1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialTimur Tengah

Busana Umat Islam Indonesia dan Arab Timteng

Sumanto al Qurtuby
Sumanto al Qurtuby
15 Januari 2022

Ada banyak perbedaan persepsi dan ekspresi antara (sebagian) umat Islam Indonesia dan Arab Timur Tengah (Timteng) berkaitan dengan aneka ragam persoalan sosial-kebudayaan dan keagamaan.

Gambar ilustrasi ragam busanaFoto: FAYEZ NURELDINE/AFP/Getty Images

Pemandangan kontras itu menunjukkan, klaim publik selama ini bahwa umat Islam Indonesia itu (sekali lagi tidak semuanya) cenderung ke-arab-arab-an sebetulnya tidak tepat karena ada banyak persepsi dan ekspresi masyarakat Islam Arab Timteng yang sangat bertolak belakang dengan umat Islam Indonesia. Belum lagi ditambah fakta empiris puluhan juta masyarakat Arab Timteng yang tidak beragama Islam.

Salah satu perbedaan yang cukup menonjol adalah tentang tata busana. Jamak diketahui, sebagian umat Islam Indonesia saat ini sedang hiruk-pikuk mewacanakan dan mempraktikkan apa yang mereka sebut sebagai "busana muslim” dan "busana muslimah”. Kalangan media, kelompok elite politik, selebritis, tokoh masyarakat dlsb ikut-ikutan menggemakan wacana dan terma "busana Muslim/Muslimah” ini. Meskipun sebetulnya tidak ada apa yang disebut atau diklaim sebagai "busana Muslim” atau "busana muslimah” itu (begitu pula tidak ada yang namanya "busana Kristen”, "busana Buddha”, "busana Hindu” dlsb). Yang ada adalah busana gamis, jarik, jeans, sarung, kebaya, piyama, baju koko, baju batik, kemeja, kerudung dlsb.

Jadi, istilah "busana muslim/muslimah” itu semacam re-kreasi atau re-konstruksi sejumlah kalangan umat Islam berdasarkan pandangan, pemahaman, dan penafsiran atas teks dan diskursus keagamaan tertentu, selain sebagai bagian dari upaya membangkitkan identitas keislaman di tengah serbuan gelombang modernitas dan globalisasi. Fenomena ini juga bisa dibaca sebagai penanda kemunculan atau kebangkitan "Islam formal” atau "Islam simbol”. 

Meskipun sejatinya istilah busana muslim/muslimah itu hanya "imajiner” belaka (hanya ada di alam pikiran saja) tetapi bagi kelompok Islam tertentu hal itu nyata adanya. Jika pandangan mereka tentang "busana muslim” itu relatif longgar, maka persepsi mereka tentang "busana muslimah” tampak sangat kaku.

Busana Muslim?

Yang mereka maksud dengan "busana muslim” itu biasanya gamis atau jubah yang, dalam persepsi dan imajinasi mereka, dianggap sebagai pakaian Nabi Muhammad. Bagi mereka, memakai gamis / jubah (apalagi yang berwarna putih) adalah bagian dari upaya mengikuti kebiasaan berpakaian Nabi Muhammad atau sunah rasul. Ada pula yang menganggap "baju koko” adalah "busana muslim”, walaupun terasa agak aneh dan janggal: kenapa baju koko yang dipengaruhi oleh budaya Tionghoa bisa dianggap sebagai "busana muslim”?

Tetapi suara atau wacana "busana muslim” ini tampaknya tidak banyak bergema dan berdampak di masyarakat. Yang menarik adalah umat Islam Arab Timteng tidak mengenal istilah "busana muslim.” Mereka juga tidak menganggap gamis sebagai "busana muslim” atau pakaian Nabi Muhammad melainkan pakaian sebagian masyarakat Arab kontemporer, baik muslim maupun bukan. Menurut mereka, busana yang dipakai masyarakat Arab pada abad ketujuh Masehi ketika Islam lahir di Jazirah Arab sangat berbeda dengan jubah masyarakat Arab masa kini.

Pakaian gamis sendiri memiliki aneka ragam corak. Setiap daerah berbeda-beda. Itupun hanya populer di kawasan Arab Teluk (Arab Saudi, Qatar, Bahrain, UEA, Kuwait, dan Oman), Yordania, dan Yaman. Di negara-negara Arab lain seperti Mesir, Irak, Libanon dlsb, gamis tidak populer. Mereka lebih banyak mengenakan pakaian non-gamis (jeans, kaos, jas, kemeja). Sedangkan baju koko sama sekali tidak mereka kenal.

Singkatnya, bagi umat Islam Arab Timteng, jenis pakaian apapun, termasuk gamis, tidak beragama dan bisa dipakai oleh umat mana saja. Karena itu jangan heran kalau menyaksikan sebagian umat Arab Kristen (termasuk pastor/pendetanya) mengenakan gamis lengkap dengan penutup kepala (kuffiyah, ghutrah dan lainnya) jika sedang beribadah atau kebaktian di gereja.      

Busana Muslimah?

Lalu, yang sebagian umat Islam Indonesia maksud dengan "busana muslimah” itu biasanya mengacu pada jenis busana yang bernama jilbab, hijab, dan kini ditambah cadar. Bahkan sekedar jilbab atau hijab saja tidak cukup. Mereka menambahi embel-embel "syar'i” (jilbab syar'i atau hijab syar'i) supaya dianggap lebih islami. Maksudnya, desain pakaian jilbab dan hijabnya harus panjang-lebar dan gelombor bukan minimalis.

Dalam bingkai pandangan dan kerangka pemikiran seperti ini, maka aneka ragam busana daerah seperti kebaya dan sejenisnya dianggap bukan busana muslimah, meskipun sama-sama berfungsi menutup aurat. Bukan hanya itu. Bagi kelompok muslim/muslimah yang lebih konservatif lagi bahkan memandang jilbab dan hijab itu harus berwarna hitam supaya lebih islami dan lebih syar'i lagi. Pula, mereka menganggap cadar (niqab dan sejenisnya) sebagai bagian dari ajaran Islam yang esensial sehingga wajib hukumnya bagi perempuan muslimah, baik dewasa maupun anak-anak, untuk mengenakannya.

Saya pernah melihat foto yang beredar luas di sosial media tentang para siswi sebuah Sekolah Dasar yang mengenakan kain cadar hitam. Saya sendiri di sebuah bandara pernah melihat anak-anak balita yang memakai kain cadar bersama ibu-ibu mereka yang juga bercadar hitam.

Pemandangan seperti ini nyaris susah dijumpai di kawasan Arab Timteng. Jangankan balita, anak-anak dan remaja juga tidak bercadar. Bahkan bukan hanya cadar, mereka juga tidak memakai hijab. Setidaknya hingga SMU. Meskipun tentu saja ada yang berhijab. Arab Saudi dan Qatar yang dianggap negara Arab paling konservatif di Timteng dalam hal aturan keagamaan dan berbusana (sebelum berubah sejak tahun-tahun terakhir ini) juga tidak mewajibkan dan mempraktikkan itu. Apalagi di negara-negara Arab Timteng lainnya.

Misalnya, kultur umat Islam Libanon dikenal moderat-liberal-modern, kecuali sejumlah faksi militan (seperti Hizbullah), sehingga banyak dijumpai perempuan yang berbusana casual tanpa jilbab dan hijab. Kelompok Islam Alawi di Suriah bahkan tidak mendoktrinkan dan mewajibkan hijab sehingga tak heran kalau banyak perempuan Alawi yang tak berhijab. Perempuan Saudi sekarang juga sudah mulai banyak yang tidak mengenakan hijab di ruang-ruang publik setelah pemerintah "memoderatkan” atau "mengfleksibelkan” aturan tata busana bagi perempuan.

Bukan hanya pemerintah sebetulnya, sejumlah tokoh muslim dan ulama Saudi ternama seperti Syaikh Abdullah Al-Mutlaq (ahli fiqih perbandingan mazhab serta anggota lembaga fatwa dan dewan ulama senior) dan Syaikh Muhammad bin Abdul Karim Al-Issa (Sekjen Muslim World League dan penerima Combat Anti-Semitism Award dari American Sephardi Federation) juga turut mewacanakan kelonggaran dan fleksibilitas bertata busana bagi perempuan muslimah. Syaikh Al-Mutlaq misalnya dengan tegas mengatakan bahwa perempuan muslimah tidak harus mengenakan pakaian sejenis jilbab (atau abaya) dan hijab, apalagi cadar.

Penulis: Sumanto al QurtubyFoto: S. al Qurtuby

Busana Daerah di Arab Timteng

Menariknya, ketika umat Islam Indonesia sedang gencar mewacanakan ketidakislamian aneka ragam jenis pakaian tradisional (busana daerah), Arab Saudi kini sedang gencar menghidupkan kembali aneka ragam busana daerah setelah hampir 40 tahun "mati suri”. Berbagai event peragaan busana daerah pun digelar. Para pengunjung dan turis juga disuguhi aneka ragam busana daerah.  

Seperti Indonesia, Arab Saudi dan negara-negara Arab Timteng lain juga banyak terdapat busana daerah. Meskipun tentu saja tidak sebanyak Indonesia. Setiap daerah dan kelompok suku atau klan Arab memilik ciri khas busana tradisional, baik laki-laki maupun perempuan, yang sangat warna-warni.

Sebelum kelompok Islam militan-konservatif menguasai panggung nasional kepolitikan dan keagamaan di awal tahun 1980an (paska terjadinya tragedi "Kudeta Ka'bah” yang dipimpin oleh Juhaiman al-Utaibi dan komplotannya), tata busana umat Islam Arab Saudi sangat longgar dan fleksibel. Pada waktu itu, seperti ditunjukkan dalam berbagai studi etnografi Arab Saudi, orang-orang yang mengenakan aneka ragam busana daerah atau kelompok suku juga menjadi pemandangan lumrah di tempat-tempat umum.

Tetapi pemandangan warna-warni itu sirna sejak mendiang Raja Khalid (kemudian kelak dilanjutkan oleh adiknya, Raja Fahd) memberi ruang, panggung, dan otoritas pada faksi Islam konsevatif-radikal itu untuk mengatur tetek-bengek urusan umat Islam termasuk dalam hal berbusana.

Maka demikianlah, sejak awal 1980an, diberlakukan aturan ketat bagi perempuan, yakni wajib mengenakan abaya (jilbab), hijab, dan cadar yang berwarna hitam. Jika tidak, mereka akan mendapat sanksi dan hukuman. Kenapa warna hitam? Karena warna itu dianggap yang paling bisa menutup aurat perempuan sehingga tidak kelihatan meskipun hanya samar-samar. Jadi, warna hitam mereka anggap yang paling islami (maksudnya yang sesuai dengan diktum syariat Islam). Sejak itu, pelan-pelan busana daerah / tradisional suku-suku Arab, baik laki-laki maupun perempuan, "dimusiumkan” karena dianggap tidak islami.

Tetapi sejak beberapa tahun terakhir ini berbagai aturan ketat berbusana itu mulai berubah seiring dengan perubahan sosial, kepolitikan, kebudayaan, dan keagamaan. Para ulama konservatif tidak lagi menguasai panggung kekuasaan dan keagamaan. Sejumlah lembaga keulamaan dan keagamaan juga diisi oleh para ulama berhaluan moderat-progresif. Polisi Syariat pun sudah "dilikuidasi”. Akibatnya, praktik berbusana pun semakin rileks dan longgar.

Refleksi untuk Umat Islam

Akhirul kalam, mengenakan busana apapun memang hak setiap individu. Tetapi jika berbusana itu diringi dengan sikap dan tindakan intoleransi, intimidasi, bullying, dan arogansi terhadap mereka yang tidak mengenakan busana serupa, maka klaim busana muslim/muslimah yang lebih islami, syar'i, dan berakhlak itu menjadi tidak islami, tidak syar'i, dan tidak berakhlak lagi, apalagi jika diiringi dengan penghinaan terhadap aneka ragam busana daerah Nusantara yang merupakan bagian dari warisan luhur leluhur mereka sendiri.

Pula, karena terma dan wacana busana muslim / muslimah itu hanyalah produk dari imajinasi, interpretasi, re-kreasi, dan re-konstruksi sebagian kelompok Islam, maka seharusnya tak perlu ada tetek-bengek aturan kewajiban berbusana muslim/muslimah dengan disertai sanki / hukuman bagi yang melanggar apalagi diterapkan di sekolah umum yang siswa-siswinya dari berbagai kelompok agama (atau munngkin tak beragama). Aturan semacam ini sama sekali tidak perlu, tidak penting, dan tidak esensial bagi perkembangan dunia pendidikan.

 

Penulis:  Sumanto Al Qurtuby

Pendiri Nusantara Institute dan Pengajar King Fahd University of Petroleum & Minerals

 

*Setiap tulisan yang dimuat dalam kolom  #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

 

 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait