Dalam menyingkirkan lawan-lawannya adalah, Soeharto sangat canggih dan kaya akan imajinasi. Bagaimana maksudnya? Berikut opini Aris Santoso.
Iklan
Pada 21 dan 22 Mei lalu, beberapa titik strategis di Jakarta dilanda kerusuhan, sehingga aparat polisi sempat melakukan tindakan yang cukup keras, untuk meredam brutalitas peserta aksi. Publik sudah tahu, bahwa aksi itu dipicu ketidakpuasan kubu Prabowo terhadap hasil penetapan KPU atas Pilpres 2019. Prabowo adalah seorang purnawirawan jenderal, yang juga punya pendukung hardliner sesama purnawirawan juga.
Peristiwa kerusuhan 21-22 Mei tersebut, seperti memberi konfirmasi atas asumsi selama ini, bahwa segala peristiwa besar di Tanah Air, khususnya yang berbentuk huru-hara, adalah kelanjutan dari konflik di kalangan elite militer. Meski Prabowo sudah purnawirawan, dan para jenderal yang mendukungnya juga sudah purnawirawan, namun mereka masih memiliki pengaruh, dan yang lebih penting, juga masih memiliki akses ke massa.
Termasuk kerusuhan baru-baru ini, bisa dibaca sebagai ekses dari konflik antara purnawirawan di kubu Jokowi dan kubu Prabowo. Dan lebih spesifik lagi adalah konflik pribadi sejak lama antara Prabowo dan Luhut Panjaitan. Namun masalahnya, konflik internal militer militer seperti itu selalu meninggalkan catatan hitam, yakni menjadikan rakyat kebanyakan sebagai korban. Pada titik inilah, kita bisa belajar dari Soeharto, yang memiliki beragam cara untuk menyingkirkan pesaingnya dengan cara senyap, tanpa harus ribut-ribut.
Suharto - Jalan Darah Menuju Istana
Demi menyingkirkan Soekarno, Suharto menunggangi pergolakan di tanah air dan mengorganisir pembantaian jutaan pendukung PKI. Dia sebenarnya bisa mencegah peristiwa G30S, tetapi memilih diam, lalu memanfaatkannya.
Foto: picture-alliance/dpa
Prajurit Tak Bertuan
Suharto banyak berurusan dengan pemberontakan Darul Islam selama meniti karir militernya. Pasca kemerdekaan ia juga aktif memberantas kelompok kiri di antara pasukannya. Tahun 1959, ia nyaris dipecat oleh Jendral Nasution dan diseret ke mahkamah militer oleh Kolonel Ahmad Yani karena meminta uang kepada perusahaan-perusahaan di Jawa Tengah. Namun karirnya diselamatkan oleh Jendral Gatot Subroto.
Foto: picture alliance/United Archives/WHA
Dua Musuh di Bawah Bayang Soekarno
Seperti banyak prajurit yang lain, Suharto mencurigai kedekatan Soekarno dan pimpinan Partai Komunis Indonesia (dalam gambar D.N. Aidit). Terutama sejak pemberontakan komunis di Madiun 1948, eksistensi PKI sangat bergantung pada dukungan Soekarno. Tanpanya PKI akan lumat oleh tentara. Permusuhan ABRI dan PKI tidak cuma beraroma politis, melainkan juga dipenuhi unsur kebencian.
Foto: picture-alliance/United Archives/TopFoto
Bibit Perpecahan
Suharto sibuk membenahi karir ketika permusuhan ABRI dan PKI mulai memanas. Buat mencegah PKI memenangkan pemilu dan menguasai pemerintahan, ABRI yang saat itu dipimpin duet Ahmad Yani dan A.H. Nasution mengajukan mosi menjadikan Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Saat itu, konstelasi politik sudah mulai bergeser: Soekarno tidak lagi melihat ABRI sebagai sekutu utamanya, melainkan PKI.
Foto: AFP/Getty Images
Berkaca Pada Tiongkok
Meniru gerakan kaum komunis di Tiongkok, PKI berupaya memperluas kuasa dengan niat mempersenjatai petani dan praktik land reform. Soekarno menyetujui yang kedua dengan mengesahkan UU Pokok Agraria 1960. Tiga tahun kemudian, PKI melakukan aksi sepihak dengan merebut tanah milik para Kyai di Jawa dan membagikannya pada petani miskin. Langkah itu menciptakan musuh baru buat PKI, yakni kelompok Islam.
Foto: AP
Sikap Diam Suharto
Enam jam sebelum peristiwa G30S, Kolonel Abdul Latief mendatangi Soeharto buat mengabarkan perihal rencana Cakrabirawa menculik tujuh Jendral. Latief saat itu mengira, Suharto adalah loyalis Soekarno dan akan memberikan dukungan. Kesaksian Latief menyebut, Suharto cuma berdiam diri. Setelah peristiwa penculikan jendral, Suharto yang menjabat Panglima Kostrad lalu mengambil alih komando ABRI.
Foto: picture-alliance/dpa
Kehancuran PKI, Kebangkitan Suharto
Pada 30 September, pasukan pengamanan Presiden, Cakrabirawa, mengeksekusi tujuh dari 11 pimpinan ABRI yang diduga kuat ingin mengkudeta Soekarno. Suharto lalu memerintahkan pembubaran PKI dan penangkapan orang-orang yang terlibat. Letnan Kolonel Untung, komandan Cakrabirawa yang sebenarnya kenalan dekat Suharto dan ikut dalam operasi pembebasan Irian Barat, ditangkap, diadili dan dieksekusi.
Foto: AP
Demo dan Propaganda
Pergerakan Suharto setelah G30S semata-mata diniatkan demi melucuti kekuasaan Soekarno. Ia antara lain mengirimkan prajurit RPKAD buat menguasai Jakarta, termasuk Istana Negara. Panglima Kostrad itu juga lihai menunggangi sikap antipati mahasiswa terhadap Sukarno yang dimabuk kuasa. Saat Soekarno bimbang ihwal keterlibatan PKI dalam G30S, mahasiswa turun ke jalan menuntutnya mundur dari jabatan.
Foto: Getty Images/C. Goldstein
Malam Pogrom, Tahun Kebiadaban
Di tengah aksi demonstrasi mahasiswa di Jakarta, ABRI memobilisasi kekuatan buat memusnahkan pendukung PKI di Jawa dan Bali. Dengan memanfaatkan kebencian kaum santri dan kelompok nasionalis, tentara mengorganisir pembunuhan massal. Jumlah korban hingga kini tidak jelas. Pakar sejarah menyebut antara 500.000 hingga tiga juta orang tewas. Tidak semuanya simpatisan PKI.
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
Eksekusi Disusul Eksodus
Selain menangkap dan mengeksekusi, massa dikerahkan menghancurkan toko-toko, kantor dan rumah milik mereka yang diduga pendukung komunis. Sebagian yang mampu, memilih untuk mengungsi ke luar negeri. Termasuk di antaranya Sobron, adik kandung pimpinan PKI D.N. Aidit yang hijrah ke Tiongkok dan lalu ke Perancis dan bermukim di sana hingga wafat tahun 2007.
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
Kelahiran Orde Baru
Setelah peristiwa G30S, Suharto yang notabene telah menjadi orang nomor satu di kalangan militer, membiarkan Soekarno berada di jabatannya, sembari menata peralihan kekuasaan. Selama 18 bulan, Suharto menyingkirkan semua loyalis Soekarno dari tubuh ABRI, menggandeng parlemen, mahasiswa dan kekuatan Islam, serta mengakhiri konfrontasi Malaysia. Kekuasaan Soekarno berakhir resmi di tangan MPRS.
Foto: DW
10 foto1 | 10
Simbolis
Sesaat setelah memperoleh Supersemar, Soeharto secara bertahap mulai menyingkirkan lawan-lawan politik di militer, yang sekiranya berpotensi menghambat hasrat Soeharto untuk berkuasa. Salah satu jenderal yang masuk daftar untuk segera disingkirkan adalah, adalah Mayjen Ibrahim Adjie (Panglima Siliwangi), seorang jenderal yang dikenal sangat setia pada Soekarno.
Dari sekian banyak jenderal Soekarnois, Ibrahim Adjie perlu diberi catatan khusus. Mungkin karena karismanya yang demikian besar, Soeharto tampak hati-hati dalam memperlakukan Ibrahim Adjie. Beda cara dengan jenderal-jenderal lain, yang disingkirkan secara tertutup, khusus terhadap Ibrahim Adjie, Soeharto menyempatkan turun sendiri ke "lapangan”.
Soeharto menyingkirkan Ibrahim Adjie dengan sangat halus, dan cenderung simbolik. Pada 20 Mei 1966, jadi hanya dua bulan setelah menerima Supersemar, Soeharto (selaku KSAD) meresmikan berdirinya Brigade Infanteri 17/Kujang I di Bandung, satuan baru di bawah Kodam VI/Siliwangi. Dalam peresmian satuan tersebut Mayjen Ibrahim Adjie (Pangdam Siliwangi) dan Brigjen HR Dharsono (Pak Ton, Kasdam Siliwangi) juga hadir, selaku pimpinan kodam dengan nama besar tersebut.
Koruptor Paling Tamak Dalam Sejarah
Hampir tidak ada diktatur di dunia yang tidak menilap uang negara. Tapi ketika sebagian puas dengan vila atau jet pribadi, yang lain rakus tanpa henti. Berikut daftar koruptor yang paling getol mengumpulkan uang haram
Foto: AP
#1. Soeharto, Indonesia
Selama 32 tahun berkuasa di Indonesia, Suharto dan keluarganya diyakini menilap uang negara antara 15 hingga 35 miliar US Dollar atau sekitar 463 trilyun Rupiah. Jendral bintang lima ini lihai menyembunyikan kekayaannya lewat berbagai yayasan atau rekening rahasia di luar negeri. Hingga kini kekayaan Suharto masih tersimpan rapih oleh keluarga Cendana
Foto: picture alliance/CPA Media
#2. Ferdinand Marcos, Filipina
Ferdinand Marcos banyak menilap uang negara selama 21 tahun kekuasaanya di Filipina. Menurut Transparency International, ia mengantongi setidaknya 10 milyar US Dollar. Terutama isterinya, Imelda, banyak menikmati uang haram tersebut dengan mengoleksi lebih dari 3000 pasang sepatu. Imelda kini kembali aktif berpolitik dan ditaksir memiliki kekayaan sebesar 22 juta USD
Foto: picture-alliance/Everett Collection
#3. Mobutu Sese Seko, Zaire
Serupa Suharto, Mobutu Sese Seko berkuasa di Zaire selama 32 tahun. Sang raja lihai memainkan isu invasi negara komunis Angola untuk mengamankan dukungan barat. Ketika lengser, Mobutu Sese Seko menilap hampir separuh dana bantuan IMF sebesar 12 milyar US Dollar untuk Zaire dan meninggalkan negaranya dalam jerat utang.
Foto: AP
#4. Sani Abacha, Nigeria
Cuma butuh waktu lima tahun buat Sani Abacha untuk mengosongkan kas Nigeria. Antara 1993 hingga kematiannya tahun 1998, sang presiden meraup duit haram sebesar 5 milyar US Dollar atau sekitar 66 trilyun Rupiah. Sesaat setelah meninggal, isterinya lari ke luar negeri dengan membawa 38 koper berisi uang. Polisi kemudian menemukan perhiasan senilai jutaan dollar ketika menggeledah kediaman pribadinya
Foto: I. Sanogo/AFP/Getty Images
#5. Slobodan Milosevic, Serbia
Slobodan Milosevic yang berkuasa di Serbia antara 1989-1997 dan kemudian Yugoslavia hingga 2000 tidak cuma dikenal berkat serangkaian pelanggaran HAM berat yang didakwakan kepadanya, melainkan juga kasus korupsi. Selama berkuasa Milosevic diyakini menilap uang negara sebesar 1 milyar US Dollar atau sekitar 13 trilyun Rupiah.
Foto: picture-alliance/dpa/dpaweb
#6. Jean-Claude Duvalier, Haiti
Selama 15 tahun kekuasaannya di Haiti, Jean-Claude Duvalier tidak cuma bertindak brutal terhadap oposisi, tetapi juga rajin mengalihkan uang negara ke rekening pribadinya di Swiss. Saat kembali dari pengasingan 2011 silam, Duvalier didakwa korupsi senilai 800 juta US Dollar.
Foto: picture-alliance/AP/Dieu Nalio Chery
#7. Alberto Fujimori, Peru
Alberto Fujimori berkuasa selama 10 tahun di Peru. Buat pendukungya, dia menyelamatkan Peru dari terorisme kelompok kiri dan kehancuran ekonomi. Tapi Fujimori punya sederet catatan gelap, antara lain menerima uang suap dan berbagai tindak korupsi lain. Menurut Transparency International ia mengantongi uang haram sebesar 600 juta US Dollar atau sekitar 8 trilyun Rupiah.
Foto: picture-alliance/dpa
7 foto1 | 7
Upacara tersebut seolah merupakan "salam perpisahan” bagi Ibrahim Adjie, sebab tepat sebulan kemudian, dirinya dicopot selaku Panglima Siliwangi, untuk digantikan HR Dharsono. Kesan satire bagi Ibrahim Adjie semakin terasa, ketika yang dilantik sebagai komandan pertama Brigif 17 adalah Letkol Inf Himawan Soetanto. Himawan adalah perwira yang dibesarkan Siliwangi, namun dikemudian hari dikenal sangat setia pada Soeharto, yang notabene adalah bagian dari rumpun Diponegoro.
Upacara hari itu juga ingin menegaskan, bahwa kini Kodam Siliwangi tak lagi dominan, sebagaimana citra yang berkembang sebelumnya. Soeharto sebagai bagian dari rumpun (Kodam) Diponegoro, sudah menunjukkan eksistensinya sebagai "raja” baru di Angkatan Darat. Sebab selama ini ada kesan, Kodam Diponegoro selalu berada di bawah bayang-bayang Kodam Siliwangi.
Dominasi Soeharto terhadap Kodam Siliwangi semakin terlihat, ketika dia pada akhirnya juga menyingkirkan HR Dharsono (Pak Ton), sekitar dua tahun kemudian. Kebersamaannya bersama Pak Ton ternyata hanya seumur jagung. Pak Ton disingkirkan setelah bersekutu sejenak guna menyingkirkan Ibrahim Adjie, dan unsur Soekarnois lainnya di Siliwangi.
Misteri Di Balik Supersemar
Supersemar mengubah wajah Indonesia dalam sekejap. Tidak banyak yang diketahui tentang surat sakti yang membuka jalan kekuasaan Suharto itu. Sang diktatur sendiri memilih membawa rahasianya itu hingga ke alam baka
Foto: Public Domain
Sejarah di Surat Palsu
Saat ini arsip negara menyimpan tiga versi Surat Perintah Sebelas Maret. Salah satunya berasal dari Sekretariat Negara, yang lain dari Pusat Penerangan TNI Angkatan Darat dan terakhir cuma berupa salinan tanpa kop surat kenegaraan. Ketiga surat tersebut dinyatakan palsu oleh sejarahawan. Hingga kini tidak jelas di mana keberadaan salinan asli Supersemar.
Foto: Public Domain
Tiga Diutus Suharto
Misteri juga menggelayuti penandatanganan Supersemar. Awalnya Sukarno dilarikan ke Bogor setelah sidang kabinet 11 Maret 1966 di Jakarta dikepung oleh "pasukan liar" yang kemudian diketahui adalah pasukan Kostrad. Di Bogor Sukarno disantroni tiga jendral utusan Suharto. Sejarah lalu mencatat buram apa yang terjadi di Istana. Yang jelas pulang ke Jakarta ketiga jendral telah mengantongi Supersemar
Foto: picture alliance/United Archives/WHA
Sebuah Pistol dan Amuk Massa
Tidak jelas bagaimana Sukarno mau menandatangani surat yang praktis melucuti kekuasaannya itu. Kesaksian pengawal presiden, Sukardjo Wilardjito, menyebut Sukarno ditodong pistol oleh seorang jendral utusan Suharto. Catatan lain menyebut Sukarno terpaksa membubuhkan tandatangannya karena saat itu istana Bogor telah dikepung tank-tank TNI dan ribuan massa yang berunjuk rasa.
Foto: picture-alliance/dpa
Serah Kuasa Jendral Bintang Lima
Supersemar diyakini tidak menyebut secara eksplisit penyerahan kekuasaan kepada Suharto seperti yang dipropagandakan oleh TNI. Dalam pidato Sukarno pada 17 Agustus 1966 ia mengecam pihak yang telah menghianati perintahnya. "Jangan jegal perintah saya. Jangan saya dikentuti!" pekiknya saat itu. Sukarno kembali menekankan Supersemar bukan "transfer of authority, melainkan sekedar surat perintah"
Foto: picture-alliance/dpa
Surat Istana Berkop Militer
Sejumlah orang mengaku mengetik Supersemar, antara lain Letkol (Purn) Ali Ebram, seorang perwira Cakrabirawa. Menurutnya ia mengetik naskah Supersemar dengan didampingi langsung oleh Sukarno. Namun sejahrawan Irlandia, Benedict Anderson mencatat kesaksian perwira lain bahwa Supersemar ditulis di atas kertas berkop Markas Besar Angkatan Darat. Artinya naskah Supersemar tidak disusun oleh Sukarno
Foto: Bartlomiej Zyczynski/Fotolia.com
Gerak Cepat Suharto
Hanya 24 jam setelah terbitnya surat sakti itu Suharto membubarkan PKI, menangkapi anggota kabinet dan orang-orang tedekat Sukarno. Menurut adik Suharto, Probosutedjo, surat itu tidak secara eksplisit memerintahkan pembubaran PKI. Sebab itu pula Sukarno menerbitkan surat perintah 13 Maret buat menganulir Supersemar. Serupa Supersemar, naskah asli surat perintah itu hingga kini lenyap tanpa bekas
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
Terbenamnya Sang Putra Fajar
Setelah kekuasaannya dilucuti, Sukarno diasingkan dari kancah politik di Jakarta. Ia dilarang membaca koran atau mendengar radio. Kunjungan keluarga dan layanan kesehatan dibatasi. Sementara itu Suharto mulai membangun kekuasaan dengan membentuk kabinet dan membujuk parlemen untuk mengesahkan Supersemar dalam TAP MPRS No. IX/MPRS/1966.
Foto: picture alliance/ZUMA Press/A. Priyono
Membisu Hingga ke Alam Baka
Supersemar pada akhirnya digunakan oleh Suharto untuk melahirkan rejim orde baru. Hingga kematiannya sang diktatur tidak berniat membuka tabir sejarah gelap tersebut, begitu pula dengan orang-orang terdekatnya. Berbagai upaya yang dilakukan Arsip Nasional untuk menemukan naskah asli Supersemar terbentur sikap diam pejabat orba. Saat ini semua saksi kunci Supersemar telah meninggal dunia.
Foto: Public Domain
8 foto1 | 8
Kedekatan dengan Soedirman
Cara lain yang biasa dilakukan Soeharto untuk menyingkirkan lawannya adalah dengan menghambat karier perwira bersangkutan, salah satu yang bisa disebut adalah Suadi Suromihardjo (terakhir berpangkat Mayjen). Sama dengan Ibrahim Adjie, Suadi juga dikenal sebagai Soekarnois, sebuah istilah yang merujuk pada perwira yang dianggap setia pada Soekarno.
Hubungan antara Soeharto dengan Suadi terbilang unik, mengingat keduanya sama-sama dari rumpun Diponegoro, hanya karena faktor politik, perjalanan karir keduanya bersimpang jalan. Sejak dulu karier seorang perwira adalah misteri, dimana soal nasib tak dapat diramalkan, begitulah yang terjadi pada Suadi dan Soeharto. Keduanya sama-sama lahir tahun 1921, dan sama-sama pula memiliki kedekatan dengan Panglima Soedirman.
Dalam kasus Suadi memang ganjil, karena Suadi dipinggirkan, berdasarkan alasan keterkaitannya dengan Peristiwa Madiun 1948. Kenapa baru dipersoalkan pasca-Peristiwa 1965? Jadi ada tumpang-tindih argumentasi pada kasus eliminasi Suadi, yakni antara Madiun 1948 dan Peristiwa 1965.
G30SPKI: Dusta di Ujung Nyawa Pahlawan Revolusi
Adegan penyiksaan di film G30SPKI terhadap pahlawan revolusi bertentangan dengan otopsi yang diperintahkan Soeharto sendiri. Tapi demi kampanye anti komunis, bagian tersebut dihilangkan. Inilah hasil otopsi tim forensik
Foto: Davidelit
Kabar Burung di Halaman Muka
Adalah dua harian milik ABRI, Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha yang pertamakali melayangkan tudingan "penyiksaan barabarik" terhadap para jendral korban kudeta Partai Komunis Indonesia, termasuk bahwa mata korban "ditjungkil" dan "kemaluannya dipotong." Suharto sendiri dikutip membenarkan adanya "indikasi penyiksaan" di tubuh korban. Padahal hasil otopsi berkata lain.
Otopsi Dr. Kertopati
Selama delapan jam tim forensik yang dipimpin Dr. Roebiono Kertopati dan Dr. Sutomo Tjokronegoro bekerja hingga dini hari buat mengungkap penyebab kematian ketujuh jendral pahlawan revolusi. Hasil otopsi yang dilakukan atas perintah Suharto sendiri itu kemudian ditemukan lagi oleh sejahrawan Cornell University, Amerika Serikat, Ben Anderson.
Foto: Getty Images/Three Lions
Jendral Ahmad Yani
Jendral Ahmad Yani dikabarkan tewas di kediaman pribadinya setelah diberondong peluru oleh pasukan Tjakrabirawa pimpinan Lettu Doel Arief. Hasil otopsi hanya membenarkan separuh klaim tersebut. Tim forensik cuma menemukan delapan luka tembakan dari arah depan dan dua tembakan dari arah belakang. Yani diyakini meninggal dunia seketika sebelum jenazahnya diangkut oleh Tjakrabirawa.
Foto: Davidelit
Brigade Jendral D.I. Panjaitan
Hal serupa terjadi dengan Brigade Jendral Donald Isaac Panjaitan. Hasil pemeriksaan menyebut dia mendapat tiga tembakan di bagian kepala dan sebuah luka kecil di lengan. Tidak ada bukti penyiksaan pada tubuh seperti yang ditudingkan oleh mabes ABRI kala itu.
Foto: Davidelit
Mayor Jendral M.T. Haryono
Adapun laporan kematian Letnan Jendral Mas Tirtodarmo Haryono masih menimbulkan teka-teki karena tercatat tidak memiliki luka tembakan. Dokter hanya menemukan luka tusukan di bagian perut yang diduga disebabkan oleh bayonet. Luka serupa yang ditengarai tidak fatal juga ditemukan pada punggung dan pergelangan tangan korban yang diduga muncul ketika jenazah dilemparkan ke Lubang Buaya.
Foto: Davidelit
Mayor Jendral Siswondo Parman
S. Parman menderita lima luka tembakan, termasuk dua di kepala yang menyebabkan kematiannya. Tim forensik juga menemukan luka atau retakan pada tengkorak, rahang dan bagian bawah kaki kiri yang disebabkan oleh trauma. Tidak ada yang bisa memastikan penyebab trauma tersebut. Ben Anderson menulis pukulan popor senjata atau benturan pada lantai dan dinding sumur bisa menjadi penyebabnya.
Foto: Davidelit
Letnan Jendral Soeprapto
Letjen Soeprapto meninggal dunia akibat sebelas luka tembakan di berbagai bagian tubuh. Serupa S. Parman, dia juga menderita keretakan tulang di bagian tengkorak dan tiga luka sayatan yang diduga disebabkan oleh bayonet. Keretakan pada tulang korban diyakini sebagai akibat benturan dengan benda tumpul seperti popor senapan atau batu.
Foto: Davidelit
Brigade Jendral Sutoyo Siswomiharjo
Brigjend Sutoyo adalah sosok yang paling ramai dikaitkan sebagai korban penyiksaan PKI. Di dalam film G30SPKI anggota Gerwani ditampilkan menyungkil salah satu matanya. Namun hasil otopsi berkata lain. Sutoyo menderita tiga luka tembakan, termasuk satu luka fatal di kepala, dan trauma di bagian lengan kanan.
Foto: Davidelit
Kapten Czi. Pierre Tandean
Serupa yang lain, Pierre Tandean meninggal dunia akibat empat tembakan oleh pasukan Tjakrabirawa. Dia juga menderita luka dalam di bagian kening dan lengan kiri, serta "tiga luka terbuka akibat trauma di kepala." Tidak seorangpun dari tim dokter forensik bisa memastikan indikasi penyiksaan seperti yang ditudingkan Suharto kala itu.
Foto: Davidelit
9 foto1 | 9
Mengapa penyingkiran terhadap Suadi terkesan mulus? Saya kira justru disebabkan adanya kedekatan khusus antara Suadi dan Soeharto sejak lama. Seperti bunyi peribahasa lama, hati orang siapa tahu. Keduanya dikenal sebagai perwira yang sangat dekat Panglima Soedirman, Overste Suadi adalah Komandan Pasukan Kawal Soedirman saat melaksanakan perjalanan gerilya yang monumental itu. Sementara Overste (Letkol) Soeharto yang menjemput Soedirman, untuk sama-sama kembali ke Jogja pasca-perang kemerdekaan.
Sedikit mundur ke belakang, Suadi pula yang mendampingi Soeharto dalam memonitor kondisi Madiun usai peristiwa September 1948, sekitar tanggal 19 atau 20 September 1948. Soeharto turun langsung ke lapangan berdasar perintah Jenderal Soedirman. Namun di kemudian hari, kebersamaan keduanya di Madiun, justru dijadikan alasan Soeharto, bahwa Suadi dianggap terlibat Peristiwa Madiun 1948.
Rahasia Amerika Terkait Pembantaian 1965
Dokumen rahasia AS mengungkap dosa kolektif Indonesia dalam pembantaian 1965. Selain ABRI, organisasi keagamaan dan warga sipil juga ikut terlibat membunuh simpatisan PKI yang tidak berurusan dengan Gerakan 30 September.
Foto: Getty Images/Keystone
08 Juni 1965
Pejabat konsulat AS di Medan, Robert Blackburn, melaporkan perwira militer membubarkan pemerintahan sipil lokal di bawah komando Dwikora yang dikeluarkan Presiden Sukarno untuk memperkuat ABRI dalam kampanye ganyang Malaysia. Pada 1 Oktober, perwira ABRI menggunakan kewenangan tersebut untuk mendeklarasikan darurat militer dan melancarkan gelombang pembantaian pertama terhadap simpatisan PKI.
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
05 Agustus 1965
Sjafruddin Prawiranegara, tokoh Partai Masyumi, menyurati direktur dana bantuan AS, USAID, Edwin L. Fox, untuk menyampaikan "dukungan antusias" atas perang Vietnam. Menurutnya Washington "mengikuti satu-satunya jalan yang benar untuk menghadang agresi Komunisme." Kemenlu AS menulis surat Sjafruddin "luar biasa" mengingat sikap oposisi kelompok anti-PKI terhadap kebijakan luar negeri AS saat itu.
Foto: Getty Images/P. Christain
12 Oktober 1965
Duta Besar AS untuk Indonesia, Marshall Green, mengutip duta besar Jerman di Indonesia yang mengklaim "tentara mempertimbangkan kemungkinan mengkudeta Sukarno dan mendekati sejumlah kedutaan negara barat untuk mengabarkan kemungkinan itu." Isu tersebut dibocorkan oleh Mabes ABRI setelah Sukarno menolak permintaan militer yang ingin menunjukkan bukti-bukti "pengkhianatan Gerakan 30 September."
Foto: Imago/Xinhua
23 Oktober 1965
Adnan Buyung Nasution yang ketika itu menjabat sebagai jaksa di usia 31 tahun mengatakan kepada Sekretaris Kedutaan Besar AS Robert Rich bahwa "tentara telah mengeksekusi banyak orang komunis. Tapi fakta itu harus disembunyikan." Dalam percakapan yang dilaporkan melalui telegram kepada Kemenlu AS itu Buyung juga mengklaim "represi tentara terhadap PKI harus disembunyikan dari Soekarno."
Foto: Getty Images/AFP/B. Ismoyo
30 November 1965
Kedutaan AS melaporkan "dalam sejumlah pertemuan dengan tokoh pemuda, Jendral Nasution mengungkapkan tekadnya melanjutkan kampanye represif terhadapn PKI" yang diduga dilakukan atas perintah Suharto. Organisasi pemuda muslim di banyak kota ikut dilibatkan dalam gelombang pembunuhan lanjutan yang diprakarsai oleh ABRI.
Foto: Getty Images/C. Goldstein
28 Desember 1965
Kawat diplomatik mengungkap pembantaian berlanjut di Jawa Timur, "tapi dalam skala yang lebih kecil dan dirahasiakan." Korban dibawa keluar dari kota untuk dibantai. Kepada Washington, kedubes AS mengabarkan Nahdlatul Ulama ikut membantu "kampanye melenyapkan PKI." Bahkan Kapolda Jawa Timur Sumarsono mengatakan pihaknya "sulit menghentikan gelombang pembunuhan."
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
20 Juni 1967
Sebuah telegram dari kedutaan besar AS di Jakarta kepada Menlu Dean Rusk di Washington merekam sikap kritis Menlu Indonesia terhadap Suharto lantaran menggandeng Partai Nasional Indonesia. Adam Malik meyakini Suharto ingin menggunakan PNI sebagai "kekuatan tandingan" terhadap "organisasi Islam" yang kian berpengaruh dan dianggap mulai mengancam kekuasaan ABRI.
Foto: Getty Images/Keystone
7 foto1 | 7
Miskin Imajinasi
Pelajaran yang bisa kita petik dari gaya Soeharto dalam menyingkirkan lawan-lawannya adalah, Soeharto sangat canggih dan kaya akan imajinasi. Benar, soal imajinasi inilah yang tidak kita dapatkan dari elite militergenerasi sekarang, dalam mencari cara untuk mengatasi konflik. Karena tidak adanya imajinasi, sehingga perwujudannya terkesan kacau, seperti kerusuhan di Jakarta baru-baru ini.
Seperti telah dikabarkan media, bagaimana mungkin seorang perwira sekelas Letjen (Purn) Sjafrie Sjamsuddin bersedia turun ke lapangan untuk bergabung dengan para demonstran. Ikut turunnya Sjafrie hari itu bisa dibaca sebagai "terjun bebas” bagi seorang jenderal. Masih segar dalam ingatan kita, ketika Sjafrie ditunjuk sebagai Wakil Ketua Umum Panitia Penyelenggara Asian Games 2018 (INASGOC), jadi Sjafrie adalah wakil dari Erick Thohir. Dengan kata lain, rezim Jokowi masih memberi kepercayaan pada Sjafrie saat itu.
Mesin Uang Gurita Cendana
Keserakahan keluarga Cendana nyaris membuat Indonesia bangkrut. Oleh banyak pihak keluarga Suharto disebut mengantongi kekayaan sebesar 200 triliun Rupiah. Inilah jurus gurita cendana mengeruk duit haram dari kas negara:
Foto: Getty Images/AFP/J. Macdougall
Gurita Harta
Suharto punya cara lihai mendulang harta haram. Ia mendirikan yayasan untuk berbinis dan mendeklarasikannya sebagai lembaga sosial agar terbebas dari pajak. Dengan cara itu ia mencaplok perusahaan-perusahaan mapan yang bergerak di bisnis strategis, seperti perbankan, konstruksi dan makanan. Menurut majalah Time, Suharto menguasai 3.6 juta hektar lahan, termasuk 40% wilayah Timor Leste
Foto: AP
Yayasan Siluman
Tidak hanya menghindari pajak, yayasan milik keluarga Cendana juga mendulang rejeki lewat dana sumbangan paksaan. Cara-cara semacam itu tertuang dalam berbagai keputusan presiden, antara lain Keppres No. 92/1996 yang mewajibkan perusahaan atau perorangan menyetor duit sebesar 2% dari penghasilan tahunan. Dana yang didaulat untuk keluarga miskin itu disetor ke berbagai yayasan Suharto.
Foto: Getty Images/AFP/J. Macdougall
Bisnis Terselubung
Bekas Jaksa Agung Soedjono Atmonegoro pernah menganalisa laporan keuangan ke empat yayasan terbesar Suharto. "Yayasan ini dibentuk untuk kegiatan sosial," tuturnya. "Tapi Suharto menggunakannya untuk memindahkan uang ke anak dan kroninya." Soedjono menemukan, Yayasan Supersemar menggunakan 84% dananya untuk keperluan bisnis, semisal pinjaman lunak kepada perusahaan yang dimiliki anak dan kroninya
Foto: picture alliance/dpa/A. Lolong
Lewat Kartel dan Monopoli
Cara lain yang gemar ditempuh Suharto untuk menggerakkan mesin uang Cendana adalah melalui monopoli. Teman dekatnya, The Kian Seng alias Bob Hasan, misalnya memimpin kartel kayu lewat Asosiasi Panel Kayu Indonesia (APKINDO). Pengusaha yang kemudian dijebloskan ke penjara itu sering disebut sebagai ATM hidup keluarga cendana.
Foto: Getty Images/AFP/Firman
Bisnis Tepung Paman Liem
Taipan lain yang juga menjadi roda uang Cendana adalah Sudomo Salim alias Liem Sioe Liong. Sejak tahun 1969 pengusaha kelahiran Cina itu sudah mengantongi monopoli bisnis tepung lewat PT. Bogasari. Dari situ ia membangun imperium bisnis makanan berupa Indofood. Pria yang biasa disapa "Paman Liem" ini juga menjadi mentor bisnis buat putra putri Suharto.
Foto: Getty Images/AFP/R. Gacad
Uang Minyak
Bukan rahasia lagi jika Pertamina pada era Suharto menjelma menjadi dompet raksasa keluarga Cendana. Sejak awal sang diktatur sudah menempatkan orang kepercayaannya, Ibnu Sutowo, buat memimpin perusahaan pelat merah tersebut. Sutowo kemudian memberikan kesaksian kepada majalah Time, tahun 1976 ia dipaksa menjual minyak ke Jepang dan menilap 0,10 Dollar AS untuk setiap barrel minyak yang diekspor.
Foto: picture-alliance/dpa
Pewaris Tahta Cendana
Siti Hardiyanti Rukmana alias Tutut sejak awal sudah diusung sebagai pewaris tahta Cendana. Putri tertua Suharto ini tidak cuma menguasai puluhan ribu hektar lahan sawit, stasiun televisi TPI dan 14% saham di Bank Central Asia, tetapi juga memanen harta tak terhingga lewat jalan tol. Hingga 1998 kekayaannya ditaksir mencapai 4,5 triliun Rupiah.
Foto: Getty Images/AFP/B. Ismoyo
Merajalela Lewat Bulog
Dari semua putera Suharto, Bambang adalah satu-satunya yang paling banyak berurusan dengan Liem Sioe Liong. Setelah mendirikan Bimantara Grup, Bambang terjun ke bisnis impor pangan lewat Badan Urusan Logistik yang saat itu didominasi Liem. Menurut catatan Tempo, selama 18 tahun kroni Suharto mengimpor bahan pangan lewat Bulog senilai 5 miliar Dollar AS.
Foto: picture-alliance/dpa
Duit Cengkeh untuk Tommy
Melalui monopoli Hutomo Mandala Putra meraup kekayaan hingga 5 triliun Rupiah. Tahun 1996 ia mendapat status pelopor mobil nasional dan berhak mengimpor barang mewah dan suku cadang tanpa dikenai pajak. Selain itu Tommy juga menguasai Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh yang memonopoli penjualan dari petani ke produsen rokok. BPPC ditengarai banyak membuat petani cengkeh bangkrut.
Foto: Getty Images/AFP/R. Gacad
Akhir Pahit Diktatur Tamak
Secara lihai Suharto membajak pertumbuhan ekonomi untuk kepentingan keluarga. Menurut Bank Dunia, antara 1988 hingga 1996, Indonesia menerima investasi asing senilai USD130 miliar. Tapi struktur perekonomian yang dibuat untuk memperkaya kroni Cendana justru menyeret Indonesia dalam krisis ekonomi dan mengakhiri kekuasaan sang jendral. (rzn/yf: economist, times, bloomberg, bbc, kompas, tempo)
Foto: Gemeinfrei
10 foto1 | 10
Dalam hitungan bulan, Sjafrie sudah turun ke jalan, lalu apa yang dicari Sjafrie? Saya kira Sjafrie adalah representasi dari kelompok purnawirawan yang tidak mau belajar dari Soeharto. Para purnawirawan itu kurang sabar, mereka menjadi limbung ketika tak lagi berkuasa. Bandingkan dengan Soeharto yang sangat mulus dan rapih dalam menyingkirkan lawan-lawannya. Seperti ketika Soeharto menyingkirkan Suadi, itu baru dilakukan Soeharto pada awal tahun 1970-an, padahal Soeharto sudah berkuasa penuh sejak 1966.
Miskin imajinasi itu pula yang menjadikan para purnawirawan Jenderal tidak memiliki kreativitas dalam menciptakan ruang pengabdian baru pascapensiun. Selama ini ada pernyataan klise: purnawirawan tidak mengenal istilah "pensiun” dalam mengabdi kepada bangsa dan negara. Statemen ini kemudian ditafsirkan mereka sendiri secara sempit, bahwa mengabdi itu artinya tetap dalam lingkaran kekuasaan. Ini seolah jebakan bagi para purnawirawan jenderal, mereka terkurung dalam asumsi yang mereka bangun sendiri.
Penulis:
Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di bawah ini. Terima kasih.
Mengenang Kerusuhan Mei 1998
Menurut data Tim Relawan Untuk Kemanusian, Mei 1998 terdapat 1.190 korban tewas dalam keadaan terbakar dan ratusan korban hilang. Sementara korban dan/atau saksi mata perkosaan ada 189 orang.
Foto: Monique Rijkers
Hampir Dilalap Api
Mei 1998, Steven Winata berjalan kaki mengantar sabun, 500 meter dari rumahnya di kawasan Sawah Besar, Jakarta Pusat. Dalam keadaan tangan penuh barang bawaan, murid sekolah dasar ini dituduh menyenggol dan membuat seorang anak pribumi jatuh ke dalam selokan. Massa yang mengamuk hampir membakar tubuh Steven. “Saya selamat karena Ketua RT mengenali saya dan mengantar saya pulang.”
Foto: Monique Rijkers
Api Reformasi Akan Terus Menyala
Suara tuntutan agar Presiden Soeharto lakukan reformasi politik bergema di sejumlah kampus termasuk dari Universitas Trisakti, Jakarta Barat. Namun aksi unjuk rasa damai itu dilawan dengan tembakan peluru tajam yang tewaskan 4 mahasiswa Trisakti. Taman Reformasi adalah inisiatif mahasiswa dan diresmikan bekas Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama tahun 2014 agar Api Reformasi terus menyala
Foto: Monique Rijkers
Terjebak Api
Mei 1998, tahun lokasi pusat perbelanjaan ini menjadi sasaran penjarahan massa. Namun bangunan itu terbakar dan ditemukan 118 jasad tewas terbakar yang tak dapat dikenali. Kini pusat perbelanjaan baru yang semarak dengan papan iklan di Klender, Jakarta Timur itu seakan ingin meredam ingatan pada teriak tubuh-tubuh yang dijilati api.
Foto: Monique Rijkers
Akibat Api Sentimen Rasial
Penjarahan saat Kerusuhan Mei ’98 bukan hanya menyasar pusat perbelanjaan, rumah warga pun tak luput dari sasaran massa. Rumah Sudono Salim, pemilik Bank BCA di kawasan Gunung Sahari, Jakarta Pusat diserbu massa dan sempat dibakar. Kini deretan aset keluarga Sudono Salim menjadi “monumen” sentimen rasial yang kembali menyala dua dekade lalu.
Foto: Monique Rijkers
Melawan Api Kebencian
Salah satu lokasi kerusuhan 98 adalah kawasan Glodok, Jakarta Barat. Pada sebuah lorong sempit di Glodok, Jakarta Barat sebuah pintu rumah terbuka dan terlihat sejumlah pria duduk sambil mendengar musik Mandarin. Bapak yang tak mau disebut namanya itu mengaku rumahnya dibakar orang pada Mei 1998 lalu. Kini rumah-rumah ini kembali dibangun. Warga mengurung diri dalam pagar tinggi demi rasa aman.
Foto: Monique Rijkers
Sisa Dari Yang Terbakar
Sepotong balok kayu bekas rumah yang terbakar Mei 1998 lalu masih dipertahankan oleh pemiliknya sebagai tonggak kesaksian peristiwa yang ingin ia lupakan. Informasi berasal dari petugas Perlindungan Masyarakat setempat.
Foto: Monique Rijkers
Bertugas Saat Api Melanda
Widodo adalah petugas Perlindungan Masyarakat di RW 01, Taman Sari, Jakarta Barat. Mei 1998, ia bertugas di lokasi dalam foto dan menyaksikan api menjalar seluruh tempat usaha sekaligus rumah warga. Widodo mengaku tidak mampu mencegah massa karena massa dan warga sudah berbaur sedangkan ia sibuk membantu petugas pemadam kebakaran. “Semua rumah yang sekarang ini rumah baru”, kata Widodo.
Foto: Monique Rijkers
Bangkit Dari Abu
Toko alat sembahyang agama Buddha ini sebelum kerusuhan adalah percetakan sekaligus rumah tiga lantai di Glodok, Jakbar. Setelah ludes terbakar, rmereka memulai dari nol. “Tak mau ingat-ingat lagi”, kata ibu yang menolak sebut namanya. “Kerugian alat cetak ratusan juta rupiah dan materi bisa dihitung tetapi kerugian mental tak ternilai.”, ujar anak laki-laki pemilik toko yang turut menjaga toko.
Foto: Monique Rijkers
Saksi Mata Selamat
Hendry (68 tahun) mempunyai rumah sekaligus bengkel las bubut di Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat. Mei 1998 keluarganya menyelamatkan diri, menumpang di bedeng di sebelah rumahnya. Sementara Udin (50 tahun) saat itu jualan rokok di trotoar sebelah bengkel las bubut Hendry. Saat kerusuhan terjadi ia memilih pulang ke kampung di Kuningan, Jawa Barat. Udin dan Hendry sudah bersahabat selama 30 tahun
Foto: Monique Rijkers
Korban Tragedi
Pemerintah memakamkan korban tewas yang tidak bisa dikenali atau tidak beridentitas di TPU Pondok Rangon, Jakarta Timur. Seratusan nisan tak bernama menandai tragedi kemanusiaan 1998. Tahun 2015, pemerintah Jakarta resmikan Prasasti Tragedi Mei’98 bertuliskan pesan “Pengorbanan jiwa mereka telah menyalakan api reformasi menuju Indonesia yang lebih rukun, bermartabat dan cinta damai.”
Foto: Monique Rijkers
Pemerkosaan Itu Ada
Tim Relawan Untuk Kemanusian Mei ’98 menerima laporan korban perkosaan saat kerusuhan. Laporan yang bisa diverifikasi dengan menemui korban dan/atau saksi mata ada 189 orang. Ita.F. dan Dr Lie Dharmawan memeriksa fisik serta merawat sejumlah korban pemerkosaan. Korban pemerkosaan Mei ’98 Ita Martadinata tewas dibunuh Oktober 1998 saat akan bersaksi di PBB. Penulis: Monique Rijkers (ap/vlz)