Butuh waktu 60 tahun bagi Jerman untuk setuju membuka arsip milik Nazi. Butuh berapa lama Indonesia ungkap kebenaran kasus-kasus HAM, termasuk tragedi 1965? Opini Monique Rijkers.
Iklan
Akibat perbuatan Nazi, Jerman "terpojok” untuk bersikap. Untung Jerman memiliki pemimpin yang bersedia meruntuhkan tembok penghalang dan membangun jembatan pemulihan agar keluarga korban dan penyintas bisa mencicipi kebenaran, meski sudah terlambat 60 tahun. Jika membandingkan kasus dokumen Nazi dan sikap Jerman dengan kondisi di Indonesia, apakah ini berarti baru pada tahun 2025 bangsa Indonesia bisa mengetahui kebenaran 1965? Atau pada tahun 2058 untuk mengungkap Peristiwa Mei 1998?
Pada tahun 2014, saat mendapat kesempatan ke Australia untuk kursus singkat jurnalistik topik lingkungan, saya mampir ke Museum Holocaust Melbourne. Kebetulan ada acara Diskusi Umum dengan pembicara Paul Shapiro, Direktur Mandel Centre for Advanced Holocaust Studies pada Museum Holocaust di Washington DC, Amerika Serikat. Paul Shapiro menyampaikan pengalamannya berjuang membuka data arsip dari International Tracing Service (ITS) atau Layanan Penelusuran Arsip Internasional. Paul Saphiro berusaha keras agar arsip rahasia milik Hitler tersebut dapat diakses terutama oleh keluarga korban dan publik. Dalam pencatatan, Nazi termasuk sangat teratur dan lengkap. Paul Saphiro menunjukkan berbagai foto dokumen saat presentasi. Catatan Nazi tersebut adalah bentuk kebanggaan mereka yang berhasil menguasai orang Yahudi dan pertanggungjawaban mereka terhadap Hitler.
Satu hal yang menjadi pertanyaan, mengapa dokumen ITS perlu dibuka?
Bukankah itu akan menimbulkan luka dan trauma? Paul Saphiro menyatakan, ‘Informasi terkait ITS harus berada di tangan penyintas dan keluarga korban, ini adalah kewajiban moral dari kita yang hidup.” Selain itu data ITS merupakan tambang emas untuk riset mengenai Holocaust karena banyak pula penyintas yang masih anak-anak saat berada di kamp konsentrasi.
Namun, satu hal yang terpenting Paul Saphiro menegaskan, ITS membantah penolakan banyak orang terhadap Holocaust. Berkat ITS maka kebenaran sejarah bisa dibuktikan. ITS menyimpan seluruh data terkait persekusi, pemindahan paksa, kerja paksa dan Holocaust oleh Nazi dengan jumlah mencapai lebih dari 50 juta halaman dokumen yang berkaitan dengan nasib lebih dari 17,5 juta orang.
Arsip ITS awalnya dimiliki oleh Palang Merah Inggris dengan tujuan mengizinkan keluarga melacak keberadaan jutaan orang pengungsi dan orang hilang selama Perang Dunia Kedua. Lokasi penyimpanan ITS secara fisik sekarang bertempat di Bad Arolsen, Jerman namun tersedia layanan online bagi perpustakaan di seluruh dunia yang berminat memberi layanan pelacakan dokumen dan penelitian historis.
Bagaimana Rezim NAZI Hitler Promosikan Antisemitisme Lewat Film
Rezim Nazi dengan cerdik membungkus sentimen antisemitisme dalam film-film komersial yang mereka bantu pendanaannya. Ini memang jadi bagian strategi propaganda mereka.
Foto: picture-alliance/akg-images
Film dengan narasi propaganda antisemitisme
"Jud Süss," salah satu film propaganda Nazi yang paling terkenal, yang sekarang dilarang untuk umum. Disutradarai oleh Viet Harlan tahun 1940. Harlan menceritakan kisah seorang bankir Jerman-Yahudi Joseph Süss Oppenheimer dan menggambarkan dia sebagai Yahudi konteks propraganda Nazi. "Jud Süss" ketika dirilis pertama kali ditonton oleh jutaan warga Jerman.
Foto: picture-alliance/akg-images
Membungkus antisemitisme dalam seni
Dalam filmnya, Harlan menonjolkan prasangka antisemit lewat plot dan karakternya. Seorang penulis Jerman-Yahudi pernah mengatakan, "Jud Süss" adalah "bentuk anti-Semitisme artistik yang paling kejam dan disempurnakan." Seroang pengamat film menulis, "Film ini secara terbuka memobilisasi ketakutan dan agresi seksual dan mengarahkannya untuk kepentingan antisemitisme.
Foto: Unbekannt
"Sutradara maut"
Penulis biografinya menyebut Veit Harlan sang "sutradara maut," karena dia total mengabdikan diri pada ideologi Nazi. Setelah Jerman kalah dalam Perang Dunia II, Veit Harlen sempat diadili, tapi masih tetap bisa bekerja setelah menjalani masa larangan kerja beberapa tahun.
Foto: picture-alliance/dpa
Bagaimana memperlakukan film propaganda sekarang?
Setelah perang, banyak sekali tulisan dan ulasan tentang Viet Harlan dan filmnya "Jud Süss". Sutradara Oskar Roehler mengolah material ini dan membuat film melodramatis "Jud Suss: Film Ohne Gewissen (film tanpa nurani)" (2010).
Foto: picture-alliance/dpa/Concorde Filmverleih
Joseph Goebbels, otak di belakang layar
Nazi dengan cepat menyadari bahwa bioskop bisa punya efek ampuh untuk propaganda. Joseph Goebbels, juru propaganda Nazi, lalu menggunakan media untuk mempromosikan ideologi anti Yahudi. Departemennya membuat banyak film propaganda, uga dalam budaya dan pendidikan.
Foto: picture-alliance/akg-images
Film dokumenter palsu
Film anti-Semit buatan Nazi lainnya adalah "Der ewige Jude" (Yahudi abadi) yang dirilis beberapa bulan setelah "Jud Süss" pada tahun 1940. Film yang dibuat oleh Fritz Hippler ini menunjukkan pemandangan dari Ghetto di Warsawa. Film ini menunjukkan kehidupan seniman Yahudi dan tradisinya, yang digabungkan dengan kutipan-kutipan pidato Hitler. Film ini diperkenalkan sebagai film dokumenter.
Foto: picture-alliance/akg-images
Sutradara favorit Hitler: Leni Riefenstahl
Leni Riefenstahl adalah salah satu pembuat film Nazi yang mencoba membersihkan namanya setelah 1945. Dia bertanggung jawab untuk membuat film dalam demonstrasi-demonstrasi massal Nazi, yang menjadi bagian sentral dari dari mesin propaganda.
Foto: picture alliance/Keystone
Propaganda lewat layar perak
Kebanyakan film propaganda Nazi dibuat antara tahun 1933 dan 1945 dengan porsi anti-Semitisme yang lebih kecil dibandingkan dengan "Jud Süss." Beberapa film bahkan direvisi saat produksi. Film historis "Bismarck" (1940) pada awalnya direncanakan sebagai film propaganda yang jauh lebih agresif.
Foto: Picture-alliance/akg-images
8 foto1 | 8
Butuh 60 Tahun Untuk Membuka Arsip ITS
Meski akhirnya ITS bisa diakses oleh publik, namun perjalanan untuk mendapatkan akses sungguh berliku. ITS dikumpulkan dari dokumen catatan transportasi orang, data penjara dan data dari Gestapo. Menurut Paul Saphiro ada 100 juta data dari seluruh dunia. Data juga diperoleh dari tentara sekutu dan dari Kamp Pembebasan yang dikelola oleh Badan PBB yang menangani Pemulihan dan Rehabilitasi yang menampung mereka yang dibebaskan dari kamp konsentrasi.
ITS dijalankan oleh komisi yang terdiri dari 11 negara yakni Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Jerman, Italia, Belgia, Belanda, Yunani, Polandia, Luksemburg dan Israel. Untuk mencegah keingintahuan publik, Palang Merah sempat membantah dokumen ITS ini eksis. Jerman pun menolak mengungkap data tersebut. Bahkan Amerika Serikat ikut-ikutan ragu dan berharap negara lain yang menuntut pengungkapan dokumen tersebut.
Strategi Hitler Membunuh Demokrasi
Hanya dalam 18 bulan, seorang asing tanpa pendidikan formal atau pengalaman politik, tanpa kewarganegaraan atau kursi mayoritas di parlemen, mampu mengubah Jerman dari negara Demokrasi menjadi totaliter.
Foto: picture-alliance/dpa/Keystone
Kehancuran Jerman
Pada dekade 1920an Jerman yang sedang terseret krisis ekonomi dan sosial pasca Perang Dunia I, membutuhkan stabilitas politik untuk menggenjot perekonomian. Pada pemilu 1926 partai bentukan Adolf Hitler, NSDAP, cuma dipilih oleh 800.000 penduduk (2,6%). Namun pada September 1930, pendukung kaum fasis berlipatganda menjadi 6,4 juta pemilih (18,3%). Apa sebab?
Foto: Stadtmuseum Berlin
Strategi Hitam
Strategi Hitler buat merebut hati pemilih tertera dalam karyanya sendiri, Mein Kampf. Di dalamnya ia mengusulkan agar kampanye dibatasi pada isu yang bersifat emosional dan dikemas dalam kosakata politik yang sederhana dan mudah diingat. Selain itu pesan yang biasanya membidik emosi khalayak diulang sebanyak mungkin. NSDAP juga menghindari diferensiasi dan cendrung memukul rata obyek serangannya.
Foto: picture-alliance/Imagno
Bahasa Kaum Fasis
Menurut intelektual Yahudi-Jerman, Hannah Arendt, kaum fasis banyak mempropagandakan kebohongan ihwal ancaman oleh kaum Yahudi dan asing. Saat itu pun, tulis Arendt dalam The Origins of Totalitarianism, kaum kiri dan liberal berupaya menghalau kebohongan dengan fakta. Namun menurut Arendt, kebohongan anti asing dan Yahudi bukan dibuat untuk meyakinkan penduduk, melainkan sebuah ikrar politik.
Foto: ullstein
Didukung Petani dan Pengusaha
Berbeda dengan anggapan umum bahwa pemilih Hitler merupakan pengangguran yang frustasi atas kondisi ekonomi, sebuah studi teranyar mencatat pemilih terbesar NSDAP adalah petani, pensiunan dan pengusaha, terutama pemodal berkocek tebal yang mengimpikan kemajuan ekonomi lewat jalur cepat seperti yang dijanjikan oleh NSDAP.
Foto: picture-alliance/akg
Genting di Berlin
Menjelang pemilu Juli 1932 situasi politik di Jerman menyerupai perang saudara. Konflik berdarah antara simpatisan merajalela. Pada Juni 1932, 86 orang tewas dalam bentrok antara kaum Komunis dan sayap paramiliter NSDAP. Saat itu partai-partai pro demokrasi masih berharap hasil pemilu akan menggugurkan dominasi satu partai. Namun NSDAP justru keluar sebagai pemenang terbesar dengan 37,4% suara.
Foto: Getty Images
Nafsu Kuasa
Lantaran partai-partai politik gagal membentuk pemerintahan mayoritas, Jerman kembali menggelar pemilu pada November 1932. Kali ini NSDAP kehilangan banyak suara. Sebaliknya kaum kiri dan komunis menguasai 36% kursi di parlemen. Namun lantaran ingin berkuasa, sejumlah politisi papan atas Jerman memilih berkoalisi dengan NSDAP dan mengusung Hitler sebagai kanselir.
Foto: ullstein
Perebutan kekuasaan
Pada 30 Januari 1933 Hitler dilantik sebagai Kanselir. Ia lalu meminta Presiden Paul von Hindenburg buat membubarkan parlemen lantaran kebuntuan politik menyusul tidak adanya kekuatan mayoritas di parlemen. Permintaannya dikabulkan. Pada pemilu 1933 Hitler menggunakan kekuasaanya untuk menekan musuh-musuh politiknya. Pemilu tidak lagi bebas dan NSDAP menjelma menjadi kekuatan tunggal di parlemen.
Foto: picture-alliance/AP Images
Kematian Demokrasi
Sejak itu Nazi menggiatkan propaganda dan presekusi terhadap kaum Yahudi. Hitler yang meleburkan perangkat partai dengan lembaga negara dengan cepat mempreteli parlemen dan struktur demokrasi warisan Republik Weimar. Menjelang Perang Dunia II, NSDAP menggunakan strategi propaganda yang sama untuk membibit kebencian terhadap negara asing.
Foto: General Photographic Agency/Getty Images
8 foto1 | 8
Mengapa Israel Tidak Menuntut ITS Dibuka?
Pada tahun 2004, Badan Khusus Internasional mengenai Pendidikan, Mengenang dan Riset Holocaust bertemu di Roma, Italia dan sampai pada pertanyaan "Siapa yang akan memegang kendali ITS?” Jerman, Italia, Belgia dan Palang Merah Dunia akhirnya mau membuka ITS tapi tidak mau bertanggung jawab atas dampaknya. Sementara Belanda, Polandia dan Israel diam, tak bersuara. Ada peserta diskusi yang mempertanyakan alasan Israel tidak menuntut pengungkapan ITS, padahal Israel seharusnya paling berkepentingan soal ini. Paul Saphiro menyebutkan Israel diliputi keraguan sehingga memilih untuk tidak bertindak sementara Amerika memiliki banyak alasan untuk bertindak dan memaksa pengungkapan ITS.
Saat itu media sangat berperan penting membuka mata publik. Adalah sebuah koran lokal Mineapolis Star Tribune yang menurunkan tulisan tentang ITS. Sebuah koran di Jerman mempertanyakan momen pengungkapan ITS yang berdekatan dengan peresmian Berlin Memorial yang dikhawatirkan menimbulkan kontroversi. Lalu New York Times, Washington Times dan International Herald Tribune mulai menaruh perhatian pada isu ITS.
Puncaknya pada 2006, sebuah berita muncul di New York Times, "German Agrees to Open Holocaust Archive”. Butuh waktu 60 tahun bagi Jerman untuk memutuskan memberikan akses ITS bagi publik. Perdana Menteri Jerman Angela Merkel yang paling berperan dan patut diberi apresiasi karena keberaniannya mengubah kebijakan terkait ITS. Jerman setuju memberikan salinan dokumen ke semua Holocaust Memorial Centre. 11 negara akhirnya meratifikasi perjanjian ITS. Lalu pada 2007, program TV "60 Minutes” menurunkan episode tentang ITS dengan judul: "Hitler's Secret Archieves”. Pada November 2007, ITS dibuka untuk publik. Paul Saphiro berkomentar, "Sangat terlambat untuk banyak orang.”
Inilah Potret Para Dedengkot NAZI
Partai Pekerja Nasional-Sosialis Jerman NAZI mengukir sejarah kelam abad ke-20 lewat ideologi, propaganda dan kejahatan perang. Siapa saja para tokoh-tokohnya?
Foto: General Photographic Agency/Getty Images
Joseph Goebbels (1897-1945)
Sebagai Menteri Propaganda Hitler, penebar racun anti semit ini bertanggung jawab untuk memastikan semua pesan Nazi diterima oleh setiap warga negara di periode Reich Ketiga. Dia mencekik kebebasan pers, menguasai semua media, kesenian, dan informasi, dan mendorong Hitler menyatakan "Totalitas Perang". Goebbels dan istrinya bunuh diri pada tahun 1945, setelah meracuni keenam anak mereka.
Foto: picture-alliance/Everett Collection
Adolf Hitler (1889-1945)
Pemimpin Partai Nazi ini telah mengembangkan propaganda antisemitisme, antikomunisme dan ideologi rasisme ini sejak sebelum menjadi kanselir tahun 1933. Dia merusak institusi politik dan mengubah Jerman menjadi negara totaliter. Dari tahun 1939 sampai 1945, ia memimpin Jerman di Perang Dunia II sambil mengawasi Holocaust. Ia bunuh diri pada bulan April 1945.
Foto: picture-alliance/akg-images
Heinrich Himmler (1900-1945)
Sebagai pemimpin satuan milisi Nazi yang ditakuti: SS (Schutzstaffel), Himmler adalah salah satu anggota partai Nazi yang paling bertanggung jawab atas Holocaust. Dia juga menjabat sebagai kepala polisi dan Menteri Dalam Negeri, sehingga mengendalikan semua pasukan keamanan Reich Ketiga. Ia mengawasi pembangunan dan operasi semua kamp pemusnahan, di mana lebih dari 6 juta orang Yahudi dibunuh.
Foto: picture-alliance/dpa
Rudolf Hess (1894-1987)
Hess gabung dengan Nazi tahun 1920. Ia ambil bagian dalam Bierkeller Putsch (Hitlerputsch) 1923 -usaha Nazi dalam menumbangkan kekuasaan, namun gagal. Di penjara, ia membantu Hitler menulis "Mein Kampf." Hess terbang ke Skotlandia tahun 1941 untuk negosiasi perdamaian. ia ditangkap & ditahan sampai akhir perang. 1946, ia diadili di Nürnberg & dipenjara seumur hidup hingga meninggal dunia.
Foto: picture-alliance/dpa
Adolf Eichmann (1906-1962)
Bersama Himmler, Eichmann adalah fasilitator utama Holocaust. Sebagai letkol SS, ia berhasil mendeportasi massal orang Yahudi ke kamp-kamp pemusnahan Nazi di Eropa Timur. Setelah kekalahan Jerman, Eichmann melarikan diri ke Austria, lalu ke Argentina, di mana ia ditangkap Mossad Israel tahun 1960. Setelah dinyatakan bersalah atas kejahatan terhadap kemanusiaan, ia dieksekusi tahun 1962.
Foto: AP/dapd
Hermann Göring (1893-1946)
Göring menjadi orang kedua paling berkuasa di Jerman ketika Nazi berkuasa. Ia mendirikan Gestapo, polisi rahasia dan menjabat sebagai komandan angkatan udara Luftwaffe sampai sebelum perang berakhir, serta semakin tak dipercaya Hitler. Göring dihukum mati di Nürnberg tapi telanjur bunuh diri pada malam hari sebelum dieksekusi. Ed: Cristina Burack (ap/as)
Foto: Three Lions/Getty Images
6 foto1 | 6
Lantas apa signifikasi dari dibukanya data ITS dan konteks Indonesia?
Holocaust yang terjadi pada 1939 hingga 1945 bukan dilakukan oleh bangsa Jerman tetapi oleh Partai Nazi sebagai pemenang Pemilu namun akibatnya diderita oleh seluruh Jerman. Namun ada kemauan dari pemimpin Jerman untuk mengobati luka masa lalu dengan menelan "pil pahit” mengakui kesalahan alih-alih cuma membalut dengan "perban melupakan”. Rasa-rasanya Indonesia perlu sosok pemimpin yang bersedia meniru jejak nekad Merkel. Saatnya Indonesia memiliki Tim Pengungkapan Kebenaran Peristiwa '65 untuk menyudahi polemik sejarah saban bulan September. Saatnya kebenaran diperbincangan dalam ruang-ruang diskusi dan sejarah ditulis tanpa beban masa lalu dan bersih dari intimidasi dan ketakutan. Korban langsung Peristiwa '65 saat ini sudah jompo, mungkin generasi kita adalah generasi terakhir yang dapat mendengar langsung kesaksian mereka. Keluarga para korban pun tak hidup selama-lamanya, bukan? Kapan lagi kalau bukan sekarang?
Penulis:
Monique Rijkers adalah wartawan independen, IVLP Alumni, pendiri Hadassah of Indonesia, inisiator Tolerance Film Festival dan inisiator #IAMBRAVEINDONESIA.
Suara Bisu Perempuan Korban Tragedi 65
Jutaan penduduk menua dengan trauma 65 di pundaknya. Sebagian pernah disiksa dan kehilangan anggota keluarga. Hingga kini mereka menderita dalam diam. Tanpa suara. Tanpa keadilan.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Uang saya hanya cukup untuk menyambung nyawa"
Sumilah berusia 14 tahun ketika ia ditangkap tahun 1965. Tuduhannya: Dia adalah anggota dari gerakan perempuan "Gerwani". Aparat menghajarnya sampai pingsan. Mereka kemudian menyekap Sumilah di kamp Plantungan. Di sana baru diketahui bahwa ia korban salah tangkap. Di masa tua, Sumilah hidup di Yogyakarta dengan uang pas-pasan.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Mereka memukuli ayahku hingga hampir mati"
Ayah Kina diduga merupakan simpatisan Komunis. Ia ditangkap dan tak boleh bekerja. "Itu sebabnya saya mengambil peran sebagai pengganti ayah," kata dia. Kina berpakaian seperti anak laki-laki, bekerja di ladang an mengumpulkan kayu bakar. Masyarakat mengecapnya sebagai "anak komunis". Oleh karena itu, ia dan saudara-saudaranya kehilangan hak atas tanah ayah mereka .
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Masih tersimpan luka di hati saya"
Suami Lasinem ditangkap tahun 1969, disiksa & dikirim ke Pulau Buru. "Suamiku diangkut oleh kawannya sendiri, yang merupakan tentara. Dia dipukuli, punggungnya diinjak-injak sampai luka di sekujur tubuh," papar Lasinem. Perempuan ini ditinggalkan sendirian dengan anak-anaknya. Tahun 1972, mereka menyusul sang kepala keluarga ke Buru. Trauma ketakutan melekat di diri Lasinem hingga saat ini.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Meski dipukuli bertubi-tubipun saya tidak menangis"
Sri adalah seniman dan penyanyi yang tergabung dalam organisasi yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia. Pada tahun 1965 ia ditangkap, disiksa, dan dipenjara. "Depan kamar tidur kami penuh tahi," kenangnya. "Kotoran itu baunya tak tertahankan." Ketika dia dibebaskan pada tahun 1970, rumahnya sudah dirampas keluarga lain. Sri menjadi tunawisma. Di masa tua, ia tinggal bersama keponakannya.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Aku harus meninggalkan bayi perempuanku"
Berkali-kali Yohana ditangkap, ditahan, diinterogasi. Ketika ditangkap ke-2 kalinya, ia baru saja melahirkan. Ia dipisahkan dari bayinya masih menyusu. Dua tahun kemudian baru ia bertemu anak perempuannya lagi. "Pengalaman kekerasan itu menghantuiku terus," paparnya. Namun, sepanjang hayatnya, ia tak pernah menceritakan apa yang menimpanya saat itu, bahkan pada keluarganya sekalipun.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Mungkin takkan pernah lupa"
Ketika Juriah beumur 7 tahun, ayah diasingkan ke Pulau Buru tahun 1966. Saat menginjak usia 18 tahun, Juriah dipaksa ikut pernikahan massal. Dia harus berjanji tidak pernah meninggalkan Buru. Meskipun penuh penderitaan, ia tetap di sana: "Jika kita datang ke tempat-tempat tertentu, kita akan berbicara tentang masa lalu dan terasa seolah-olah kita tertusuk pisau."
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Orang-orang belum tahu kebenarannya"
"Begitu banyak hilang pada tahun 1965, tanpa pengadilan atau bukti-bukti keterlibatan dengan kasus 65," kata Migelina. Seluruh keluarganya dipenjara pada tahun 1965 - ia kehilangan orang tuanya dan kakaknya. Meski tragedi sudah berlalu berakhir, tetapi ia tetap mendoakan. Migelina percaya bahwa Tuhan memberinya kehidupan lebih panjang, untuk bisa mengetahui apa yang terjadi dengan keluarganya.