1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Unjuk Rasa Tuntut Referendum Papua di Deiyai Berakhir Ricuh

Rizki Akbar Putra
29 Agustus 2019

Kericuhan pecah di Kabupaten Deiyai, Papua, sebagai buntut insiden rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya. Satu anggota TNI dan dua warga sipil dilaporkan tewas, lima aparat keamanan cidera, kata polisi.

Indonesien Proteste für Autonomie in Papua
Foto: picture-alliance/AP Photo/Burhan

Insiden persekusi dan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya pada 16 Agustus 2019 berbuntut panjang.  Setelah kerusuhan di Manokwari tiga hari setelahnya, kini unjuk rasa juga masih berlanjut di Kabupaten Deiyai, Papua, Rabu (28/8).

Awalnya, unjuk rasa yang dimulai pukul 13.00 WIT ini dihadiri lebih kurang 100 peserta. Mereka menuntut Bupati Deiyai, Ateng Edowai, untuk menandatangani petisi referendum bagi Papua, namun Ateng menolak. Pukul 14.00 WIT, massa dalam jumlah besar muncul dari berbagai daerah sambil membawa senjata tradisional seperti panah dan parang. Pukul 15.00 WIT pun kericuhan tak terhindarkan ketika massa mamaksa masuk kantor bupati. 

Akibatnya, satu anggota TNI Angkatan Darat dan dua warga sipil tewas, sementara lima aparat polisi terluka. Sebelumnya media internasional seperti Al Jazeera dan Reuters memberitakan ada enam demonstran yang tewas di tangan aparat keamanan. Bahkan Al Jazeera menyebut ada dua anak kecil yang tewas ditembak. Namun hal ini langsung dibantah oleh kepala staf kepresidenan, Moeldoko. Berita tersebut pun kini telah telah diklarifikasi oleh Reuters.

Papua sampai saat ini praktis menjadi kawasan tertutup bagi wartawan, karena itu sulit mencari konfirmasi tentang kejadian sebenarnya. Pemerintah di Jakarta juga masih memblokir layanan internet untuk kawasan itu. Tidak adanya media independen di kawasan Papua menjadi salah satu alasan, mengapa banyak kesimpangsiuran berita. Selama ini, satu-satunya sumber berita resmi berasal dari pihak militer atau kepolisian.

Moeldoko meyakini adanya provokator yang berusaha menggiring opini masyarakat, bertujuan agar kericuhan di Papua terus terjadi dan memaksa aparat keamanan melakukan tindakan.

"Ini saya cek tadi ke lapangan benar enggak Pangdam ada yang tertembak 6 orang. justru yang meninggal dari TNI satu orang. Tapi beritanya sudah sampai media di luar negeri, enam masyarakat sipil diberondong oleh aparat keamanan. Ini memang ada upaya masif membentuk opini di luar yang dilakukan dan konfirmasi kebenarannya masih belum jelas," ujar mantan Panglima TNI ini dilansir dari Kompas.com.

Senada dengan Moeldoko, Kapolda Papua Irjen Pol. Rudolf Albert Rodja, mengungkapkan massa demonstran merampas 10 pucuk senjata api milik aparat TNI dan Polri ketika berjaga di Kantor Bupati Deiyai yang kemudian digunakan untuk menyerang aparat, dan terjadilah bentrok antara dua pihak."Dua warga sipil yang tewas telah dibawa ke rumah sakit setempat, bukan enam warga sipil yang tewas dalam insiden ini. Situasi di Deiyai telah kondusif,” kata Rudolf.

Pemblokiran internet tidak efektif

Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia melakukan pemblokiran layanan akses internet di wilayah Papua dan sekitarnya sejak 21 Agustus 2019 silam. Alasannya untuk mempercepat proses pemulihan situasi keamanan dan ketertiban di tanah Papua serta untuk mencegah tersebarnya berita hoaks.

Analis media sosial dari Drone Emprit, Ismail Fahmi, menyampaikan kepada DW Indonesia, pemblokiran internet yang dilakukan kemkominfo tidak efektif. Berdasarkan data dari Drone Emprit, tren percakapan media sosial Twitter dari tanggal 1 – 26 Agustus dengan kata kunci ‘West Papua' cenderung naik dan lebih tingi dibandingkan hari-hari biasa, sejak adanya aksi rasisme di Surabaya, kerusuhan di Manokwari, hingga sekarang, meski telah diberlakukan pemblokiran.

Tidak hanya dari dalam negeri, akun-akun luar negeri juga diketahui banyak yang meramaikan topik tersebut, yaitu dari Jerman (810 akun), Australia (636 akun), Inggris (521 akun), Amerika (333 akun), dan beberapa negara lainnya.

"Hal ini memperlihatkan adanya audiens dari percakapan yang sifatnya internasional. Dan mereka yang turut memanfaatkan isu ini juga tersebar di berbagai negara tersebut,” papar Fahmi kepada DW Indonesia.

Pendiri Drone Emprit dan Media Kernels Indonesia ini berpendapat, pemblokiran akses internet di Papua ternyata tidak menghentikan penyebaran informasi soal rasisme di Papua, justru informasi tersebut aktif disebarkan dari kelompok-kelompok pro kemerdekaan Papua di berbagai Negara.

Ia pun mendorong pemerintah  untuk kembali membuka akses internet dan melakukan pendekatan di lapangan secara humanis, serta mengedepankan kontra narasi yang positif dalam menghadapi informasi-informasi yang belum jelas kebenarannya.

Lebih lanjut, salah satu akun yang aktif melakukan upaya tersebut adalah @Info_Westpapua. "Dan seharusnya cluster pro NKRI ini berinteraksi langsung juga dengan cluster free West Papua. Agar suara mereka sampai,” pungkas Fahmi.

 

Ditetapkan tersangka

Rabu (28/08), Kepolisian Republik Indonesia telah menetapkan Tri Susanti sebagai tersangka kasus dugaan rasisme yang terjadi di asrama mahasiswa Papua di Surabaya. Wanita yang akrab dipangil Susi ini dijerat dengan berlapis yakni Pasal 45A ayat 2 juncto Pasal 28 ayat 2 UU No. 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan/atau Pasal 4 UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Rasis dan Etnis dan/atau Pasal 160 KUHP dan/atau Pasal 14 ayat 1 dan/atau ayat 2 dan/atau Pasal 15 KUHP.

Ia ditetapkan sebagai tersangka setelah polisi memeriksa 16 saksi dan 7 orang ahli. Polisi pun telah mengajukan permohonan pencegahan Susi untuk berpergian ke luar negeri. 

rap/hp (dari berbagai sumber)