1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialQatar

Buruh Migran Qatar Nikmati Piala Dunia dengan Cara Berbeda

Lolade Adewuyi | Pascal Jochem
3 Desember 2022

Di pinggiran Doha, para pekerja migran akhirnya bisa menikmati pertandingan Piala Dunia 2022. Jauh dari ingar-bingar ibu kota Qatar, ingatan akan korban jiwa dan dampak turnamen tersebut tetap tidak dapat dilupakan.

Pekerja migran menonton pertandingan antara Portugal dan Ghana
Pekerja migran di Doha datang untuk menikmati pertandingan antara Portugal melawan Ghana pada 24 November 2022Foto: Christopher Lee/Getty Images

Qatar tidak akan bisa menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022 tanpa andil para pekerja migran, yang bahkan beberapa di antaranya tewas dalam proses pembangunan infrastruktur. Saat pertandingan terakhir tim nasional Qatar melawan Belanda pada Selasa (29/11), Stadion Kriket Asia Town di pinggiran Doha kembali menjadi pusat aktivitas pekerja migran.

Ribuan orang memenuhi stadion, menatap satu layar besar di Zona Fan Area Industri, yang bebas tiket masuk alias gratis di Stadion Kriket Asia Town. Tidak ada turis di sini. Hanya 45 menit berkendara dari pusat kota Doha, stadion ini merupakan satu-satunya ranah para pekerja migran.

Setiap hari, ribuan orang datang untuk menonton pertandingan Piala Dunia. Mereka hampir seluruhnya laki-laki muda, berusia antara 20 dan 40 tahun. Kebanyakan dari mereka berasal dari India, Bangladesh, Kenya, Nepal, atau Pakistan. Sebagian besar dari orang-orang ini bekerja di bidang konstruksi dan membangun infrastruktur yang disiapkan tuan rumah untuk turnamen tersebut.

Ada banyak ruang di Stadion Kriket Kota Asia di mana para penggemar bahkan memainkan pertandingan sepak bola lima lawan limaFoto: Christopher Lee/Getty Images

Suasana berbeda dari pusat kota Doha

Omna Rayan, 26, seorang tukang listrik dari Nepal yang pindah ke Qatar empat tahun lalu, mengunggah beberapa rekaman ke akun TikToknya, di mana ia memiliki lebih dari 2.000 pengikut. Gambar dan video kehidupannya di luar negeri membuatnya populer di kalangan teman-temannya di kampung halaman.

Rayan menghasilkan 1.200 riyal (Rp5 juta) sebulan, yang sebagian besar dikirim untuk orang tua di kampung halaman. "Gaji di sini lebih baik daripada di Nepal," katanya kepada DW. Itulah alasan dia pindah ke Qatar.

Buruh migran di Doha menonton pertandingan Portugal melawan GhanaFoto: Christopher Lee/Getty Images

Hal yang sama berlaku untuk Ibrahim Gazi, seorang pekerja konstruksi berusia 25 tahun dari India, yang seperti kebanyakan orang tidak dapat memenuhi keinginan untuk menyaksikan salah satu pertandingan secara langsung. "Ketika saya mencoba membeli tiket, tiketnya sudah terjual habis," kata Gazi, yang berpenghasilan 3.000 riyal (Rp12,7 juta) setiap bulan.

Syams dari India, termasuk di antara sedikit orang yang beruntung. Dia dan keluarganya telah tinggal di Qatar selama hampir 13 tahun. Dia berhasil mendapatkan tiket seharga €60 (Rp973 ribu).

"Kami membantu membangun negara ini," kata Syams. "Mengapa kami tidak diizinkan untuk menikmati Piala Dunia seperti orang Qatar?"

Keajaiban sepak bola adalah dapat melepaskan beban Anda dari masalah sehari-hari. Itulah yang terjadi di Stadion Kriket Asia Town sepanjang turnamen. Saat laga sepak bola belum dimulai, ada artis yang tampil di atas panggung.

"Ini adalah orang-orang yang membangun stadion dan mengubah Qatar seperti sekarang ini, suatu kehormatan untuk menghibur mereka," kata artis dari India Lincia Rosario kepada DW. Beberapa pria mengumpulkan keberanian untuk naik ke atas panggung dan menari mengikuti irama musik Hindi. Saat mereka menari, yang lain bersorak dan bertepuk tangan. 

(ha/hp)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait