Dasar 'cebong'! mungkin Anda sering dengar kata itu. Anda tahu maksudnya dan mengapa kini semakin banyak label politik olok-olokan terutama jelang pemilu? Ikuti opini menarik Rahadian Rundjan berikut.
Iklan
Belum lama, seorang teman perempuan bercerita kepada saya sambil menggerutu. Dirinya baru saja menguji peruntungan romansanya dengan mendaftarkan diri di sebuah aplikasi kencan. Tak lama ia merasa menemukan seseorang yang cocok, dan bertemulah mereka. Pertemuan itu, katanya, awalnya berjalan menyenangkan, kalau tidak mau dibilang cukup romantis. Obrolan remeh-temeh untuk mengenal diri masing-masing mengalir lancar, sampai akhirnya berakhir ke topik yang bahkan bisa mencederai kemesraan pasangan yang paling serasipun: POLITIK.
Ceritanya, si teman mengemukakan opini mengenai kepemimpinan Jokowi yang dirasanya cukup berhasil. Lagipula, membahas soal presiden adalah topik obrolan yang populer bagi anak-anak muda zaman sekarang, terlebih citra kemudaan Jokowicukup kentara. Namun, si lelaki malah menimpali opininya dengan sinis, "Jadi, kamu ‘cebong' dong?”, ucapnya. Si teman mengernyitkan dahi. Pertama, dia tidak memahami maksud perkataan ‘cebong' tersebut. Kedua, kata tersebut terdengar seperti sebuah olok-olokan.
Entah bagaimana kelanjutan cerita pertemuan mereka berdua malam itu, namun si teman tersinggung. Akhirnya ia kukuh memutus kontak dengan lelaki tersebut, dan agaknya akan lebih berhati-hati menemui laki-laki lain kemudian hari, apalagi jika ia terlihat memiliki fanatisme politik yang berlebihan.
Memang di masa-masa menjelang Pemilihan Presiden 2019, preferensi politik bisa menjadi pelekat atau pemisah orang-orang. Namun, istilah ‘cebong' ini, merujuk pada Jokowi dan pendukungnya, menarik untuk diamati. Terlebih ketika istilah tersebut kerap muncul dengan begitu intens dalam berbagai narasi politik kontemporer. ‘Cebong' memang bernada olok-olokan, namun melihat sejarah, saya melihat potensinya untuk menjadi identitas politik yang mumpuni, jika toh memang ada yang mau mengusahakannya.
Bagaimana hal tersebut membentuk dinamika politik Indonesia kontemporer, serta sejauh mana ia mempengaruhi opini publik, seperti dalam kisah teman saya tersebut?
Probosutedjo, Pengusaha Lihai yang Pernah Ditegur AM Fatwa
Probosutedjo lihai mengarungi dinamika politik Indonesia pasca tragedi 1965 buat membangun imperium bisnis. Setelah Suharto lengser, ia berusaha memulihkan nama baik kakak tirinya itu.
Foto: picture-alliance/CPA Media Co. Ltd
Tukang Kayu Jadi Guru
Probosutedjo terlahir miskin. Setelah menamatkan Sekolah Menengah Ekonomi Atas di Yogyakarta, dia merantau ke Medan dan membanting tulang sebagai penebang kayu. Probo lalu mencari pengalaman baru sebagai guru. Dia kemudian mendirikan sekolah negeri yang dia urus hingga 1963. Sebuah peristiwa yang mengubah wajah Indonesia turut memutar nasibya.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Irham
Menyambut Orde Baru
Tragedi pembantaian 1965 turut membawa Suharto ke pucuk kekuasaan. Probosutedjo pun memilih pulang ke Jakarta dan mendirikan perusahaan setahun setelah peristiwa biadab tersebut. Berbekal koneksi di Istana Negara, kiprah Probo di dunia bisnis meroket cepat. Hanya selang beberapa tahun perusahaannya sudah mendapat hak distribusi cengkeh di Jawa Barat dari pemerintah.
Foto: AP
Garang Terhadap Kritik
Probosutedjo tidak hanya piawai merajut bisnis di era Orde Baru, tapi juga garang melindungi reputasinya. Tahun 1990an dia menggugat Christianto Wibisono karena menulis ia memanfaatkan koneksi Cendana buat mendapat hak distribusi cengkeh. Wibisono akhirnya meminta maaf. Sikap itu dicemooh oleh A.M. Fatwa. Menurutnya "Kehebatan Probosutedjo" tidak boleh dibiarkan "menerjang kebebasan akademik."
Foto: picture-alliance/dpa/M. Irham
Teguran AM Fatwa
Saat Probosutejdo mengancam akan menggugat akademisi Massachussetts Institute of Technology Yahya Muhaimin, dia mendapat teguran dari A.M. Fatwa. Dalam sebuah surat, tokoh pendiri PAN itu menganjurkan agar sang taipan mengirimkan "surat bantahan" atas buku Muhaimin dan tidak "menuntut penarikan buku dari peredaran."
Foto: picture-alliance/AP Photo/M. Noval
Berakhir di Meja Hijau
Ironisnya karir mentereng Probosutedjo juga berakhir di meja hijau. Pada 2004 ia divonis penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat lantaran terbukti bersalah menyelewengkan dana reboisasi hutan di Kalimantan Selatan sebesar Rp 100,931 miliar. Saat kasasi ke Mahkamah Agung, dia mengaku telah membayar uang kepada mafia pengadilan senilai 6 miliar Rupiah buat menjamin putusan majelis hakim.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Irham
Loyalis Suharto Hingga Akhir
Di era reformasi, Probosutejdo berusaha memulihkan nama kakak tirinya. Dia turut membangun Museum Suharto di Kemusuk yang lebih mengedepankan keberhasilan jendral bintang lima dan melupakan sisi kelam kekuasaanya. Probo juga mengatakan Suharto adalah otak di balik Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, meski sejahrawan telah membantah klaim tersebut.
Foto: picture-alliance/CPA Media Co. Ltd
6 foto1 | 6
Dari Olok-olok ke Identitas Politik
Kata ‘cebong' sebenarnya adalah kependekan dari kecebong. Menurut KBBI artinya adalah "larva dari binatang amfibi, (katak dan sebagainya) yang hidup di air dan bernafas dengan insang serta berekor”. Istilah ‘cebong' menjadi populer, khususnya di media sosial, setidaknya sejak awal 2016, merujuk kepada presiden Jokowi yang diberitakan gemar memelihara kecebong. Anaknya, Kaesang, pernah mengiyakan hal tersebut dalam sebuah wawancara. Jokowibahkan dikatakannya sempat memiliki kolam khusus kecebong di kantornya di Istana Bogor.
Perlahan, kata ‘cebong' ini menjadi sebutan olok-olokan bagi para pembenci Jokowi, terlebih ketika tensi politik memanas di tahun 2017 dan 2018. Agaknya, kecebong yang kecil dan lemah tersebut mereka anggap menggambarkan perawakan dan watak Jokowi. Label tersebut pun ikut tersematkan kepada para pendukungnya dan nyaris selalu disinggung oleh kelompok oposan Jokowi dengan konteks olok-olokan atau nyinyir.
Pelekatan label ‘cebong', yang terkadang sembarangan itu biasanya terjadi dalam situasi-situasi seperti ini: Anda pendukung Jokowi? Maka Anda ‘cebong'. Anda memberi ekspresi positif kepada pemerintah? cebong. Anda menolak pergantian presiden pada 2019? cebong. Varian penyebutannya juga bermacam-macam. Selain ‘cebong', ada yang berupa bahasa Inggris, ‘cebongers', atau sekedar ‘bong', sebagaimana filsuf dan pemuka dunia maya, Rocky Gerung, kerap menggunakannya dalam cuitan-cuitannya di Twitter.
Melabeli preferensi politik dengan istilah olok-olokan semacam ini bukanlah hal baru. Melihat sejarah, kelompok yang disinggung bahkan mengadopsinya sebagai identitas. Misalnya dalam politik Inggris dan sejarah demokrasi parlementernya yang merentang panjang dikenal adanya istilah ‘Tory' dan ‘Whigs'.
Kedua istilah tersebut lahir dari krisis politik sepanjang tahun 1679-1681. Polemik bermula kala adik Raja Inggris Charles II, James, diketahui berpindah agama ke Katolik Roma. Hal ini menjadi masalah karena James adalah pewaris tahta Inggris (yang menarik legitimasinya dari gereja Anglikan) selanjutnya apabila Charles II mangkat. Hal tersebut menjadi perdebatan di parlemen sampai akhirnya keluar petisi, Exclusion Bill, yang menuntut dihapuskannya nama James dalam daftar pewaris tahta.
Siapa Calon Pemimpin Indonesia?
Hasil survey Saiful Mujani Research Centre belum banyak mengubah peta elektabilitas tokoh politik di Indonesia. Siapa saja yang berpeluang maju ke pemilu kepresidenan 2019.
Foto: Imago/Zumapress
1. Joko Widodo
Presiden Joko Widodo kokoh bertengger di puncak elektabilitas dengan 38,9% suara. Popularitas presiden saat ini "cendrung meningkat," kata Direktur Eksekutif SMRC Djayadi Hanan.
Foto: Reuters/Beawiharta
2. Prabowo Subianto
Untuk sosok yang sering absen dari kancah politik praktis pasca pemilu, nama Prabowo masih mampu menarik minat pemilih. Sebanyak 12% responden mengaku akan memilih mantan Pangkostrad itu sebagai presiden RI.
Foto: Reuters
3. Anies Baswedan
Selain Jokowi dan Prabowo, nama-nama lain yang muncul dalam survey belum mendapat banyak dukungan. Gubernur terpilih DKI Jakarta, Anies Baswedan, misalnya hanya mendapat 0,9%.
Foto: Reuters/Antara Foto/M. Agung Rajasa
4. Basuki Tjahaja Purnama
Nasib serupa dialami bekas Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama. Sosok yang kini mendekam di penjara lantaran kasus penistaan agama itu memperoleh 0,8% suara. Jumlah yang sama juga didapat Wakil Presiden RI Jusuf Kalla.
Foto: Getty Images/T. Syuflana
5. Hary Tanoesoedibjo
Pemilik grup MNC ini mengubah haluan politiknya setelah terbelit kasus hukum berupa dugaan ancaman terhadap Kepala Subdirektorat Penyidik Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Yulianto. Hary yang tadinya beroposisi, tiba-tiba merapat ke kubu Presiden Joko Widodo. Saat inielektabilitasnya bertengger di kisaran 0,6%
Foto: picture-alliance/AP Photo/A. Ibrahim
6. Agus Yudhoyono
Meski diusung sebagai calon pemimpin Indonesia masa depan, saat ini popularitas Agus Yudhoyono masih kalah dibanding ayahnya Soesilo Bambang Yudhoyono yang memperpoleh 1,9% suara. Agus yang mengorbankan karir di TNI demi berpolitik hanya mendapat 0,3% dukungan.
Foto: Getty Images/AFP/M. Naamani
7. Gatot Nurmantyo
Jumlah serupa didapat Panglima TNI Gatot Nurmantyo yang belakangan terkesan berusaha membangun basis dukungan. Nurmantyo hanya mendapat 0,3%. Meski begitu tingkat elektabilitas tokoh-tokoh ini akan banyak berubah jika bursa pencalonan sudah mulai dibuka, klaim SMRC.
Foto: Imago/Zumapress
7 foto1 | 7
Petisi tersebut memecah parlemen ke dalam dua faksi, ‘Tory' dan ‘Whigs'. ‘Tory' berasal dari bahasa Irlandia yang artinya bandit atau perampok, disematkan kepada anggota parlemen yang menolak petisi. Akarnya dari nama kelompok pemberontak Katolik Irlandia yang mendukung monarki ketika seorang diktator Puritan, Oliver Cromwell, merebut tahta beberapa dekade sebelumnya. Sedangkan ‘Whigs' adalah faksi yang mendukung petisi tersebut. Istilahnya berasal dari bahasa Gaelik Skotlandia yang artinya pencuri kuda atau ternak (stereotipnya orang-orang reformis anti-Katolik).
Entah siapa yang memulai, kedua istilah tersebut kerap muncul dengan watak olok-olokannya yang kental sampai baik ‘Tory' maupun ‘Whigs' berubah menjadi partai politik di abad setelahnya. Istilah ‘Whigs' kemudian ditinggalkan pada pertengahan abad ke-19 ketika orang-orangnya terpecah. Sedangkan ‘Tory' bertahan sampai masa modern dan bertransformasi menjadi sebutan bagi politisi atau pendukung Partai Konservatif. Bahkan, banyak orang yang bangga menyebut dirinya ‘Tory' atau ‘Tories' walau akarnya menghina, mengingat populernya partai tersebut dalam beberapa pemilihan umum terakhir di Inggris.
Jika sekedar membandingkan akar olok-olokannya, istilah ‘cebong' tentu dapat disandingkan dengan ‘Tory' dan ‘Whigs'. Namun, ‘cebong' belum menjadi label politik sepenuhnya. Jokowi belum mengindahkan, dan pendukungnya belum berhasrat mengadopsinya sebagai identitas, walau tokoh-tokoh oposan utama seperti Amien Rais sudah berkali-kali melontarkan kata ‘cebong' dalam beberapa pidatonya untuk menyerang kubu Jokowisecara kolektif.
Meskipun begitu, saya memperhatikan label ‘cebong' tersebut mulai diakui (kadang dengan bangga) oleh pendukung-pendukung Jokowi di Twitter secara perseorangan (seperti si teman tersebut). Sebabnya, karena menjelang 2019 semakin banyak hasil-hasil kerja pembangunan pemerintahan Jokowi yang rampung, ditambah serangkaian skenario-skenario pencitraan membumi yang menggugah tentunya.
Jokowi Blusukan di Papua
Presiden Joko Widodo membawa Ibu Negara Iriana dan sejumlah menteri dalam kunjungan kerja ke Papua. Ini adalah kedelapan kalinya Jokowi melawat ke provinsi di ufuk timur tersebut.
Foto: Laily Rachev/Biro Pers Setpres
Delapan Kali di Papua
Selama lima jam Presiden Joko Widodo dan Ibu Negara Iriana Widodo menumpang pesawat kepresidenan ke Papua. Ini adalah kali ke-delapan presiden mengunjungi provinsi di ufuk timur Indonesia itu sejak dilantik Oktober 2014 silam.
Foto: Laily Rachev/Biro Pers Setpres
Sertifikat Tanda Kemakmuran
Dalam kunjungannya kali ini presiden mendapat agenda ketat. Setibanya di Jayapura, Jokowi dijadwalkan menyerahkan 3.331 sertifikat hak atas tanah kepada penduduk setempat. Ia berpesan agar penduduk menyimpan dokumen penting tersebut dengan aman. "Dimasukkan ke plastik, difotokopi, jadi kalau hilang ngurus-nya lebih gampang," ujar Presiden.
Foto: Laily Rachev/Biro Pers Setpres
Kepemilikan Permudah Pinjaman
Penyerahan sertifikat tanah dinilai penting sebagai pondasi kemakmuran. Kini penduduk bisa menggunakan sertifikat tersebut untuk menambah pinjaman usaha. "Tapi hati-hati untuk agunan ke bank tolong dihitung, dikalkulasi bisa mencicil, bisa mengembalikan ndak setiap bulan? Kalau ndak, jangan," ucap Presiden.
Foto: Laily Rachev/Biro Pers Setpres
Sertifikat Kurangi Konflik Tanah
Tahun 2017 silam pemerintah membagi-bagikan 70.000 sertifikat kepada penduduk Papua. Tahun ini Badan Pertanahan Nasional menargetkan penyerahan 20.000 sertifikat tanah tambahan.
Foto: Laily Rachev/Biro Pers Setpres
Rombongan Menteri di Jayapura
Selain presiden dan ibu negara, rombongan kenegaraan ini juga dihadiri Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Sofyan Djalil, Menteri Seketaris Negara Pratikno, Menteri PU dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono dan Menteri Kesehatan Nila Moeloek.
Foto: Laily Rachev/Biro Pers Setpres
Blusukan Infrastruktur
Selain bertemu penduduk, rombongan presiden juga dijadwalkan mengunjungi sejumlah proyek infrastruktur vital, antara lain Pasar Mama Mama yang khusus dibangun buat kaum perempuan dan jembatan Holtekamp di atas Teluk Youtefa.
Foto: Laily Rachev/Biro Pers Setpres
Jembatan Memangkas Jarak
Jembatan sepanjang 732 meter ini menghubungkan Jayapura dengan Muara Tami. Keberadaan jembatan di atas Teluk Youtefa memangkas waktu perjalanan dari yang semula 2.5 jam menjadi hanya satu jam saja.
Foto: Laily Rachev/Biro Pers Setpres
7 foto1 | 7
Politik yang Mengena Perasaan
Pun jika ‘Cebong' menjadi gerakan politik yang berpusat murni pada Jokowi, saya bisa mengira-ngira kemungkinan corak politiknya. Pertama, alirannya sayap tengah. Kedua, mentalitas politiknya menjunjung kemudaan dan pembaharuan. Ketiga, Jokowi melahirkan trah baru yang tidak terikat dengan nostalgia terhadap pemimpin-pemimpin masa lalu (seperti PDI-P dengan Sukarno), organisasi-organisasi masyarakat (PAN-Muhammadiyah, PKB-NU), atau terkoneksi dengan elit-elit Orde Baru (Prabowo-Gerindra, Wiranto-Hanura).
Hanya saja, penjabaran di atas masih sebuah proyeksi liar yang terinspirasi dari pengamatan sejarah, atau, mengutip hal yang kerap diributkan belakangan ini, masih fiksi karena imajinatif. Menarik ditunggu apakah Jokowi berkenan menginsitusikan warisan politiknya dan mempolitisasi istilah ‘cebong' sebagaimana ‘Tory' dan ‘Whigs' setelah ia menuntaskan masa jabatannya kelak. Jika memang terjadi, tentu akan menjadi fenomena baru dalam dinamika politik Indonesia.
Menjelang pesta demokrasi 2019, atmosfer politik yang kian memanas rasanya akan melahirkan semakin banyak kosakata olok-olokan baru. Melatih akal sehat dan hati yang tak mudah terbawa perasaan, serta manajemen emosi, agaknya sudah harus menjadi persiapan standar bagi Anda yang ingin mulai berkecimpung dalam perdebatan-perdebatan politik, khususnya di dunia maya. Jika Anda diolok-olok dengan kata-kata ‘Cebong', ‘Onta', ‘Kuda', ‘Kecoa', dan kata-kata hewani lain yang bernada tak mengenakkan; santai saja dan tertawakanlah.*
Penulis: Rahadian Rundjan (ap/vlz)
Esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah
@RahadianRundjan
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis
Catatan 3 Tahun Kepemimpinan Jokowi
Sebanyak 68% penduduk mengaku puas atas kinerja Joko Widodo. Namun setelah tiga tahun berkuasa, catatan kepemimpinan Jokowi banyak menyisakan pekerjaan rumah yang belum dituntaskan, terutama masalah HAM.
Foto: Getty Images/Ulet Ifansasti
Terrorisme
Pemerintah mengklaim sebanyak 999 eks-jihadis berhasil mengikuti program deradikalisasi. Sejumlah pengamat juga menghargai satuan anti teror Densus 88 yang kini lebih sering menangkap terduga teroris, dan tidak lagi menembak di tempat. Pendekatan lunak ala Indonesia juga mengundang pujian dunia. Tantangan terbesar adalah RUU Anti Terorisme yang bakal melibatkan TNI dalam penanggulangan terorisme.
Foto: Reuters/W. Putro/Antara Foto
Infrastruktur
Pembangunan infrastruktur sejak awal menjadi jurus pamungkas Jokowi. Berbagai proyek yang tadinya mangkrak kembali dihidupkan, antara lain jalan Trans-Papua, infrastruktur kelistrikan berkapasitas 35.000 megawatt yang baru tuntas 40% dan transportasi. Di bawah pemerintahannya anggaran infrastruktur digandakan dari 177 triliun Rupiah pada 2014 menjadi 401 triliun untuk tahun anggaran 2017.
Foto: Getty Images/AFP/B. Ismoyo
Demokrasi
Indeks demokrasi Indonesia banyak menurun di era Jokowi. Pemerintah berkilah, berlangsungnya pilkada ikut mempengaruhi peringkat Indonesia. Sejumlah pengamat menyoroti wacana Ambang Batas Kepresidenan sebesar 20% dan Perppu Ormas yang dinilai bermasalah. Selain itu Indeks Kebebasan Pers selama tiga tahun terakhir juga mencatat kemerdekaan media di Indonesia cenedrung berjalan di tempat.
Foto: picture alliance/abaca/J. Tarigan
Intoleransi
Ujaran kebencian dan kabar hoax menemani kepresidenan Jokowi sejak Pemilu 2014 dan memuncak pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Sejak itu dia mulai aktif memberangus media-media hoax, mengeluarkan Perppu yang membidik organisasi intoleran seperti HTI, menggandeng Facebook dan Twitter buat menghalau fitnah dan membentuk unit anti intoleransi.
Foto: Reuters/D. Whiteside
Hubungan Internasional
Sejauh ini Istana Negara banyak menitikberatkan kerjasama internasional untuk membantu program pembangunan di dalam negeri seperti diplomasi maritim. Namun tantangan terbesar Indonesia adalah menjadi poros penyeimbang antara kekuatan regional Cina dan negara ASEAN, terutama menyangkut konflik Laut Cina Selatan.
Foto: Reuters/R. A. Tongo
Hak Azasi Manusia
Ada masanya ketika Jokowi menggariskan penuntasan pelanggaran HAM sebagai prioritas utama. Namun cita-cita tersebut menyurut seiring berjalannya roda pemerintahan. RUU Penyiaran misalnya mendiskriminasi kaum minoritas seksual. Sementara rekonsiliasi pembantaian 1965 cendrung berjalan di tempat dan penggunaan hukuman mati yang masih marak menjadi catatan hitam pemerintahan Jokowi.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Ekonomi
Banyak hal positif yang dicatat dari pemerintahan Joko Widodo di bidang ekonomi, meski tidak membuahkan target pertumbuhan yang dipatok 7%. Selain 16 paket kebijakan, pemerintah juga dinilai sukses meningkatan pemasukan pajak, memperbaiki kemudahan berbisnis, rating investasi dan mempertahankan inflasi. Namun begitu rendahnya konsumsi domestik menjadi catatan muram perekonomian Indonesia.
Foto: Reuters
Lingkungan
Konflik agraria yang kian meruncing membutuhkan reformasi untuk mendamaikan kebijakan lingkungan, tanah adat dan kebutuhan industri. Tahun 2016 saja pemerintah mencatat 400 konflik yang melibatkan 1,2 juta hektar lahan, kebanyakan akibat ekspansi perkebunan. Reformasi agraria masih menjadi agenda besar Indonesia, terutama menyangkut penanggulangan perubahan iklim yang kian mendesak.