Beberapa buruh migran Indonesia terancam hukuman mati di manca negara. Beberapa di antara mereka masih di bawah umur. Negara wajib melindungi mereka. Berikut opini aktivis buruh migran. Wahyu Susilo
Iklan
Masih ingatkah kita pada Wilfirida Soik? Perempuan muda asal Belu, Nusa Tenggara Timur-- daerah miskin perbatasan Indonesia-Timor Leste-- ini dituntut hukuman mati oleh pengadilan Kota Bharu, Kelantan Malaysia karena membunuh majikan.
Wilfrida masih di bawah umur ketika direkrut oleh agen pengerah tenaga kerja, ia pun ditempatkan ke Malaysia pada saat Indonesia menyatakan moratorium menempatkan PRT migran ke Malaysia.
Dalam situasi seperti itu, Wilfrida jelas berposisi sebagai korban perdagangan manusia. Itulah sebabnya, pengadilan di Kota Bharu, Kelantan, Malaysia akhirnya membebaskan Wilfrida dari tuntutan hukuman mati atas tuduhan kasus pembunuhan atas majikan.
Berupah Minim: Nasib Buruh Anak di Asia
Mereka bekerja di bidang pertanian, pertambangan, pabrik atau bidang pelayanan. Menurut perkiraan Organisasi Buruh Internasional (ILO), di seluruh dunia sekitar 168 juta anak terjerumus jadi pekerja berupah minim.
Foto: AFP/Getty Images
Peringatan Tiap Tahun
Tiap tanggal 12 Juni, PBB memperingatkan nasib pekerja anak-anak di seluruh dunia yang diperkirakan 168 juta. Tahun 1999 negara anggota Organisasi Buruh Internasional (ILO) menyepakati konvensi menentang bentuk terburuk pekerjaan anak-anak. Kesepakatan itu ditujukan bagi anak-anak di bawah 18 tahun dan antara lain melarang perbudakan serta prostitusi.
Foto: imago/Michael Westermann
Handuk "Made in India"
Pekerja anak-anak di Tamil Nadu, India Selatan. Di pabrik ini misalnya diproduksi handuk. Anak ini hanya satu dari jutaan lainnya. ILO memperkirakan, di Asia jumlahnya hampir 78 juta. Dengan kata lain, hampir 10% anak-anak antara lima dan 17 tahun dipaksa bekerja.
Foto: imago/imagebroker
Bekerja, bukan Bersekolah
Mereka tidak bisa membaca serta menulis, dan mereka harus membuat batu bata. Akibat kemiskinan, banyak anak India harus ikut mencari nafkah bagi keluarga. Anak-anak bekerja sepuluh jam per hari, dan upah harian hanya sekitar 10.000 Rupiah.
Foto: imago/Eastnews
Tenaga Kerja Murah
Menurut data sensus terakhir di India, sekitar 12,6 juta anak menjadi pekerja. Mereka menjajakan dagangan di jalanan, menjahit, memasak juga membersihkan restoran, memetik kapas di ladang atau membuat batu bata. Semua itu hanya untuk upah sedikit. Upah pekerja anak-anak hanya sepertiga dari yang diperoleh pekerja dewasa untuk pekerjaan sama.
Foto: imago/imagebroker
Kondisi Sesuai Harkat Sebagai Manusia
Setengah dari seluruh pekerja anak-anak melakukan pekerjaan yang dianggap berbahaya. Demikian laporan ILO tahun 2013. Mereka mencari nafkah di tambang batu atau perkebunan komersial. Mereka juga bekerja di malam hari, bekerja terlalu lama dan sebagian diperlakukan seperti budak. Di samping itu semua, tidak ada kontrak kerja dan jaminan sosial.
Foto: AFP/Getty Images
"Made in Bangladesh"
Di Bangladesh pekerja anak-anak juga ada di mana-mana. Menurut keterangan Badan PBB urusan Anak-Anak (UNICEF), di negara itu sekitar lima juta anak harus ikut mencari nafkah dan bekerja dalam kondisi seperti budak. Misalnya di industri tekstil, sektor ekspor terbesar negara itu. Hasil kerja mereka dibeli konsumen di negara industri kaya.
Foto: imago/Michael Westermann
Sendirian di Kota Metropolitan
Di Kamboja, hanya sekitar 60% anak-anak bersekolah. Lainnya sudah ikut mencari nafkah bersama orang tuanya. Ribuan lainnya mencari uang sendirian di jalan-jalan, misalnya di ibukota Phnom Penh.
Foto: picture-alliance/dpa
Daftar Panjang
Memang jumlah pekerja anak-anak di seluruh dunia berkurang sejak tahun 2000. Pekerja anak perempuan berkurang 40%, dan anak laki-laki 25%. Tetapi pekerja anak-anak masih bisa dijumpai di banyak negara Asia. Di samping India, Bangladesh dan Kamboja, juga di Afghanistan (foto), Nepal dan Myanmar.
Foto: AFP/Getty Images
8 foto1 | 8
Korbannya anak-anak
Kasus serupa juga pernah dialami oleh Siti Aminah, perempuan muda asal Jember, Jawa Timur. Ia dituntut hukuman mati oleh pengadilan Singapura karena membunuh majikan.
Dalam persidangan terungkap bahwa ketika bekerja ke Singapura, Siti Aminah dipalsukan dokumen perjalanannya. Usia Siti Aminah semestinya tidak memenuhi syarat untuk bekerja ke luar negeri, dan siasat busuk dijalankan oleh agen perekrut tenaga kerja dengan mengubah umur Siti Aminah di dalam dokumen perjalanannya. Oleh karena itu dalam persidangan, dokumen asli yang ditunjukkan pengacara bisa menjadi penyelamat bagi Siti Aminah dari tiang gantungan.
Dua realitas di atas memperlihatkan bahwa dalam proses penempatan buruh migran melalui PPTKIS (Perusahaan Pengerah Tenaga Kerja Indonesia Swasta), --yang merupakan satu-satunya mekanisme yang diakui pemerintah--- tidak menjamin bahwa seluruh prosesnya terbebas dari praktik-praktik perdagangan manusia.
Berdasarkan kajian yang dilakukan Migrant CARE, praktik yang dianggap lumrah dalam proses resmi rekruitmen calon tenaga kerja Indonesia adalah pembuatan dokumen perjalanan aspal (asli tapi palsu).
Modusnya berawal dari pemalsuan dokumen kependudukan di tingkat desa hingga kemudian menjadi landasan untuk pembuatan dokumen perjalanan (paspor).
Pengubahan identitas kependudukan biasanya untuk umur (agar sesuai dengan syarat minimal), status sipil (lajang menjadi menikah atau janda) bahkan nama (sebagai siasat bagi mereka yang pernah bekerja ke luar negeri yang namanya di-blacklist oleh negara tujuan).
Keterlibatan petugas resmi
Melihat modus operandi pembuatan dokumen aspal calon tenaga kerja Indonesia, jelas terlihat adanya keterlibatan otoritas resmi, mulai dari tingkat desa hingga aparat kantor imigrasi. Tidak mengherankan di beberapa wilayah yang mengitari Jakarta, seperti Sukabumi, Karawang, Tangerang, Bekasi dulu pernah marak istilah “desa pabrik KTP”, spesialis pembuatan KTP palsu.
Merekrut dan menempatkan PRT mudia usia juga mengandung resiko soal ketidaksiapan menghadapi kondisi kerja yang berat (3D: difficult, dark, dangerous), apalagi dalam tahap persiapan pemberangkatan, pembekalan yang dilakukan agen pengerah tenaga kerja sangat tidak memadai dan seadanya.
Bahkan kadang-kadang keberadaan mereka di BLK bukan untuk menjalani pelatihan tetapi hanya sebagai (maaf) stok menunggu job order dari majikan. Oleh karena itu dalam beberapa kasus PRT migran Indonesia yang menghadapi hukuman mati, sebagian besar di antaranya adalah mereka yang berusia muda.
Melihat realitas-realitas tragis tersebut, sangatlah relevan untuk menyambut seruan yang terkandung dalam Konferensi Tahunan IL0 (International Labour Conference) yang berlangsung pada tanggal 30 Mei – 10 Juni 2016: Building the Future of Decent Work: Membangun Masa Depan Pekerjaan Yang Layak.
Negara wajib melindungi
Seruan ini menegaskan kembali apa yang menjadi target-target untuk kaum buruh di dalam komitmen global Sustainable Development Goals: situasi kerja yang layak, migrasi yang aman, tidak mempekerjakan anak-anak, bebas dari diskriminasi terhadap perempuan, bebas dari perbudakan dan praktik perdagangan manusia.
Dalam konteks Indonesia, seruan tersebut juga sangat relevan untuk menegaskan kembali prinsip-prinsip kerja layak dalam kandungan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Indonesia Ke Luar Negeri yang sedang dalam proses legislasi, sebagai pengganti UU No.39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Ke Luar Negeri yang sudah usang dan tidak relevan lagi.
Indonesia juga diingatkan untuk segera meratifikasi dan mengadopsi Konvensi ILO No. 189/2011 tentang Kerja Layak bagi Pekerja Rumah Tangga. Dalam merespon kasus-kasus kekerasan yang dialami oleh PRT migran Indonesia, yang seharusnya dikedepankan oleh pemerintah Indonesia adalah pendekatan berbasis hak asasi manusia, yaitu tetap menjamin hak bekerja bagi PRT migran, serta memastikan negara pro aktif memberi perlindungan, baik dalam bantuan hukum maupun diplomasi politik.
Rencana pemerintah untuk melarang perempuan bekerja sebagai PRT migran ke luar negeri bukan jalan keluar yang tepat karena selain merupakan bentuk pelanggaran hak perempuan untuk bekerja, juga merupakan manifestasi pengingkaran tanggungjawab negara.
Penulis:
Wahyu Susilo, pendiri Migrant CARE, sekaligus bekerja sebagai analis kebijakan di lembaga tersebut. Tahun 2007, meraih Hero-Acting to End Modern Slavery Award dari Department of State USA.
@wahyususilo
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Kami tunggu komentar Anda di sini.
Inilah Negara Sarang Perbudakan
Sebanyak 45 juta manusia masih bekerja di bawah paksaan. Sebagian negara bahkan ikut memetik keuntungan dari praktik keji tersebut. Celakanya Indonesia masuk dalam daftar sepuluh besar Indeks Perbudakan Global 2016
Foto: picture-alliance/e70/ZUMA Press
1. India
Sekitar 270 juta penduduk India masih hidup di bawah garis kemiskinan. Menurut Indeks Perbudakan Global, negeri raksasa di Asia Selatan itu saat ini masih mencatat jumlah pekerja paksa sebanyak 18.354.700 orang. Sebagian besar bekerja di sektor informal. Sementara sisanya berprofesi prostitusi atau pengemis.
Foto: picture alliance/Photoshot
2. Cina
Maraknya migrasi internal kaum buruh menjadikan Cina lahan empuk buat perdagangan manusia. Pemerintah di Beijing sendiri mengakui hingga 1,5 juta bocah dipaksa mengemis, kebanyakan diculik. Saat ini lebih dari 70 juta penduduk hidup di bawah garis kemiskinan. Menurut Indeks Perbudakan Global, Cina masih memiliki sekitar 3.388.400 budak.
Foto: Reuters
3. Pakistan
Sebanyak 2.134.900 penduduk Pakistan bekerja sebagai budak di pabrik-pabrik dan lokalisasi. Angka perbudakan tertinggi tercatat di dua provinsi, Sindh dan Punjab. Sejumlah kasus bahkan mengindikasikan orangtua di sejumlah wilayah di Pakistan terbiasa menjual putrinya untuk dijadikan pembantu rumah tangga, pelacur, nikah paksa atau sebagai bayaran untuk menyelesaikan perseteruan dengan suku lain.
Foto: Roberto Schmidt/AFP/GettyImages
4. Bangladesh
Indeks Perbudakan Global mencatat sebanyak 1.531.500 penduduk Bangladesh bekerja sebagai budak. Hampir 80% di antaranya adalah buruh paksa, sementara sisanya dijual untuk dinikahkan atau dijadikan prostitusi. Saat ini Bangladesh mencatat 390.000 perempuan menjadi korban pelacuran paksa.
Foto: picture-alliance/e70/ZUMA Press
5. Uzbekistan
Uzbekistan adalah produsen kapas terbesar keenam di dunia. Selama musim panen ratusan ribu penduduk dipaksa bekerja tanpa bayaran. Pemerintah berupaya memerangi praktik tersebut. Tapi Indeks Perbudakan Global 2016 mencatat tahun lalu sebanyak 1.236.600 penduduk masih bekerja sebagai budak di Uzbekistan.
Foto: Denis Sinyakov/AFP/Getty Images
6. Korea Utara
Berbeda dengan negara lain, sebanyak 1.100.000 budak di Korea Utara bukan bekerja di sektor swasta, melainkan untuk pemerintah. Eksploitasi buruh oleh pemerintah Pyongyang sudah lama menjadi masalah. Saat ini sebanyak 50.000 buruh Korut dikirim ke luar negeri oleh pemerintah untuk bekerja dengan upah minim. Program tersebut mendatangkan lebih dari 2 miliar Dollar AS ke kas negara.
Foto: picture alliance/AP Photo/D. Guttenfelder
7. Rusia
Pasar tenaga kerja Rusia yang mengalami booming sejak beberapa tahun silam banyak menyerap tenaga kerja dari berbagai negara bekas Uni Sovyet seperti Ukraina, Uzbekistan, Azerbaidjan atau bahkan Korea Utara. Saat ini sebanyak 1.048.500 buruh paksa bekerja di Rusia. Celakanya langkah pemerintah yang kerap mendiskriminasi buruh dari etnis minoritas justru membantu industri perbudakan.
Foto: picture-alliance/dpa
8. Nigeria
Tidak sedikit perempuan Nigeria yang dijual ke Eropa untuk bekerja di industri prostitusi. Namun sebagian besar buruh paksa mendarat di sektor informal di dalam negeri. Tercatat sebanyak 875.500 penduduk Nigeria bekerja di bawah paksaan.
Foto: UNICEF/NYHQ2010-1152/Asselin
9. Republik Demokratik Kongo
Serupa dengan negara-negara Afrika Sub Sahara lain, Republik Demokratik Kongo mencatat angka tertinggi dalam kasus perbudakan anak. Sebagian besar bekerja di sektor informal, prostitusi atau bahkan dijadikan tentara. Jumlah budak di RD Kongo mencapai 873.100 orang.
Foto: AFP/Getty Images
10. Indonesia
Menurut catatan Walk Free Foundation, kebanyakan buruh paksa di Indonesia bekerja di sektor perikanan dan konstruksi. Paksaan juga dialami tenaga kerja Indonesia di luar negeri seperti di Arab Saudi atau Malaysia. Secara umum Indonesia berada di urutan kesepuluh dalam daftar negara sarang perbudakan dengan jumlah 736.100 buruh paksa.