1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Bagi Korbannya, Bullying Menjadikan Hidup Bak Neraka

Indonesien Geger Riyanto Autor, Essayist und Aktivist
Geger Riyanto
14 November 2020

Bukan hanya artis seperti Gisella Anastasia yang pernah kena bully. Meski karena urusan lain, banyak anak-anak kecil juga mengalami perundungan. Bahkan bukan hanya di dunia maya, melainkan juga di kehidupan sehari-hari.

Gambar ilustrasiFoto: Manu29/Fotolia.com

Mereka yang melakukan bully adalah seseorang yang masa lalunya menyedihkan. Dia dibesarkan dengan cara yang salah, tak mendapat perhatian cukup, mungkin merupakan korban kekerasan, dan akhirnya mencari pelampiasan dengan merisak orang lain.

Pandangan barusan klise. Benar-benar klise. Pandangan barusan biasanya kita batinkan kala kita berusaha untuk menempatkan bully sebagai seseorang yang kita kasihani. Sayangnya, ia tidak ada gunanya selain mengelabui diri sendiri. Penelitian-penelitian dilakukan. Mereka tidak menemukan hubungan yang signifikan antara latar belakang keluarga bully dengan perilaku jahat sang bully.

Bagaimana kalau saya bilang, bully tak boleh dilepas dari tanggung jawabnya dan lingkungan sekolah punya andil terhadap praktik ini? 

Pengalaman Dirisak

Sewaktu SD dan SMP, saya sempat menjadi korban perundungan. Setiap hari kala saya kelas empat SD, kawan sebangku saya memalak uang jajan saya. Ancamannya bukan kekerasan. Ia akan menjelek-jelekan orang tua saya bila saya tidak memberikannya. Saya akan selalu menyerah terhadap ancamannya karena saya, mau tak mau, harus kembali duduk dengannya lagi. Ia akan terus ada di samping saya—di posisi yang sangat mudah untuk meneror saya.

Saya acap merasa bodoh sekarang-sekarang lantaran tidak melawan balik. Namun, saya juga paham, saya belum berumur sepuluh tahun waktu itu. Jangankan mengartikulasikan rasa muak, mengartikulasikan diri saja sulit. Kecenderungan pemalu dan cemas sosial saya pun semakin mempersulit saya. 

Akhirnya, saya akan selalu mengikuti kemauannya. Yang saya tahu, gangguannya berakhir sesegera ia mendapatkan apa yang diinginkan. "Oh, mama kamu enggak jelek kok. Mama kamu cantik.”

Itu yang akan dikatakannya setelah saya membagi uang jajan kepadanya, saya ingat. Kata-kata dan wajahnya, yang menyiratkan semua baik-baik saja setelah sebelumnya ia mencaci maki orang tua saya, begitu menjijikkan.

Sewaktu kelas tiga SMP, saya kembali menjadi korban perundungan. Pelakunya sama-sama kawan sebangku saya. Saya duduk dengan seseorang yang setiap hari meminta saya membawakannya komik dan permainan. Bila saya tidak melakukannya, ia akan membuat hari saya menyiksa. Ia tidak akan membiarkan saya menyimak pelajaran dengan tenang. Ia akan mencerca saya di setiap kesempatan yang ia punya.

Tubuhnya kecil. Saya dapat memukulnya untuk membalasnya. Namun, ketika saya tak dapat menahan diri dan hal tersebut terjadi, sekolah tidak mau tahu dengan kemarahan saya yang sudah terpupuk lama. Mereka memperingati kami berdua karena menyebabkan keributan. 

Yang mereka inginkan hanya kedamaian. Kedamaian semu.

Geger Riyanto Foto: Privat

Terinstitusi dan Dibiarkan

Apa yang saya maksud ketika mengatakan bullying merupakan problem institusional?

Ia adalah problem institusional karena ia dilanggengkan oleh institusi bernama sekolah, betapapun sekolah sendiri tak mengharapkannya. Reaksi seseorang ketika diusik adalah menghindar atau menghadapinya. Anda tidak suka dengan seorang kenalan yang cuma Anda temui dari grup WA? Anda akan membisukan notifikasinya atau memblokirnya.

Namun, hal yang berbeda dihadapi siswa sekolah. Seorang siswa harus datang setiap harinya. Hal ini berarti seorang korban perisakan harus selalu menyetorkan muka kepada sang perisak. Ia tidak dapat lari. Ia juga tidak dapat berteriak meminta tolong karena mengadu ialah dosa besar yang dapat kian menjadikannya sasaran penyiksaan yang lebih mengerikan.

Reaksi standar sekolah? Sekolah bahkan cenderung baru akan bereaksi bila terjadi perkelahian atau keributan. Dan pada kasus-kasus yang saya tahu, semua pihak diminta saling memaafkan. Mereka tidak peduli bila belakangan sang perisak berusaha untuk menegakkan otoritasnya dengan menyiksa korbannya setelah mata tak tertuju kepada mereka lagi.

Terdengar tidak asing? Tentu saja. Kebiasaan tak sehat kita mengutamakan perdamaian ini tak cuma ada di sekolah. Perguruan tinggi kita terkenal dengan obsesinya terhadap kedamaian ketika insiden pelecehan seksual di institusinya mengemuka. Mereka meminta korban pelecehan seksual memaafkan pelakunya ketimbang menghukum sang pelaku sepadan perbuatannya. 

Yang paling penting adalah institusi tak ternoda aib, kasus menguap secepat-cepatnya sebelum terendus media. Keadilan untuk korban dianggap tidak diperlukan.

Intervensi?

Suatu hari nanti, saya bisa membayangkan, akan ada skandal perisakan yang menggoncang dan merenggut perhatian kita semua. Ia akan viral. Video atau ceritanya akan menyebar di mana-mana. Semua orang, dari tukang sayur hingga ke para pembincang kebijakan, akan membicarakannya. 

Kalaupun ia belum terjadi, hal ini bukan berarti perisakan belum menjadi persoalan gawat. Perisakan bukan kenyataan yang mudah dihitung. Tentu saja. Pelaku akan menyembunyikannya dan mengancam korban agar melakukan hal yang sama. Institusi cenderung tidak memedulikannya. Ia adalah duri dalam daging—menyakitkan tapi tak pernah terlihat. Dan bagi mereka yang menjadi sasarannya, "menyakitkan” belum mewakili kenestapaan yang mereka alami. Bagi korban perisakan rutin, hidup terasa seperti neraka.

Mereka tak semudah itu bisa melawannya. Kalau mereka bisa, bullying sudah lama lenyap dari muka bumi. Intervensi diperlukan. Namun, intervensi tak bisa dilakukan dengan ritual-ritual mediasi semu. Semua harus mengakui kenyataan muram yang ada di balik perisakan—bahwa murid di bawah umur dapat berlaku sejahat itu kepada rekan sebayanya, bahwa mereka bisa melanggengkan intimidasi yang sistematis dan tak terlihat sebagaimana mafia, dan bahwa institusi pada kebanyakan waktu adalah bagian dari masalah. 

Korban bullying melewati hari-hari yang mengerikan. Dalam kebungkamannya, mereka berteriak meminta agar apa yang dialaminya berakhir.

@gegerriy 
Esais dan peneliti yang tengah menyelesaikan Ph.D. di Institut Etnologi, Universitas Heidelberg. 


*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis. 
*Silakan bagi komentar Anda atas opini di atas pada kolom di bawah ini.