1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

CALS Minta Jokowi Cabut Pernyataan ‘Presiden Boleh Kampanye‘

25 Januari 2024

Sejumlah pembelajar dan pegiat hukum tata negara dan hukum administrasi negara yang tergabung dalam CALS, mengkritik Presiden Jokowi yang menyebut presiden dan menteri boleh berkampanye serta memihak di Pemilu.

Indonesien Präsident Joko Widodo
Foto: Isal/detikcom/2024

Constitutional and Administrative Law Society (CALS) yang terdiri dari sejumlah pembelajar dan pegiat hukum tata negara dan hukum administrasi negara mengkritik Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyebut presiden dan menteri boleh berkampanye serta memihak di Pemilu. CALS juga menganggap pasal yang jadi rujukan presiden boleh berkampanye banyak kelemahan.

CALS, yang di antaranya diisi oleh akademisi UGM Dr Yance Arizona, Peneliti PUSaKO Unand Beni Kurnia Ilahi dan Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Bivitri Susanti, menilai ucapan Jokowi itu tidak etis. Mereka mengingatkan soal aspek keadilan yang sangat penting dalam Pemilu.

"Kita bisa berdebat pada bunyi norma pasal-pasal dalam pemilu, namun UU Pemilu harus pertama-tama diletakkan dalam konteks asas-asas pemilu dalam UUD 1945 yaitu LUBER JURDIL, dengan penekanan pada aspek keadilan," ujar CALS dalam keterangan tertulis, Kamis (25/1/2024).

"Pernyataan Jokowi yang seakan memberi landasan hukum bagi sesuatu yang sebenarnya tidak etik dan melanggar asas keadilan dalam Pemilu sesungguhnya juga merupakan tindakan inkonstitusional karena melanggar asas Pemilu yang diatur dalam Pasal 22E UUD 1945," sambungnya.

Mereka menilai banyak kelemahan dalam UU Pemilu. Menurut CALS, UU Pemilu disusun atas kepentingan politik hingga dibuat berdasarkan kasus empirik. Mereka menganggap UU Pemilu belum mengantisipasi peristiwa seperti Pemilu 2024.

CALS pun membedah pasal 299 dalam UU Pemilu yang menyebut Presiden atau Wakil Presiden boleh berkampanye. Menurut mereka, pasal tersebut mengatur soal kampanye oleh Presiden atau Wakil Presiden jika kembali maju dalam Pilpres, alias jadi calon petahana.

"Dalam membaca teks pasal, kita harus menempatkannya dalam konstruksi pasal secara keseluruhan dan pengelompokan pasal dalam undang-undang. Ayat (3) dari pasal itu dan letaknya dalam bagian kedelapan dan Bab VII (tentang Kampanye) menunjukkan bahwa pasal itu dibuat untuk mengantisipasi situasi petahana yang mencalonkan diri. Lagipula, UU Pemilu mengandung banyak kelemahan. Karena selain proses legislasi mengandung kepentingan politik, norma hukum juga akan dibuat berdasarkan kasus empirik. Sedangkan nepotisme dan politik dinasti yang demikian parah serta 'cawe-cawe' politik yang telanjang, baru terjadi pada masa pemerintahan Jokowi. Karena itu, pasal-pasal itu memang belum mengantisipasi situasi presiden yang ingin berkampanye tanpa rasa sungkan dan malu," ucap mereka. 

Enam desakan terhadap Jokowi

Mereka juga membedah pasal 281 terkait kampanye yang mengikutsertakan Presiden, Wapres, Menteri serta kepala daerah. Dalam pasal itu, para pejabat tersebut tidak boleh menggunakan fasilitas dalam jabatannya hingga harus menjalani cuti di luar tanggungan negara.

"Pasal ini tidak akan menjamin Presiden bisa berlaku netral dan adil. Bisa saja terjadi, pagi hari bagi-bagi Bansos atas nama Presiden, lalu sore ikut mengkampanyekan anaknya yang jadi cawapres," ucapnya.

"Banyak sekali fasilitas administrasi dan protokoler yang melekat pada jabatan presiden. Saat ia berkampanye dalam masa cuti-pun, pasti akan ada Paspampres dan protokoler pengamanan presiden," sambungnya.

Mereka juga mengingatkan aturan dalam UU Administrasi Pemerintahan. Dalam pasal 42 dan 43, terdapat larangan bagi pejabat pemerintahan yang berpotensi memiliki konflik kepentingan untuk menetapkan keputusan atau tindakan.

"Presiden sebagai Penyelenggara Administrasi Pemerintahan juga mengabaikan ketentuan ini, yang sangat jelas mengatur soal konflik kepentingan yang dilatarbelakangi oleh hubungan dengan kerabat dan keluarga ketika melakukan sebuah tindakan/keputusan. Kampanye merupakan bagian dari sebuah Tindakan," ucap mereka.

Atas dasar itu, CALS memiliki enam desakan terhadap Jokowi. Berikut desakan dari CALS:

  1. Presiden Jokowi untuk mencabut pernyataannya tentang kebolehan berkampanye dan memperhatikan kepatutan dalam semua tindakan dan ucapannya, dengan mengingat kapasitas jabatannya sebagai presiden. 
  2. Presiden Jokowi untuk menghentikan semua tindakan jabatan dirinya maupun menteri-menterinya, yang telah dilakukan selama ini yang berdampak menguntungkan pasangan calon presiden.
  3. Bawaslu menjalankan tugasnya dengan baik dan bersiap-siap untuk menelaah dan memperjelas indikasi kecurangan yang bersifat TSM untuk mengantisipasi sengketa pemilu dan sengketa hasil pemilihan umum.
  4. Mahkamah Konstitusi mulai melakukan telaah mengenai perannya dalam menyelesaikan sengketa hasil pemilu nanti, dalam kaitannya dengan kecurangan yang bersifat TSM, dengan melihat konteks penyalahgunaan jabatan (berikut kebijakan dan anggaran) yang semakin terlihat indikasinya pada Pemilu 2024 ini.
  5. DPR RI mengajukan hak interpelasi dan hak angket kepada Presiden untuk menginvestigasi keterlibatan Presiden dan penggunaan kekuasaan Presiden dalam pemenangan salah satu kandidat pada Pemilu 2024.
  6. Seluruh penyelenggara negara (presiden, menteri, gubernur, bupati, walikota) untuk tidak berlindung di balik pasal-pasal dan mengesampingkan etik. Mundur dari jabatan jauh lebih etis dan terhormat dalam situasi politik yang sangat tidak demokratis hari-hati ini

 

Pernyataan Jokowi

Jokowi melontarkan pernyataan kalau presiden boleh berpihak dan berkampanye dalam kontestasi pemilu 2024. Jokowi mengatakan kampanye boleh dilakukan oleh presiden hingga menteri asalkan tidak menggunakan fasilitas negara.

Hal itu disampaikan Jokowi saat memberikan keterangan pers di Lanud Halim Perdanakusuma, Rabu (24/1/2024). Jokowi awalnya menjawab pertanyaan wartawan terkait menteri yang menjadi bagian dari timses paslon capres-cawapres.

"Hak demokrasi, hak politik setiap orang. Setiap menteri sama saja, yang paling penting, presiden itu boleh loh kampanye, presiden boleh loh memihak. Boleh," kata Jokowi.

"Tapi yang paling penting waktu kampanye tidak boleh menggunakan fasilitas negara. Boleh, kita ini pejabat publik sekaligus pejabat politik, masa begini nggak boleh, berpolitik boleh, menteri juga boleh," tambahnya.

Kubu capres nomor urut 2 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka menyatakan sepakat dengan ucapan Jokowi. Wakil Ketua TKN Habiburokhman setuju dengan pernyataan Jokowi. Dia mengatakan hukum memperbolehkan Presiden dan menteri aktif berkampanye untuk calon presiden.

"Sudah benar pernyataan Pak Jokowi bahwa konstitusi dan hukum kita memperbolehkan seorang Presiden atau menteri aktif berkampanye atau mendukung capres," kata Habiburokhman kepada wartawan, Rabu (24/1).

Habiburokhman mengatakan ada narasi sesat yang dibangun bahwa Presiden tidak boleh berpihak karena bisa menggunakan kekuasaan untuk menguntungkan salah satu calon. Dia mengatakan logika tersebut sudah runtuh sejak awal oleh aturan yang ada di UUD 1945. Dia juga mencontohkan bagaimana Barack Obama mendukung dan mengkampanyekan Hillary Clinton di Pilpres AS.

"Narasi sesat dibangun berdasarkan logika yang sesat, bahwa jika presiden atau menteri aktif tidak boleh berpihak karena bisa menggunakan kekuasaan untuk menguntungkan pihak yang didukung," ujarnya. (pkp)

 

Jangan lewatkan konten-konten eksklusif berbahasa Indonesia dari DW. Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!



Baca selengkapnya di: detiknews

CALS Minta Jokowi Cabut Pernyataan soal Presiden Boleh Kampanye