Buntut Kalah Perang, Krisis Politik Memuncak di Armenia
1 Maret 2021
Kisruh teranyar dipicu perselisihan antara PM Nikol Pashinyan dan petinggi militer. Dia mencurigai adanya niat kudeta. Buntutnya ribuan pendukungnya turun ke jalan. Aksi ini disambut demonstrasi tandingan.
Iklan
Senin (1/3) sekelompok demonstran menyerbu masuk ke dalam sebuah gedung pemerintah di ibu kota Armenia, Yerevan. Mereka menuntut agar Perdana Menteri Nikol Pashinyan mengikuti imbauan militer untuk mengundurkan diri.
Tuntutan itu dilayangkan bekas Kepala Staf Angkatan Bersenjata, Onik Gasparyan, usai dipecat oleh Pashinyan. Keduanya berselisih ihwal penggunaan peluru kendali Rusia, Iskander, dalam perang melawan Azerbaidjan di Nagorno-Karabakh.
Pashinyan dan kabinetnya dituduh "tidak mampu mengambil keputusan yang dibutuhkan,” tulis Gasparyan dalam sebuah petisi yang ditandatangani 40 petinggi militer, termasuk Wakil Kepala Staf, Tiran Khachatryan, pahlawan Perang Nagorno 1994, yang ikut dipecat.
Namun pada Sabtu (27/2), Presiden Armenia Armen Sarkisian, menolak menandatangani perintah perdana menteri untuk memakzulkan Gasparyan. Keputusannya itu menambah runcing situasi politik di Yerevan.
"Presiden republik, berdasarkan kewenangan yang diberikan konstitusi, mengembalikan rancangan perintah pemakzulan dengan penolakan,” tulis Kantor Kepresidenan Armenia. Krisis politik saat ini, "tidak bisa ditanggulangi lewat pergantian jabatan secara terus menerus.”
Tidak lama setelah pengumuman itu, Pashinyan menulis di Facebook dia akan mengirimkan rancangan perintah pemecatan lain kepada Presiden Sarkisian. Menurutnya penolakan presiden tidak meredakan krisis "sama sekali.”
Pashinyan dulu memimpin gerakan "Revolusi Beludru” yang menumbangkan bekas PM Serzh Sargsyan yang pro-Rusia, dan menggantungkan kelangsungan kekuasaannya pada sebuah klan politik yang berisikan bekas komandan militer pada Perang Nagorno pada 1992-94.
Krisis sebagai buntut kalah perang
Pashinyan menggunakan istilah kudeta ketika petinggi militer menuntut pengunduran dirinya. Pada Sabtu (27/2), ribuan pendukungnya turun ke jalan menolak intervensi tentara dalam urusan politik.
Iklan
Namun aksi solidaritas itu bersambut demonstrasi tandingan kelompok oposisi. Pada Minggu (28/2), sekitar 5.000 orang tercatat mengitari jalan-jalan protokol ibu kota demi menuntut pemakzulan perdana menteri.
"Pashinyan harus pergi demi kemaslahatan negeri. Posisinya sudah terlalu lemah. Tidak seorangpun menanggapinya secara serius,” kata Vera Simonyan, seorang demonstran berusia 28 tahun.
Bekas Perdana Menteri Vazgen Manukyan, yang dinominasikan partai-partai oposisi buat menggantikan Pashinyan, ikut menyuarakan tekanan terhadap rival politiknya. "Hari ini Pashinyan tidak punya dukungan. Saya mengimbau aparat keamanan dan polisi untuk bergabung bersama militer dan mendukung militer.”
Meski demikian, sejauh ini fraksi oposisi di parlemen gagal mengumpulkan jumlah kehadiran sesuai quorum untuk memakzulkan Pashinyan.
Korban Jiwa Akibat Konflik Nagorno-Karabakh
Perang antara Azerbaijan dan Armenia di wilayah sengketa Nagorno-Karabakh selama lebih dari sebulan, menewaskan ribuan orang. Sementara, tiga gencatan senjata telah gagal menghentikan perang dalam enam minggu terakhir.
Foto: Julia Hahn/DW
Hancur berkeping-keping
Pemerintah Armenia dan Azerbaijan saling tuding, atas aksi serangan yang dituduh dengan sengaja menyerang warga sipil dengan bom. Katedral ternama dari abad 19 di kota Shusha juga ikut hancur pada awal Oktober. Menurut pihak berwenang di wilayah Nagorno-Karabakh, pasukan Azerbaijan bersiaga tidak jauh dari pusat kota.
Foto: Hayk Baghdasaryan/Photolure/Reuters
Tidak ada lagi tempat tinggal
Ragiba Guliyeva berdiri di reruntuhan rumahnya di Ganja, kota terbesar kedua di Azerbaijan, yang terkena serangan roket. "Saya berada di dapur ketika balok kayu dan batu menghujani saya secara tiba-tiba," katanya. "Saya berteriak sekeras mungkin." Pemerintah Azerbaijan menyalahkan pasukan Armenia atas serangan itu.
Foto: Julia Hahn/DW
Duka bagi banyak keluarga
Otoritas Azerbaijan melaporkan tidak sedikit korban tewas akibat serangan di Kota Ganja. Cucu Guliyeva yang berusia 13 tahun, Artur, adalah salah satu korban tewas. Pada acara kebaktian di gereja, guru dan teman sekelas Artur memberikan penghormatan terakhir. Menurut angka resmi, sedikitnya 130 warga sipil tewas di kedua sisi.
Foto: Julia Hahn/DW
Menjadi relawan di garda terdepan
Pihak berwenang di Nagorno-Karabakh mengatakan 1.200 tentara telah tewas sejak terjadinya pertempuran pada bulan September. Pemerintah Azerbaijan belum melaporkan total kerugian militernya. Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan setidaknya 5.000 orang tewas di kedua sisi. Para pemuda menjadi sukarelawan di garis terdepan, seperti para pejuang di ibu kota Nagorno-Karabakh, Stepanakert.
Foto: Aris Messinis/AFP
Konflik puluhan tahun
Wilayah Nagorno-Karabakh telah dikuasai oleh separatis Armenia sejak pemerintah Azerbaijan kehilangan kendali dalam perang teritorial tahun 1988 hingga 1994. Gencatan senjata telah diberlakukan sejak itu. Lukisan di sebuah sekolah di Barda dibuat untuk menghormati seorang tentara yang meninggal.
Foto: Julia Hahn/DW
Intervensi dunia internasional?
Propaganda dan retorika perang mengatur kehidupan sehari-hari di Azerbaijan, yang diperintah oleh rezim otoriter. Pemerintah di Baku, menerima senjata dan dukungan solidaritas dari Turki. Rusia adalah kekuatan pelindung bagi pemerintah Armenia, di Yerevan. Para pengamat memperingatkan bahwa kekuatan regional dapat secara aktif campur tangan dalam konflik tersebut.
Foto: Julia Hahn/DW
Bertahan di pengungsian
Otoritas regional memperkirakan bahwa setengah dari penduduk, atau 75.000 orang, dapat melarikan diri dari pertempuran tersebut. Warga yang tetap bertahan, tinggal di ruang bawah tanah dan tempat penampungan.
Foto: Stanislav Krasilnikov/ITAR-TASS/imago images
Pandemi COVID-19 di zona perang
Hidup di lokasi pengungsian telah menjadi hal yang biasa bagi banyak penduduk Stepanakert. Meski kamar penuh sesak dan ventilasi buruk, orang-orang aman dari serangan bom. Tetapi dokter mengingatkan bahaya virus corona yang cepat menyebar. Tidak ada angka resmi, namun beberapa dokter memperkirakan bahwa sekitar setengah dari penghuni tempat penampungan dinyatakan positif COVID-19.
Foto: Vahram Baghdasaryan/Photolure/Reuters
Ruang kelas jadi tempat penampungan darurat
Banyak orang melarikan diri dari pertempuran di Azerbaijan, termasuk warga dari kota Terter. Beberapa dari mereka menemukan perlindungan di negara tetangga Barda, sekitar 20 kilometer dari Nagorno-Karabakh, di mana sekolah dialihfungsikan menjadi tempat penampungan darurat sejak akhir September. Tetapi mereka juga masih belum aman dari dampak konflik.
Foto: Julia Hahn/DW
Serangan udara hancurkan kota
Beberapa bangunan hancur dan mobil terbakar selama serangan udara berlangsung di Barda beberapa pekan lalu. Otoritas Azerbaijan melaporkan sedikitnya 21 orang tewas dan puluhan lainnya luka-luka. Pemerintah Armenia membantah serangan itu.
Foto: Julia Hahn/DW
Menanti terwujudnya kedamaian
Pemerintah Azerbaijan menuntut penarikan penuh pasukan Armenia dari Nagorno-Karabakh. Perdana Menteri Armenia, Nikol Pashinyan, secara resmi meminta bantuan Rusia. (ha/pkp)
Foto: Vahram Baghdasaryan/Photolure/Reuters
11 foto1 | 11
Popularitas sang perdana menteri anjlok setelah Armenia kalah dalam perang selama 44 hari di Nagorno Karabakh. Buntutnya Azerbaidjan kini menguasai sebagian besar wilayah pegunungan di antara kedua negara itu.
Perjanjian damai yang disepakati Pashinyan dinilai mempermalukan Armenia. Namun sang perdana menteri bersikeras dirinya harus menyudahi pertempuran, karena Armenia dikhawatirkan akan menderita kekalahan yang lebih besar jika perang berlanjut.
"Dia harus bertanggungjawab atas kekalahan dalam perang, atas ratifikasi perjanjian yang mempermalukan Armenia,” kata seorang demonstran oposisi kepad AFP.