Pemerintah menghitung rata-rata kenaikan UMP 2022 sebesar 1,09%. Mendengar hasil perhitungan itu, kaum pekerja atau buruh menolak. Sebelumnya, mereka menuntut kenaikan UMP 2022 sebesar 10%.
Iklan
Hasil penghitungan pemerintah untuk kenaikan upah minimum rata-rata tahun depan sebesar 1,09%. Hasil penghitungan itu ditolak keras oleh para buruh.
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) sudah melontarkan penolakannya terhadap hasil penghitungan itu. Keputusan itu dinilai hanya melindungi pengusaha dengan retorika keadilan dan keseimbangan.
"Pengusaha batu bara masa naik upahnya Rp 37 ribu? Nggak masuk akal. Perusahaan otomotif nggak masuk akal. Terhadap perusahaan tekstil, garmen, sepatu yang bermerek Internasional masa naiknya cuma Rp 37 ribu? Perusahaan yang tidak mampu memang tidak perlu naik dengan catatan membuktikan kerugian," kata Presiden KSPI Said Iqbal dalam konferensi pers virtual, Jumat (19/11).
Iklan
Apakah kenaikan upah 1,09% layak untuk keadaan saat ini?
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai kenaikan upah minimum tersebut terlalu rendah. Sebab dia memandang tidak sebanding dengan proyeksi naiknya inflasi maupun pertumbuhan ekonomi.
"Dengan kondisi naiknya harga barang khususnya komoditas energi dan barang impor kan tidak menutup kemungkinan inflasi tembus diatas 4% tahun 2022. Sekarang upah tahun depan naiknya cuma 1% rata rata ya, habislah tergerus inflasi pendapatan buruh yang rentan miskin," terangnya kepada detikcom, Minggu (21/11).
Tak hanya itu, menurut Bhima kondisi masyarakat akan semakin tertekan dengan adanya tarif PPN baru pada April 2022. Dia menilai kenaikan UMP belum bisa menutupi tambahan beban yang dialami kaum pekerja.
"Pemerintah per April 2022 juga menerapkan tarif PPN baru yang naik 1% menjadi 11%. Tarif PPN ini kan berlaku umum, artinya pekerja juga kena dampaknya. Kalau pajak barang naik 1% sementara upahnya naik 1% bisa dikatakan tidak ada kenaikan upah sama sekali. Buruh makin terjepit posisinya," tuturnya.
Inilah Negara Sarang Perbudakan
Sebanyak 45 juta manusia masih bekerja di bawah paksaan. Sebagian negara bahkan ikut memetik keuntungan dari praktik keji tersebut. Celakanya Indonesia masuk dalam daftar sepuluh besar Indeks Perbudakan Global 2016
Foto: picture-alliance/e70/ZUMA Press
1. India
Sekitar 270 juta penduduk India masih hidup di bawah garis kemiskinan. Menurut Indeks Perbudakan Global, negeri raksasa di Asia Selatan itu saat ini masih mencatat jumlah pekerja paksa sebanyak 18.354.700 orang. Sebagian besar bekerja di sektor informal. Sementara sisanya berprofesi prostitusi atau pengemis.
Foto: picture alliance/Photoshot
2. Cina
Maraknya migrasi internal kaum buruh menjadikan Cina lahan empuk buat perdagangan manusia. Pemerintah di Beijing sendiri mengakui hingga 1,5 juta bocah dipaksa mengemis, kebanyakan diculik. Saat ini lebih dari 70 juta penduduk hidup di bawah garis kemiskinan. Menurut Indeks Perbudakan Global, Cina masih memiliki sekitar 3.388.400 budak.
Foto: Reuters
3. Pakistan
Sebanyak 2.134.900 penduduk Pakistan bekerja sebagai budak di pabrik-pabrik dan lokalisasi. Angka perbudakan tertinggi tercatat di dua provinsi, Sindh dan Punjab. Sejumlah kasus bahkan mengindikasikan orangtua di sejumlah wilayah di Pakistan terbiasa menjual putrinya untuk dijadikan pembantu rumah tangga, pelacur, nikah paksa atau sebagai bayaran untuk menyelesaikan perseteruan dengan suku lain.
Foto: Roberto Schmidt/AFP/GettyImages
4. Bangladesh
Indeks Perbudakan Global mencatat sebanyak 1.531.500 penduduk Bangladesh bekerja sebagai budak. Hampir 80% di antaranya adalah buruh paksa, sementara sisanya dijual untuk dinikahkan atau dijadikan prostitusi. Saat ini Bangladesh mencatat 390.000 perempuan menjadi korban pelacuran paksa.
Foto: picture-alliance/e70/ZUMA Press
5. Uzbekistan
Uzbekistan adalah produsen kapas terbesar keenam di dunia. Selama musim panen ratusan ribu penduduk dipaksa bekerja tanpa bayaran. Pemerintah berupaya memerangi praktik tersebut. Tapi Indeks Perbudakan Global 2016 mencatat tahun lalu sebanyak 1.236.600 penduduk masih bekerja sebagai budak di Uzbekistan.
Foto: Denis Sinyakov/AFP/Getty Images
6. Korea Utara
Berbeda dengan negara lain, sebanyak 1.100.000 budak di Korea Utara bukan bekerja di sektor swasta, melainkan untuk pemerintah. Eksploitasi buruh oleh pemerintah Pyongyang sudah lama menjadi masalah. Saat ini sebanyak 50.000 buruh Korut dikirim ke luar negeri oleh pemerintah untuk bekerja dengan upah minim. Program tersebut mendatangkan lebih dari 2 miliar Dollar AS ke kas negara.
Foto: picture alliance/AP Photo/D. Guttenfelder
7. Rusia
Pasar tenaga kerja Rusia yang mengalami booming sejak beberapa tahun silam banyak menyerap tenaga kerja dari berbagai negara bekas Uni Sovyet seperti Ukraina, Uzbekistan, Azerbaidjan atau bahkan Korea Utara. Saat ini sebanyak 1.048.500 buruh paksa bekerja di Rusia. Celakanya langkah pemerintah yang kerap mendiskriminasi buruh dari etnis minoritas justru membantu industri perbudakan.
Foto: picture-alliance/dpa
8. Nigeria
Tidak sedikit perempuan Nigeria yang dijual ke Eropa untuk bekerja di industri prostitusi. Namun sebagian besar buruh paksa mendarat di sektor informal di dalam negeri. Tercatat sebanyak 875.500 penduduk Nigeria bekerja di bawah paksaan.
Foto: UNICEF/NYHQ2010-1152/Asselin
9. Republik Demokratik Kongo
Serupa dengan negara-negara Afrika Sub Sahara lain, Republik Demokratik Kongo mencatat angka tertinggi dalam kasus perbudakan anak. Sebagian besar bekerja di sektor informal, prostitusi atau bahkan dijadikan tentara. Jumlah budak di RD Kongo mencapai 873.100 orang.
Foto: AFP/Getty Images
10. Indonesia
Menurut catatan Walk Free Foundation, kebanyakan buruh paksa di Indonesia bekerja di sektor perikanan dan konstruksi. Paksaan juga dialami tenaga kerja Indonesia di luar negeri seperti di Arab Saudi atau Malaysia. Secara umum Indonesia berada di urutan kesepuluh dalam daftar negara sarang perbudakan dengan jumlah 736.100 buruh paksa.
Foto: Getty Images
10 foto1 | 10
Pandangan berbeda CORE Indonesia
Sementara Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah memandang 2022 merupakan tahun dari pemulihan ekonomi setelah terpuruk dihantam pandemi.
"Dengan pulihnya ekonomi diharapkan pengangguran bisa kembali dikurangi," ucapnya.
Nah dengan momentum pemulihan ekonomi tersebut, Piter justru menilai dunia usaha jangan dulu dibebani dengan kenaikan UMP yang besar. Dia yakin jika momentum perbaikan ekonomi dan geliat dunia usaha kembali berjalan, maka lapangan pekerjaan akan tercipta.
"Dalam rangka pemulihan ekonomi tersebut menurut saya dunia usaha jangan dibebani dulu dengan kenaikan UMP. Fokus kita adalah pemulihan dan membuka lapangan kerja sebanyak mungkin," ucapnya.
Oleh karena itu, Piter justru menilai kenaikan UMP sekitar 1% sudah pas dengan kondisi saat ini.
"Kenaikan UMP sebesar 1% menurut saya cukup memadai. Yang penting bagaimana ekonomi bangkit kembali dan bisa menyerap banyak angkatan kerja," tutupnya. (Ed: ha/)