Pemerintah Jerman Didesak Hentikan Dukungan pada Islamisme
Alex Berry
15 April 2021
Blok konservatif Jerman CDU/CSU berencana memutus semua hubungan pemerintah dengan kelompok -kelompok yang dicurigai mendukung Islamisme, kata harian"Die Welt". Apa dampaknya bagi organisasi muslim di Jerman?
Iklan
Fraksi konservatif CDU/CSU di parlemen menyerukan diakhirinya dukungan pemerintah kepada semua semua kelompok yang dicurigai mendukung Islamisme, surat kabar Die Welt melaporkan hari Selasa (13/4).
Fraksi gabungan dari partai Uni Demokrat Kristen CDU dan Uni Sosial Kristen CSU mengusulkan pemotongan semua subsidi, dukungan dan kerja sama dengan kelompok-kelompok Islam yang masuk dalam daftar pengamatan badan intelijen Jerman Verfassungsschutz.
Anggota Komisi Dalam Negeri di parlemen Jerman Christoph de Vries, yang juga menjadi jurubicara fraksi untuk urusan organisasi agama, membenarkan proposal itu lewat Twitter.
"CDU/CSU akan mengambil posisi yang jelas dalam memerangi Islamisme," tulis de Vries. "Tidak ada toleransi untuk intoleransi. Itulah pesan yang jelas dari berkas itu."
Organisasi mana yang akan terpengaruh?
Proposal yang diajukan itu, jika disetujui dan diberlakukan, akan berdampak pada organisasi payung muslim di Jerman, tulis Die Welt yang sudah membaca naskahnya. Organisasi payung yang terdampak antara lain Dewan Pusat Muslim dan Dewan Islam, karena beberapa dari kelompok anggota mereka yang sedang diawasi oleh Verfassungsschutz.
Iklan
Salah satu kelompok yang diawasi adalah Perhimpinan Islam-Turki untuk Kerja Sama Sosial dan Budaya, ATIB. Badan intelijen domestik Verfassungsschutz dalam sebuah laporan menulis bahwa organisasi tersebut telah menyebarkan "fitnah secara sistematis terhadap kelompok etnis atau agama lain, terutama Kurdi dan Yahudi."
ATIB adalah salah satu organisasi pendiri Dewan Pusat Muslim di Jerman, Zentralrat der Muslime in Deutschland (ZMD), kata Die Welt.
Perubahan apa yang diinginkan CDU/CSUkubu konservatif?
Bagian penting dari proposal yang diusung fraksi CDU/CSU antara lain pengawasan dan penyelidikan lebih lanjut tentang Islamisme politik di Jerman dan Uni Eropa, melakukan studi luas tentang pengaruh tersebut dalam masyarakat dan membentuk komisi ahli untuk melapor secara berkala kepada Kementerian Dalam Negeri.
Proposal CDU/CSU itu juga menuntut agar arus keuangan ke asosiasi masjid harus transparan dan dipublikasi.
Menyusuri Jejak Islam di Jerman
Beragam masjid dan komunitas Islam, sebagian kecil tempat menarik yang dikunjungi 14 intelektual Muslim Indonesia saat studi trip "Life of Muslims in Germany". Lokasi mana saja yang mereka singgahi? Berikut rangkumannya.
Foto: Privat
Singgah di Masjid Indonesia
Masjid Al-Falah, nama masjid milik warga Indonesia yang terletak di Berlin. Masjid yang dikelola Indonesische Weisheits und Kulturzentrum (IWKZ) dulunya merupakan pub. Para Intelektual muda yang mengikuti study trip Goethe tersebut tiba tepat Sholat Jumat sehingga bisa menikmati kuliner indonesia yang dijual untuk membiayai operasional masjid. Tiap tahun 4000 Euro harus dikumpulkan secara swadaya.
Foto: DW
Mengapa Warga Indonesia Berbeda?
Ketua IWKZ Dimas Abdirama menceritakan bahwa kegiatan di Masjid lebih berfokus sebagai ruang belajar bagi mahasiswa. "Dibandingkan pendatang lainnya, kita mempunya daya pikat kepada pemerintah Jerman yang membutuhkan banyak tenaga ahli," ujar ahli bioteknologi medis itu. Ada sekitar 4000 mahasiswa Indonesia studi di Jerman. Potensi ini menurut Dimas membuat orang Indonesia mudah diterima.
Foto: DW
Melihat Toleransi di Neukölln
Lewat program "Life of Muslims in Germany", 14 kaum intelektual muda Indonesia tidak hanya diajak berkenalan dengan Muslim Indonesia. Mereka juga diajak ke Neukölln untuk melihat bagaimana umat Muslim dari beragam aliran dapat hidup berdampingan. Masjid Al-Salam NBS milik aliran Sunni itu menurut Syekh Muhammad Thaha tidak hanya digunakan sebagai tempat keagamaan tapi juga kegiatan kemanusiaan.
Foto: DW/K. Salameh
Masjid yang Terbuka
Meski mayoritas umatnya adalah Sunni, namun menurut Syekh Thaha, masjid Al-Salam terbuka untuk seluruh jamaah, termasuk Syiah. "Kami tidak memaksakan ajaran tertentu, siapapun bisa datang ke masjid ini,"katanya. Masjid ini juga terbuka bagi seluruh warga Jerman yang ingin mengenal Islam atau warga imigran yang ingin belajar bahasa Arab.
Foto: DW
Alevi, Minoritas yang Mudah Diterima
Di Jerman, mayoritas umat Islam adalah Sunni (74%), namun di posisi ke dua ditempati kelompok asal Turki bernama Alevi (13%). Menurut Claudia Dette, pemandu perjalanan kami, Alevi kelompok yang paling mudah berintegrasi setelah Ahmadiyah. Rahasianya menurut Kadin Sahir adalah karena Syariah bagi Alevi adalah tunduk mengikuti konstitusi yang ada di negara di mana mereka berada.
Foto: DW
Masjid Dalam Gereja
Ibn-Ruysd Goethe, "Masjid Liberal" yang mengakui imam perempuan di Jerman dan terletak di gereja turut disambangi rombongan. "Masjid ini hadir sebagai bentuk protes atas paham ekstrimis di Jerman. Mereka menyebut diri liberal untuk memahami Islam pada konteks sekarang. Pada titik ini mungkin kita bisa sepakat dalam rangka mengaktualkan Islam," kata Ahmad Muttaqin, salah seorang peserta study trip.
Foto: Getty Images/S. Gallup
Menangkal Radikalisme Lewat Masjid
Sebanyak 50,6% 2,2 juta umat Islam di Jerman memiliki latar belakang keturunan Turki, itulah sebabnya di salah satu masjid terbesar milik warga Turki di Berlin, masjid Sehitlik, program yang ditawarkan lebih khusus lagi. Para peserta yang disambut Pinar Cetin, pemimpin Bahira menjelaskan organisasinya bertugas untuk melakuan konsultasi demi mencegah anak muda Muslim terhindar dari paham radikal.
Foto: DW
Mari Belajar Bersama
Tak melulu mengunjungi masjid. Peserta "Life of Muslims in Germany" juga singgah ke lembaga swadaya Morus14. Sebanyak 100 sukarelawan dari berbagai latar belakang budaya dan kelompok meluangkan waktunya mendampingi dan mengajar anak-anak berlatarbelakang imigran. Program seperti ini bertujuan untuk menanggulangi masalah integrasi yang kerap menjadi pekerjaan besar di Jerman.
Foto: DW
Merawat Ingatan
Beberapa museum yang dikunjungi terkait dengan Islam, namun di Museum The Story of Berlin, para peserta berkenalan dengan sejarah Jerman. Kisah Jerman Barat dan Timur serta diskirimasi di era NAZI jadi pengingat bagaimana perbedaan dapat memicu konflik. "Kita kerap melihat sejarah hal yang jauh dari kehidupan. Sementara bagi mereka sejarah hidup bersama kita sekarang," kata Heychael berkomentar.
Foto: DW
Mudah dan Nyaman
Selama berkeliling di Berlin, para peserta hilir mudik menggunakan beragam alat transportasi, seperti kereta bawah tanah. Jadwal yang teratur serta tempat yang nyaman menjadi pengalaman berbeda yang didapat bila dibandingkan dengan transportasi di tanah air. Tak sedikit yang terheran-heran ketika mengetahui sebagian besar tahanan di Berlin justru penumpanjg yang tertangkap tidak membeli tiket.
Foto: DW
Life of Muslims in Germany
Selama hampir 2 minggu, 14 intelektual muda Muslim Indonesia dari berbagai latar belakang komunitas Islam dan profesi di Indonesia tersebut diajak merasakan seperti apa kehidupan umat Muslim di Jerman. Lewat study trip "Life of Muslims in Germany" yang digagas Goethe Insitut Indonesia, peserta dapat mengenal kebijakan Jerman atas 4,7 juta warga Muslim yang hidup di negeri itu. (ts/rzn) Ed:ap
Foto: DW
11 foto1 | 11
"Kami menghormati kebebasan berkeyakinan tanpa kompromi, tetapi kami tidak akan mengizinkan pemerintah asing atau kekuatan Islamisme politik mengembangkan sistem pemerintahan di Jerman di bawah kedok kebebasan beragama yang menempatkan masyarakat, politik dan budaya di bawah norma-norma Islam," kata Cristoph de Vries kepada harian Die Welt.
Dia membandingkan perlakuan terhadap kelompok-kelompok politik agama dengan perlakuan terhadap organisasi-organisasi ekstrem baik sayap kiri maupun sayap kanan.
"Musuh konstitusi... tidak bisa pada saat yang sama menjadi mitra negara," katanya. (hp/vlz)