Cek Fakta: Benarkah Prabowo Memecat Bahlil?
23 Oktober 2025
Sebuah video yang menayangkan Bahlil Lahadalia, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menyeka kedua mata di depan mimbar pidato ditonton 2,1 juta kali di platform TikTok. “Saya punya keyakinan dia lebih baik daripada saya,” kata Bahlil dalam video tersebut. Beberapa saat setelah Bahlil mengucap kalimat tersebut, Rosan Roeslani, Menteri Investasi dan Hilirisasi, nampak merangkul pundak Bahlil.
Dalam video yang diunggah akun www.kompas_tv.co.id tersebut, bagian teks video menunjukkan keterangan bahwa Bahlil sedang merasa sedih karena dipecat dari jabatan sebagai Menteri ESDM.
Sekitar 7.000 komentar muncul di bagian bawah video. Beberapa pengunggah komentar percaya bahwa Prabowo telah memecat Bahlil. Video pun memperoleh sekitar 24.600 likes.
Tim cek fakta DW menelusuri kebenaran video tersebut.
Klaim: "Bahlil dipecat dari kursi menteri"
Cek Fakta DW: Salah.
Manipulasi media spoofing
Awalnya, tim cek fakta DW melakukan pengecekan keabsahan video melalui platform Google Reverse Image. Hasilnya, video tersebut pertama kali ditayangkan di platform YouTube Okezone pada 19 Agustus 2024. Momen yang direkam bukan pemecatan Bahlil melainkan serah terima jabatan Menteri Investasi dan Hilirisasi dari Bahlil ke Rosan Roeslani.
Video yang viral di TikTok juga menunjukkan beberapa kejanggalan. Akun www.kompas_tv.co.id bukan akun TikTok resmi media Kompas TV. Salah satu ciri utama akun media resmi adalah pencantuman link menuju berbagai platform distribusi media bersangkutan serta keterangan singkat tentang media. Oleh karena itu www.kompas_tv.co.id terbukti melakukan praktik media spoofing. Sebuah praktik manipulasi di mana pelaku berpura-pura menjadi media kredibel dengan memanipulasi profil media sosial dan situs web palsu untuk menyebarkan informasi menyesatkan.
“Ini akan sangat rawan. Terutama di masyarakat yang memang belum terbiasa sama literasi media, literasi digital,” kata Detta Rahmawan. Peneliti di Pusat Studi Komunikasi, Media, Budaya dan Sistem Informasi (CMCI) Fikom Unpad dalam wawancara kepada DW Indonesia pada Selasa (21/10).
Praktik media spoofing marak dilakukan bukan hanya di Indonesia melainkan juga di negara-negara lain. Menurut Detta, motif ekonomi jadi salah satu alasan di balik praktik media spoofing. “Bisa dilihat dari bagaimana mereka dapat insentif dari trafik kemudian dikonversi jadi iklan dan lain sebagainya,” tutur Detta.
Selain melakukan media spoofing, pemilik akun juga memanipulasi informasi dengan mencantumkan keterangan palsu dengan penggunaan kalimat yang tidak terstruktur. Kalimat tidak dibuat dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar serta banyak ditemukan kekeliruan dalam penulisan.
Menangkal akun palsu
Praktik media spoofing biasa dilakukan oleh akun-akun anonim. Hal ini membuat media massa kesulitan menggugat pengelola akun palsu. “Kalau media massa mau lanjutkan proses hukum, harus ada perusahaan atau entitas berbadan hukum yang meniru atau memalsukan produk dan simbol atau logo media massa dengan niat untuk mengambil keuntungan,” kata Wahyu Dyatmika, Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia.
Ia juga berkata bahwa hal yang bisa dilakukan oleh pihak media massa adalah melapor ke Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) untuk menurunkan URL yang berisi video manipulatif dan memberi keterangan bahwa akun tersebut memuat video yang berisi disinformasi.
Bagi Wahyu, upaya untuk menghentikan praktik media spoofing perlu dilakukan secara kolaboratif antara media massa, kementerian, pengguna media sosial, maupun platform distribusi informasi. “Memang yang terjadi sekarang belum ada satu sinergi,” kata Wahyu. Ia berkesimpulan bahwa perlu ada standarisasi kualitas layanan dari Komdigi dalam menindak akun manipulatif. “Kalau impostor itu ditemukan di platform, perlu cepat di-take down dan dipastikan tidak akan berulang (aktif kembali).”
Sementara itu, publik bisa pun bisa melakukan beberapa cara untuk menghindari konten media spoofing. Beberapa di antaranya mengecek keteraturan kalimat, kontak resmi media, dan alamat situs.
Editor: Prihardani Purba