1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialJerman

Catatan dari Sebuah Kota Kecil di Baden-Württemberg

Georgius Pradipta Yogiputra
2 Oktober 2021

Saya hidup bersama keluarga lokal Swabia yang sudah menganggap saya seperti anak mereka sendiri. Oleh Georgius Pradipta Yogiputra.

Georgius Pradipta Yogiputra bersama tuan rumah di Mönsheim
Berfoto bersama "orang tua angkat" di MönsheimFoto: Georgius Pradipta Yogiputra

Kota kecil itu bernama Mönsheim, dengan populasi sekitar 3000 orang. Saya bisa mengatakan bahwa tempat ini adalah desa. Tempat ini benar-benar jauh dari bayangan orang-orang Indonesia kebanyakan tentang negara Jerman – gedung tinggi, orang cuek dan sibuk, gersang. Ketika saya katakan nama tempat ini kepada teman-teman Jerman saya, mereka katakan bahwa mereka tidak pernah mendengar nama tersebut selama hidupnya.

Georgius Pradipta YogiputraFoto: Georgius Pradipta Yogiputra

Saya tinggal di sini selama kurang lebih enam bulan untuk menyelesaikan magang wajib saya di Porsche Research & Development Center Weissach. Saya sendiri menempuh kuliah jurusan otomotif di Hochschule für Technik und Wirtschaft Berlin. Sebagai universitas ilmu terapan, kami para mahasiswa diwajibkan untuk menjalankan magang selama minimal tiga bulan sebagai syarat kelulusan sebelum semuanya itu ditutup dengan Bachelor-Thesis.

Bersyukur bahwa Dr.-Ing. h.c. F. Porsche AG, atau lebih singkatnya disebut Porsche AG, telah memberikan saya kesempatan untuk mempraktikkan ilmu yang sudah saya kumpulkan selama lima Semester di universitas. Kebetulan saya berada di divisi bernama "Bodywork Standards”. Divisi ini adalah bagian kecil dari divisi besar bernama "Bodywork Development” dan merupakan divisi terakhir sebelum mobil masuk kedalam tahap SOP (Start of Production). Ibaratnya, kami yang memberikan cap keabsahan bahwa desain mobil ini sudah boleh dan layak diproduksi. Singkatnya, tugas saya dan tim saya yang beranggotakan tujuh orang adalah memberikan koreksi dan saran dari desain yang kami dapatkan dari divisi desain.

Maka dari itu, divisi kami bekerja sama berdampingan dengan divisi desain dan divisi simulasi setiap harinya. Desainer akan selalu bekerja keras untuk memberikan penampilan terbaik untuk mobil-mobil Porsche di masa depan. Namun, seringkali desain yang indah dan estetik itu terbentur dengan aturan yang berlaku di setiap negara. Aturan-aturan dibuat memang untuk melindungi pengemudi, penumpang, dan juga pejalan kaki serta pengendara sepeda di luar kendaraan. Sedangkan divisi simulasi membuktikan dengan bantuan komputer bertenaga tinggi dan software yang canggih bahwa saran perbaikan dari divisi kami sudah tepat dan kami bisa memberikan izin untuk lanjut ke tahap berikutnya.

Kartu pengenal dan tanda masuk di PorscheFoto: Georgius Pradipta Yogiputra

Disamping semua itu, Porsche menyediakan pelatihan yang mempunyai konsep "dari pekerja untuk pekerja”. Artinya adalah setiap bulan pekerja dari divisi tertentu memberikan pelatihan yang dapat diikuti oleh siapapun. Karena saya mengetahui bahwa waktu saya di Porsche hanya enam bulan, saya mengikuti pelatihan tersebut minimal sebulan sekali. Secara total, ada sembilan pelatihan yang saya ikuti selama masa magang saya dan itu membuat saya tidak hanya mengetahui mengenai regulasi produksi mobil di setiap negara, melainkan membuat saya paham bagaimana mengembangkan sebuah mobil dari coretan kertas hingga mobil yang bisa dikendarai; mulai dari design, uji coba mesin, efisiensi biaya, pemilihan bahan, keamanan berkendara, marketing, hingga politik.

Di Mönsheim, saya hidup bersama keluarga lokal Swabia yang sudah menganggap saya seperti anak mereka sendiri. Lucunya, semua seperti kebetulan. Ulang tahun sang ayah sama persis dengan ulang tahun ayah biologis saya, ulang tahun istrinya sama dengan ulang tahun saya, dan ulang tahun anaknya sama dengan ulang tahun adik saya. Karena mereka tinggal di desa kecil, mereka masih sangat tradisional dalam beberapa hal, tetapi menariknya di hal yang lain justru sangat modern daripada orang kota kebanyakan.

Contohnya, karena rumah mereka sangat luas – sekitar 2200 m2, mereka hanya masak dan makan sayuran yang mereka tanam sendiri dari kebun mereka. Mereka tahu kapan mereka harus menanam dan memanen sayuran sesuai dengan musim yang ada saat itu. Benar-benar terencana dengan baik dan rapi. Ditambah lagi mereka punya beberapa ternak, yang mereka potong dan simpan di bawah tanah untuk makanan kita sehari-hari dan untuk persediaan setahun kedepan. Selain itu, mereka juga mempunyai kebun apel dan pir di tempat lain, yang mereka ambil jus nya dan sebagian disimpan sebagai selai untuk keseharian mereka. Sisa ampas dari buah tersebut mereka gunakan untuk pupuk atau makanan ternak.

Rumah di MönsheimFoto: Georgius Pradipta Yogiputra

Meskipun demikian, alat-alat yang mereka gunakan di rumah untuk keseharian mereka menurut saya cukup modern. Saya ingat satu alat bernama Thermomix. Jujur, saya belum pernah melihat alat ini selama saya hampir lima tahun tinggal di Jerman. Padahal sebelumnya, saya tinggal di dua kota besar yaitu Frankfurt am Main dan Berlin. Gampangnya, Thermomix ini adalah gabungan dari food processor dan cooker yang bisa memasak; merebus; memotong; mencincang daging & kacang-kacangan; membuat yogurt & ice cream; menggiling kopi; menguleni adonan roti dan sebagainya. Lebih lanjut, listrik di rumah mereka sudah full didapatkan dari matahari lewat panel solar, yang seringkali berlebih sehingga mereka bisa jual kembali ke tetangga-tetangganya.

Mereka juga memiliki dua mobil untuk mendukung mobilitas mereka, karena transportasi umum di desa bisa terbilang cukup jarang dan jarak antara rumah mereka ke supermarket atau apotik terdekat cukup jauh. Berkaitan dengan apel dan pir yang sebelumnya saya ceritakan, mereka juga mempunyai dua buah traktor yang terparkir di garasinya untuk mengangkut hasil panen atau mengambil kayu bakar.

Keluarga ini juga memiliki tradisi makan malam bersama. Menariknya adalah mereka selalu membuka dan menutup makan malamnya dengan doa, yang mana saya tidak pernah saya temui pada orang-orang Jerman yang saya kenal. Tradisi lain adalah setiap hari Minggu pukul 15:00, kami selalu menikmati makan kue dan teh bersama. Biasanya setiap hari Minggu siang setelah makan, saya membantu sang ibu untuk membuat roti tawar untuk stok satu minggu kedepan dan juga kue untuk kita makan di sore harinya. Sembari makan kue dan minum teh, kami juga bercerita bagaimana seminggu ini berlalu, apa saja masalah yang kami hadapi, dan berdoa supaya minggu depan menjadi minggu yang baik dan membahagiakan untuk kami.

Mönsheim di musim dinginFoto: Georgius Pradipta Yogiputra

Memori yang saya ingat lagi bersama mereka adalah saat kami bersama-sama membongkar rumah tua milik mereka yang ada di halamannya, karena mereka ingin memperbesar luas rumah yang mereka tinggali saat ini. Karena itu, saya menjadi mengerti mengenai kelistrikan rumah, memanjat genting, dan merobohkan rumah menggunakan excavator. Jadi, selain mendalami dan mempertajam pelajaran kuliah saya di Porsche, saya juga belajar bagaimana mengurus urusan dan masalah rumah sehari-hari.

Saya akan selalu merindukan mereka dan tidak akan pernah lupa akan semua kebaikan Hartmanns. Mereka pesan kepada saya untuk selalu ingat kalimat ini setiap saya merasa lelah atau malas: "Schaffe, schaffe, Häusle baue!”

* Georgius Pradipta Yogiputra adalah mantan mahasiswa automotive engineering di Berlin berusia 24 tahun yang skrg aktif bekerja di bidang healthcare and caregiving industry.

**DWNesiaBlog menerima kiriman blog tentang pengalaman unik Anda ketika berada di Jerman atau Eropa. Atau untuk orang Jerman, pengalaman unik di Indonesia. Kirimkan tulisan Anda lewat mail ke: dwnesiablog@dw.com. Sertakan satu foto profil dan dua atau lebih foto untuk ilustrasi. Foto-foto yang dikirim adalah foto buatan sendiri. (hp)