
Aktivis Muda
Ketika ia dipaksa untuk menikah, Mandela melarikan diri ke Johannesburg dan kemudian kuliah hukum. Setelah lulus, ia mendirikan firma hukum kulit hitam pertama di negara itu. Ketika menjadi mahasiswa ia telah aktif dalam politik membela hak kaum hitam. Pada tahun 1942 ia bergabung dengan gerakan pembebasan, Kongres Nasional Afrika (ANC), dan kemudian mendirikan organisasi pemuda ANC.
Foto: AP
ANC Dilarang
Pada tahun 1956, Mandela (ketiga dari kiri) bersama dengan 155 aktivis lainnya dituduh melakukan penghianatan kepada negara, karena aktivitasnya dalam memimpin kampanye anti apartheid. Sidang pengadilan terhadapnya, yang berlangsung selama empat setengah tahun, akhirnya memvonis Mandela bebas. Pada tahun 1960 pemerintah melarang ANC dan kelompok anti apartheid lainnya.
Foto: AP
Vonis Seumur Hidup
1964: Massa berkumpul di depan gedung pengadilan, tempat berlangsungnya proses hukum terhadap Nelson Mandala dan aktivis anti Apartheid lainnya. Dalam peristiwa yang disebut proses Rivonia itu Nelson Mandela divonis bersalah dengan dakwaan makar dan mendapat hukuman penjara sumur hidup
Foto: Bailey's Archives
Penjara
Dalam sel sempit penjara di Pulau Robben inilah Mandela mendekam selama 18 tahun. Setelah pelarangan ANC di tahun 1960, Mandela mendirikan organisasi sayap militan ANC "Spear of The Nation“. Pada bulan Agustus 1962 ia ditangkap dan kemudian dijatuhi hukuman penjara seumur hidup dengan tuduhan sabotase dan perencanaan perjuangan bersenjata.
Foto: cc-by-sa- Paul Mannix
Perjuangan terus berlangsung
Selama Nelson Mandela dipenjara, aktivis-aktivis lain mengobarkan perang terhadap rejim Apartheid - antara lain bekas isterinya, Winnie Mandela (tengah). Ia tumbuh menjadi pemimpin oposisi melawan pemerintahan minoritas putih.
Foto: AP
Mandela, Sang Petinju
Semasa remaja Nelson Mandela menggemari tinju. "Di atas ring, usia, pangkat, warna kulit dan harta tidak berperan," katanya menggambarkan kecintaannya kepada olahraga ini. Selama di penjara ia juga aktif menjaga kebugaran: antara lain mengangkat beban, push up dan berbagai jenis olahraga lainnya.
Foto: Getty Images
Hari Pembebasan
11 Februari 1990: Nelson Mandela bersama Winnie bergandengan tangan menyambut masa yang menantinya. Setelah mendekam selama 27 tahun di penjara, atas tekanan masyarakat internasional akhirnya Mandela dibebaskan. Pada hari kebebasannya, di depan 120 ribu pendukungnya ia berpidato menyampaikan politik rekonsilasi.
Foto: picture-alliance/ dpa
Nobel Perdamaian
Mandela dibebasakan setelah mendekam di penjara selama 27 tahun. Presiden Afrika Selatan kala itu, F.W. de Klerk (kanan) memerintahkan pencabutan larangan bagi ANC. Di hari pembebasannya, Mandela menyampaikan pidato rekonsiliiasi. Atas jasanya dalam menghapus politiik apartheid di Afrika Selatan, de Klerk dan Mandela dianugrahi penghargaan Nobel Perdamaian pada tahun 1993.
Foto: AP
Presiden
Pada tanggal 9 Mei 1994, ANC memenangkan pemilu demokratis pertama di Afrika Selatan. Nelson Mandela ditunjuk parlemen menjadi presiden kulit hitam pertama di negara itu. Sebagai kepala negara dan pemimpin ANC, ia memimpin transformasi negara dan masyarakat Afrika Selatan. Ia mendapat penghormatan internasional atas upayanya bagi perdamaian di seluruh dunia
Foto: AP
Perang Irak
Antara tahun 2002-2003, Mandela menyampaikan beberapa pidato yang mengundang kontroversi, seputar Perang Irak yang dijalankan Bush dan Blair. Ia mengatakan, Bush merupakan seorang yang sombong dan rasis. Ia juga mengecam kurangnya keterlibatan PBB dalam mengambil keputusan mengenai Perang Irak. Pada musim gugur 2002, Mandela menyambut mantan wakil perdana menteri Irak, Tariq Aziz, di Johannesburg.
Foto: AP
Kawan Seperjuangan
Mandela menjalin persahabatan erat dengan Fidel Castro, yang ia sebut "kawan seperjuangan". Mantan pemimpin Kuba ini telah mendukung perjuangan gerakan pembebasan di Angola dan Namibia, yang pada akhirnya melemahkan rezim apartheid di Afrika Selatan. Musim panas 1991, Mandela mengunjungi Castro dalam perayaan Hari Nasional Kuba di Matanzas.
Foto: AP
Kampanye 46664
46664 merupakan nomor tahanan Mandela di penjara Pulau Robben. Selama menjadi tahanan ia hanya dikenal berdasarkan nomornya ini, diceritakan Mandela. Sekarang, nomor tahanan ini dipakai yayasan milik Mandela untuk kampanye mendukung jutaan penderita HIV.