1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Cara Soeharto Menyingkirkan Para Pesaingnya

Indonesien Blogger Aris Santoso
Aris Santoso
8 Juni 2019

Dalam menyingkirkan lawan-lawannya adalah, Soeharto sangat canggih dan kaya akan imajinasi. Bagaimana maksudnya? Berikut opini Aris Santoso.

Foto: Public Domain

Pada 21 dan 22 Mei lalu, beberapa titik strategis di Jakarta dilanda kerusuhan, sehingga aparat polisi sempat melakukan tindakan yang cukup keras, untuk meredam brutalitas peserta aksi. Publik sudah tahu, bahwa aksi itu dipicu ketidakpuasan kubu Prabowo terhadap hasil penetapan KPU atas Pilpres 2019. Prabowo adalah seorang purnawirawan jenderal, yang juga punya pendukung hardliner sesama purnawirawan juga.

Penulis: Aris Santoso Foto: privat

Peristiwa kerusuhan 21-22 Mei tersebut, seperti memberi konfirmasi atas asumsi selama ini, bahwa segala peristiwa besar di Tanah Air, khususnya yang berbentuk huru-hara, adalah kelanjutan dari konflik di kalangan elite militer. Meski Prabowo sudah purnawirawan, dan para jenderal yang mendukungnya juga sudah purnawirawan, namun mereka masih memiliki pengaruh, dan yang lebih penting, juga masih memiliki akses ke massa.

Termasuk  kerusuhan baru-baru ini, bisa dibaca sebagai ekses dari  konflik antara purnawirawan di kubu Jokowi dan kubu Prabowo. Dan lebih spesifik lagi adalah konflik pribadi sejak lama antara Prabowo dan Luhut Panjaitan. Namun masalahnya, konflik internal militer militer seperti itu selalu meninggalkan catatan hitam, yakni menjadikan rakyat kebanyakan sebagai korban. Pada titik inilah, kita bisa belajar dari Soeharto, yang memiliki beragam cara untuk menyingkirkan pesaingnya dengan cara senyap, tanpa harus ribut-ribut.

Simbolis

Sesaat setelah memperoleh Supersemar, Soeharto secara bertahap mulai menyingkirkan lawan-lawan politik di militer, yang sekiranya berpotensi menghambat hasrat Soeharto untuk berkuasa. Salah satu jenderal yang masuk daftar untuk segera disingkirkan adalah, adalah Mayjen Ibrahim Adjie (Panglima Siliwangi), seorang jenderal yang dikenal sangat setia pada Soekarno.

Dari sekian banyak jenderal Soekarnois, Ibrahim Adjie perlu diberi catatan khusus. Mungkin karena karismanya yang demikian besar,  Soeharto tampak hati-hati dalam memperlakukan Ibrahim Adjie. Beda cara dengan jenderal-jenderal lain, yang disingkirkan secara tertutup, khusus terhadap Ibrahim Adjie, Soeharto  menyempatkan turun  sendiri ke "lapangan”.

Soeharto menyingkirkan Ibrahim Adjie dengan sangat halus, dan cenderung simbolik. Pada 20 Mei 1966, jadi hanya dua bulan setelah menerima Supersemar, Soeharto (selaku KSAD) meresmikan berdirinya Brigade Infanteri 17/Kujang I di Bandung, satuan baru di bawah Kodam VI/Siliwangi. Dalam peresmian satuan tersebut  Mayjen Ibrahim Adjie (Pangdam Siliwangi) dan Brigjen HR Dharsono (Pak Ton, Kasdam Siliwangi) juga hadir, selaku pimpinan kodam dengan nama besar tersebut.

Upacara tersebut seolah merupakan "salam perpisahan” bagi Ibrahim Adjie, sebab tepat sebulan kemudian, dirinya dicopot selaku Panglima Siliwangi, untuk digantikan  HR Dharsono. Kesan satire bagi Ibrahim Adjie semakin terasa, ketika yang dilantik sebagai komandan pertama Brigif 17 adalah Letkol Inf Himawan Soetanto. Himawan adalah perwira yang dibesarkan Siliwangi, namun dikemudian hari dikenal sangat setia pada Soeharto, yang notabene adalah bagian dari rumpun Diponegoro.

Upacara hari itu juga ingin menegaskan, bahwa kini Kodam Siliwangi tak lagi dominan, sebagaimana citra yang berkembang sebelumnya. Soeharto sebagai bagian dari rumpun (Kodam) Diponegoro, sudah menunjukkan eksistensinya sebagai "raja” baru di Angkatan Darat. Sebab selama ini ada kesan, Kodam Diponegoro selalu berada di bawah bayang-bayang Kodam Siliwangi.

Dominasi Soeharto terhadap Kodam Siliwangi semakin terlihat, ketika dia pada akhirnya juga menyingkirkan HR Dharsono (Pak Ton), sekitar dua tahun kemudian. Kebersamaannya bersama Pak Ton ternyata hanya seumur jagung. Pak Ton disingkirkan setelah bersekutu sejenak guna menyingkirkan Ibrahim Adjie, dan unsur Soekarnois lainnya di Siliwangi.

Kedekatan dengan Soedirman

Cara lain yang biasa dilakukan Soeharto untuk menyingkirkan lawannya adalah dengan menghambat karier perwira bersangkutan, salah satu yang bisa disebut adalah Suadi Suromihardjo (terakhir berpangkat Mayjen). Sama dengan Ibrahim Adjie, Suadi juga dikenal sebagai Soekarnois, sebuah istilah yang merujuk pada perwira yang dianggap setia pada Soekarno.

Hubungan antara Soeharto dengan Suadi terbilang unik, mengingat keduanya sama-sama dari rumpun Diponegoro, hanya karena faktor politik, perjalanan karir keduanya  bersimpang jalan. Sejak dulu karier seorang perwira adalah misteri, dimana soal nasib tak dapat diramalkan, begitulah yang terjadi pada Suadi dan Soeharto. Keduanya sama-sama lahir tahun 1921, dan sama-sama pula memiliki kedekatan dengan Panglima Soedirman.

Dalam kasus Suadi memang ganjil, karena Suadi dipinggirkan, berdasarkan alasan keterkaitannya dengan Peristiwa Madiun 1948. Kenapa baru dipersoalkan pasca-Peristiwa 1965? Jadi ada tumpang-tindih argumentasi pada kasus eliminasi Suadi, yakni antara Madiun 1948 dan Peristiwa 1965.

Mengapa penyingkiran terhadap Suadi terkesan mulus? Saya kira justru disebabkan adanya kedekatan khusus antara Suadi dan Soeharto sejak lama. Seperti bunyi peribahasa lama, hati orang siapa tahu. Keduanya dikenal sebagai perwira yang sangat dekat Panglima Soedirman, Overste Suadi adalah Komandan Pasukan Kawal Soedirman saat melaksanakan perjalanan gerilya yang monumental itu. Sementara Overste (Letkol) Soeharto yang menjemput Soedirman, untuk sama-sama kembali ke Jogja pasca-perang kemerdekaan.

Sedikit mundur ke belakang, Suadi pula yang mendampingi Soeharto dalam memonitor kondisi Madiun usai peristiwa September 1948, sekitar tanggal 19 atau 20 September 1948. Soeharto turun langsung ke lapangan berdasar perintah Jenderal Soedirman. Namun di kemudian hari, kebersamaan keduanya di Madiun, justru dijadikan alasan Soeharto, bahwa Suadi dianggap terlibat Peristiwa Madiun 1948.

Miskin Imajinasi

Pelajaran yang bisa kita petik dari gaya Soeharto dalam menyingkirkan lawan-lawannya adalah, Soeharto sangat canggih dan kaya akan imajinasi. Benar, soal imajinasi inilah yang tidak kita dapatkan dari elite militergenerasi sekarang, dalam mencari cara untuk mengatasi konflik. Karena tidak adanya imajinasi, sehingga perwujudannya terkesan kacau, seperti kerusuhan di Jakarta baru-baru ini.

Seperti telah dikabarkan media, bagaimana mungkin seorang perwira sekelas Letjen (Purn) Sjafrie Sjamsuddin bersedia turun ke lapangan untuk bergabung dengan para demonstran. Ikut turunnya Sjafrie hari itu bisa dibaca sebagai "terjun bebas” bagi seorang jenderal. Masih segar dalam ingatan kita, ketika Sjafrie ditunjuk sebagai Wakil Ketua Umum Panitia Penyelenggara Asian Games 2018 (INASGOC), jadi Sjafrie adalah wakil dari Erick Thohir. Dengan kata lain, rezim Jokowi masih memberi kepercayaan pada Sjafrie saat itu.

Dalam hitungan bulan, Sjafrie sudah turun ke jalan, lalu apa yang dicari Sjafrie? Saya kira Sjafrie adalah representasi dari kelompok purnawirawan yang tidak mau belajar dari Soeharto. Para purnawirawan itu kurang sabar, mereka menjadi limbung ketika tak lagi berkuasa. Bandingkan dengan Soeharto yang sangat mulus dan rapih dalam menyingkirkan lawan-lawannya. Seperti ketika Soeharto menyingkirkan Suadi, itu baru dilakukan Soeharto pada awal tahun 1970-an, padahal Soeharto sudah berkuasa penuh sejak 1966.

Miskin imajinasi itu pula yang menjadikan para purnawirawan Jenderal tidak memiliki kreativitas dalam menciptakan ruang pengabdian baru pascapensiun. Selama ini ada pernyataan klise: purnawirawan tidak mengenal istilah "pensiun” dalam mengabdi kepada bangsa dan negara. Statemen ini kemudian ditafsirkan mereka sendiri secara sempit, bahwa mengabdi itu artinya tetap dalam lingkaran kekuasaan. Ini seolah jebakan bagi para purnawirawan jenderal, mereka terkurung dalam asumsi yang mereka bangun sendiri.

Penulis:

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di bawah ini. Terima kasih.