1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Kesehatan

Cek Fakta DW: Berita Palsu yang Viral Seputar Vaksin Corona

Rob Mudge
19 November 2020

Tak lama setelah perusahaan pengembang vaksin virus corona menyampaikan efektivitas vaksin mereka, berita palsu tersebar di mana-mana, misalnya soal vaksinasi paksa hingga perubahan DNA. Cek fakta DW memeriksa klaim itu.

Uji coba vaksin virus corona
Foto: H. Pennink/AP Photo/picture-alliance

Apakah para ilmuwan pengembang vaksin corona dari perusahaan bioteknologi Jerman BioNTech mengklaim di akun Twitter pribadinya bahwa mereka akan memberikan vaksin virus corona tahun ini?

Klaim: "Jika semuanya berjalan sesuai rencana, kami akan dapat menyediakan vaksin pada akhir tahun ini dan awal 2021."

Akun Twitter palsu dari dua ilmuwan BioNTech, Ugur Sahin dan Özlem TüreciFoto: Twitter

Cek fakta DW:

Salah. Baik Ugur Sahin maupun istrinya Özlem Türeci tidak ada yang membuat pernyataan itu. Tak satu pun dari mereka memiliki akun Twitter pribadi.

Akun tersebut palsu dan telah dihapus. Meskipun demikian, akun palsu Türeci memiliki lebih dari 50.000 pengikut dalam waktu singkat. Padahal cuitan pertama baru diterbitkan pada 14 November.

Dalam kasus Sahin, ada dua akun palsu dengan masing-masing sekitar 7.000 dan 2.000 pengikut. Di akun ini, cuitan pertama baru dirilis pertengahan November. Akun Twitter tersebut pertama kali dibuat pada Agustus dan September, awalnya dengan nama yang berbeda.

Di Twitter, postingan akun palsu tersebut disukai dan didistribusikan ribuan kali dan banyak pengguna Twitter lainnya menganggap profil tersebut asli. Kenyataannya, ada beberapa faktor yang menentang keasliannya: Di situs web BioNTech, tidak ada referensi ke profil Twitter dari para eksekutif perusahaan BioNTech.

Selain itu, BioNTech mengatakan dalam siaran persnya bahwa pengiriman vaksin masih bergantung pada banyak faktor dan risiko, termasuk "apakah dan kapan pihak berwenang memberikan persetujuan mereka terhadap vaksin."

Akankah vaksin BioNTech / Pfizer mengubah DNA manusia?

Klaim: "Pengingat: Vaksin Pfizer menggunakan teknologi mRNA yang belum pernah diuji atau disetujui sebelumnya. Ini merusak DNA Anda. 75% sukarelawan uji coba vaksin mengalami efek samping. Waspadalah."

Emerald Robinson, seorang jurnalis AS yang bekerja sebagai koresponden Gedung Putih untuk media Newsmax yang konservatif, mempostingnya di Twitter minggu lalu.

Cek fakta DW:

Salah. Tampaknya di sini ada kebingungan serta kurangnya pengetahuan tentang vaksin serta prosedurnya. Meskipun benar bahwa tidak ada vaksin mRNA yang telah disetujui sebelumnya, ada banyak penelitian tentang vaksin tersebut pada manusia selama beberapa tahun terakhir.

Sederhananya, vaksin tersebut menggunakan teknologi yang dikenal sebagai messenger RNA. Vaksin ini menggunakan fragmen kecil dari kode genetik COVID-19 untuk menghasilkan virus di dalam tubuh manusia. Sistem kekebalan kemudian mengenali virus dan mulai memproduksi antibodi untuk menyerangnya.

Menyuntikkan RNA sama sekali tidak mengubah atau memodifikasi urutan DNA tubuh manusia.

Di situs webnya, Institut Paul-Ehrlich Jerman, Institut Federal untuk Vaksin dan Biomedis, menyatakan, "Tidak ada risiko integrasi mRNA ke dalam genom manusia. Dalam kasus manusia, genom terletak di inti sel dalam bentuk DNA. Integrasi RNA ke dalam DNA tidak dimungkinkan antara lain karena struktur kimianya yang berbeda. Selain itu, belum ada bukti bahwa mRNA yang diintegrasikan oleh sel tubuh setelah vaksinasi akan mengubah DNA."

Secara umum, tidak ada vaksin yang dapat memodifikasi DNA manusia secara genetik, menurut para ahli. Mark Lynas, seorang peneliti tamu di kelompok Alliance for Science Universitas Cornell, mengatakan kepada Reuters: "Modifikasi genetik akan melibatkan penyisipan DNA asing yang disengaja ke dalam inti sel manusia, dan vaksin sama sekali tidak melakukan itu."

Selain itu, klaim Robinson bahwa 75% relawan uji coba mengalami efek samping tidak benar. Moderna mengatakan analisis interimnya menggunakan data yang disediakan oleh Dewan Pemantau Data dan Keamanan tidak melaporkan masalah keamanan yang signifikan. 

Benarkah ada vaksinasi paksa?

Klaim: "Di Peru, vaksinasi COVID-19 sekarang wajib dan siapa pun yang menolak untuk menggunakannya akan ditangkap, lihat gambar. Sudah dimulai, SADAR. Kekhawatiran besar datang, ini adalah awal dari penderitaan," kata sebuah unggahan di Facebook tanggal 7 November. Postingan itu menunjukkan tiga gambar yang menunjukkan pekerja medis dengan alat pelindung diri (APD) sedang menyuntik seseorang.

Cek fakta DW:

Salah. Peru tidak mewajibkan vaksinasi COVID-19. Setidaknya belum, karena saat ini tidak tersedia vaksin yang telah disetujui.

Pencarian gambar melalui Google mengarah ke situs web Radio Nacional del Peru, stasiun radio tertua di negara itu. Di situs webnya, tertulis berita soal kampanye vaksinasi difteri oleh 50 brigade, yang diinisiasi oleh Kementerian Kesehatan Peru, di wilayah La Victoria, menggunakan salah satu gambar yang disebutkan di atas.

Kementerian Kesehatan memposting cuitan pada 28 Oktober tentang 50 brigade yang "melakukan kampanye vaksinasi di rumah setelah tercatat kasus difteri."

Menteri Kesehatan Peru, Pilar Mazzetti, juga telah menjelaskan dengan tegas bahwa vaksin COVID-19 tidak akan diwajibkan, dengan mengatakan: "Jika orang tidak ingin divaksinasi, mereka tidak akan divaksinasi." (pkp/ha)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait