Pemimpin Hong Kong Carrie Lam mengatakan, RUU Ekstradisi yang menyulut protes massal "sudah mati" dan "gagal total". Tetapi aktivis pro-demokrasi bertekad melanjutkan aksi protes.
Iklan
Pemimpin administrasi Hongkong, Carrie Lam hari Selasa (9/7) mengatakan Rancangan Undang-Undang Ekstradisi yang memicu protes besar-besaran di kota itu "sudah mati" dan menjadi "kegagalan total." Namun para aktivis menyatakan akan tetap melaksanakan aksi protes sampai RUU itu resmi dibatalkan.
RUU yang kontroversial itu memungkinkan warga Hong Kong dikirim ke Cina daratan untuk diadili. Setelah serangkaian aksi protes massal diiringi bentrokan keras dengan parat keamanan, pembahasan RUU itu di parlemen Hong Kong ditangguhkan. Namun aksi protes terus berlanjut.
Carrie Lam mengakui; "saat ini masih ada keraguan tentang ketulusan pemerintah atau kekhawatiran, apakah pemerintah akan memulai kembali proses dengan Dewan Legislatif. "Jadi saya tegaskan di sini, tidak ada rencana seperti itu. RUU itu sudah mati," tandasnya.
Aktivis teuntut RUU dibatalkan secara resmi
Namun pernyataan Carrie Lam gagal menenangkan para pengunjuk rasa, yang menuntut agar RUU itu dibatalkan sepenuhnya dan Carrie Lam mengundurkan diri.
"Kami tidak dapat menemukan kata 'mati' di salah satu pasal hukum di Hong Kong atau dalam proses hukum di Dewan Legislatif," kata pemimpin protes Jimmy Sham dan Bonnie Leung dalam pernyataan mereka yang dirilis dalam bahasa Inggris dan Kanton.
Bonnie Leung selanjutnya mengatakan, rincian tentang kelanjutan aksi protes massal akan dipublikasikan pada waktu kemudian. Aktivis Joshua Wong, yang baru-baru ini dilepaskan dari penjara terkait perannya dalam gerakan Umbrella 2014, mengecam Carrie Lam di Twitter sebagai pembohong.
RUU itu "masih ada dalam agenda sampai Juli tahun depan," kata Wong.
Protes berlanjut
Para pengunjuk rasa mengatakan, UU Ekstradisi yang direncanakan akan mengekspos warga Hong Kong ke sistem peradilan Cina daratan, menjadikan mereka tidak akan memperoleh pengadilan yang adil. Mereka juga khawatir RUU itu merupakan bagian dari kampanye Beijing untuk melemahkan status otonomi kota itu dengan prinsip "satu negara dua sistem".
Hong Kong yang bekas koloni Inggris, dikembalikan oleh pemerintah di London kepada Cina tahun 1997, berdasarkan perjanjian serah terima yang menjamin kebebasan politik dan kebebasan berpendapat bagi warga Hong kong selama 50 tahun.
Pada hari Minggu (7/7), ratusan ribu orang kembali menggelar aksi di sekitar stasiun kereta api yang menghubungkan Hong Kong ke Cina daratan. Setelah unjuk rasa berlangsung damai sepanjang hari, bentrokan terjadi antara polisi dan sekelompok demonstran pada malam harinya.
Frustasi Akibat Mahalnya Hidup Turut Sulut Protes di Hong Kong
Banyak orang muda di salah satu kawasan terpadat di dunia itu tidak puas karena biaya hidup yang sangat mencekik. Di samping itu, mereka juga mengkhawatirkan erosi kebebasan secara umum.
Foto: Reuters/T. Peter
Berbagi kamar tidur dengan orang tua
Peter Chang (23) adalah pengusaha yang terpaksa berbagi kamar tidur dengan ayahnya. Luas kamar hanya 5 meter persegi. Ia marah terhadap kebijakan imigrasi penguasa, yang menempatkan orang-orang dari dataran Cina di Hong Kong. Ia berkata, "Mereka berusaha menghapus identitas kami."
Foto: Reuters/T. Peter
Berdesak-desakan
Zaleena Ho (22) adalah warga asli Hong Kong. Ia lulusan jurusan perfilman dan tinggal bersama orang tuanya. Kamar tidurnya hanya 7 meter persegi. Ia berkata, "Situasi politik makin buruk. Sebagian besar dari kami berusaha sebaik mungkin untuk menjaga apa yang telah kami peroleh. Saya punya paspor AS. Sebenarnya saya bisa pergi saja. Tapi saya berharap kami masih bisa mengubah sesuatu."
Foto: Reuters/T. Peter
Berani menentang
Roy Lam (23) berkerja di bagian di sebuah perusahaan dan tinggal bersama ibu dan empat saudara perempuannya. Ia mengungkap, ia lebih baik terpukul saat mengadakan perlawanan, daripada berdiam diri saat ditekan. Ia menambahkan, kaum muda bertekad tetap menuntut apa hak mereka."
Foto: Reuters/T. Peter
Marah kepada pemerintah
John Wai (26) tinggal bersama orang tua dan saudara perempuannya. Ia berpose di kamar tidurnya yang hanya seluas 7 meter persegi. "Yang membuat saya marah adalah pemerintah membiarkan warga Cina daratan membeli properti yang sudah sangat terbatas. Para penjual menetapkan harga sangat tinggi, sehingga kami tidak bisa membeli."
Foto: Reuters/T. Peter
Bekerja tanpa henti
Ruka Tong (21) nama mahasiswa yang berpose di kamar tidurnya di Hong Kong. Kamar tidur seluas 11 meter persegi ini dibaginya bersama saudara perempuannya. Orang tua mereka tinggal di apartemen yang sama. Hingga tahun lalu, seluruh keluarga tinggal di kamar seluas 28 meter persegi. "Saya bekerja tanpa henti. Saya bekerja tujuh hari sepekan dalam lima pekerjaan."
Foto: Reuters/T. Peter
Menuturkan kisah
Sonic Lee (29) adalah seorang musisi dan komponis. Ia tinggal bersama ibunya. Ruang tidurnya hanya seluas 6 meter persegi. "Bagi saya, Revolusi Payung seperti halnya menceritakan sebuah kisah," katanya dan menambahkan, "Saya tidak percaya lagi, bahwa akan terjadi sesuatu perubahan."
Foto: Reuters/T. Peter
Merampok kesempatan
Fung Cheng (25) seorang desainer grafik, tinggal di apartemen bersama orang tua dan saudara laki-lakinya. Ia merasa frustrasi terhadap sebuah sistem yang ia rasa telah merampok kesempatan untuk bisa memiliki rumah sendiri.
Foto: Reuters/T. Peter
Berapa lama lagi?
Ruby Leung (22) adalah mahasiswa jurusan hukum. Kamar tidurnya juga berukuran 7 meter persegi. Pemerintah menjanjikan status satu negara dua sistem untuk Hong Kong selama 50 tahun. Sekarang masyarakat panik, apa yang akan terjadi dalam 50 tahun ini. (Sumber: reuters, Ed.: ml/hp )