1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Pendidikan

Suka Duka Pengajar Muda di Papua di Masa Pandemi

Prihardani Ganda Tuah Purba
14 Agustus 2020

“Mengajar via Radio belum cukup membantu murid. Tapi, itu adalah pilihan tercepat dan terefektif di sini”, kata Anggi Crestamia, seorang guru relawan di Kepulauan Yapen, Papua.

Anggi Crestamia - Pengajar Muda di Kepulauan Yapen, Papua.
Anggi Crestamia - Pengajar Muda di Kepulauan Yapen, Papua.Foto: Anggi Crestamia

Anggi Crestamia (29) adalah seorang Pengajar Muda (PM) dari Yayasan Indonesia Mengajar yang sudah hampir tujuh bulan belakangan tinggal di Papua untuk mengajar anak-anak sekolah dasar (SD) yang ada di sana.  

Anggi begitu sapaan akrabnya adalah satu dari total enam pengajar muda dari Indonesia Mengajar yang disebar ke enam lokasi penempatan di Kepulauan Yapen, Papua, untuk menjadi guru relawan.

Anggi sendiri ditugaskan untuk mengabdi di SD YPK Baithel Rondepi yang berada di Distrik Kepulauan Ambai, Kepulauan Yapen-Papua.  

“Kami tinggal bersama orang tua piara (house famm) kebanyakan orang asli Papua yang bersedia kami jadikan orang tua selama aktif mengajar,” katanya kepada DW, Selasa (13/03). 

Untuk sampai ke Kepulauan Yapen, Anggi mengaku harus melalui perjalanan panjang. “Dari Jawa itu naik pesawat mungkin transitnya dua kali, delapan jam kurang lebih, dari Jawa ke Makassar, transit lagi dari Makassar ke Biak”.

Sementara dari Biak, perjalanan kemudian harus dilanjutkan kembali dengan menggunakan pesawat kecil atau kapal cepat dengan waktu tempuh kurang lebih 6 jam. 

‘Terkunci’ 

Akses yang dirasa cukup jauh dari perkotaan ini awalnya memberi Anggi dan pengajar muda lainnya sedikit harapan terkait kemungkinan Papua tidak akan terkena wabah COVID-19. “Tapi ternyata kita tidak menyangka kalau Maret akhir itu ter-lockdown semua apalagi di Kepulauan ini”, ujarnya.  

Anggi yang pada saat itu berada di Serui (ibu kota Kabupaten Yapen) akhirnya ‘terkunci’ karena protokol kesehatan ketat mengatur semua warga untuk tidak bisa keluar pulau sembarangan.  

Anggi mengaku bahwa sebagai pengajar muda ia tidak hanya bertugas di desa penempatan saja, tapi juga menjalankan agenda bersama para mitra pendidikan yang berada di kabupaten. “Dalam sebulan, sekitar 2-3 minggu kami di kampung,” jelasnya. Itulah sebabnya, dari akhir Maret – Mei, ia dan rekan-rekannya akhirnya tertahan di Serui dan tidak bisa kembali ke desa penempatan. 

Sementara itu, langkah-langkah pembatasan untuk meredam penyebaran virus yang diberlakukan pun akhirnya membuat pendidikan ikut terbengkalai, kata Anggi. Di Kepulauan Yapen sendiri, dimulai dari akhir Maret, pendidikan benar-benar dihentikan, tidak ada tatap muka sama sekali. 

Mengajar via Radio dan LKS 

Tindakan ‘penguncian’ oleh pemerintah kemudian membuat sekolah-sekolah di Kabupaten Yapen menerapkan sistem belajar dari rumah. Menurut Anggi, beruntung ada beberapa sekolah khususnya yang berada di Serui, sudah terpapar sinyal internet sehingga mampu melakukan proses belajar mengajar secara daring menggunakan WhatsApp atau Google Meet.  

Sementara, untuk sekolah-sekolah yang berada di distrik yang kebanyakan belum terpapar sinyal dan listrik, Radio dikatakan Anggi jadi salah satu media yang dapat membantu proses belajar mengajar meski tak mampu menjangkau seluruh desa penempatan dari para pengajar muda. 

“Jadi enam lokasi ini paling dekat itu aku sebenarnya di Kepulauan Ambai. Jadi dari Serui aku kurang lebih 45 menit naik perahu motor, perahu yang dengan motor tempel. Sedangkan teman-temanku yang tiga itu ada di Miosnum, Wooi dan juga Poom, ini yang aksesnya jauh sekali,” katanya. 

“Mereka harus menunggu kapal perintis yang bahkan selama pandemi ini ter-lockdown. Alhasil mereka juga tidak terjangkau sama Radio,” tambahnya. 

Ada beberapa sekolah di lokasi penempatan yang aksesnya sangat jauh, sehingga tidak terjangkau oleh siaran Radio. Foto diambil di Distrik Wooi, Kepulauan Yapen, Papua, sebelum masa pandemi.Foto: Melisa

Para pengajar muda beserta guru-guru di desa penempatan akhirnya berinisiatif membuat Lembar Kerja Siswa (LKS) untuk dibagikan secara berkala kepada para siswa yang tidak terjangkau oleh pengajaran via Radio. Mereka terpaksa mendatangi langsung para siswanya untuk memastikan mereka tidak ketinggalan pelajaran.  

“Kalau memang ada kesempatan untuk ke kampung kita langsung ke kampung untuk bagikan (LKS) ke anak-anak,” ujarnya. “Jadi kami yang door to door yang benar-benar nyamperin anak-anak, datengin anak-anak untuk belajar, jadi guru itu benar-benar ngajarin 1- 3 anaklah maksimal,” jelas Anggi. 

Menurut Anggi, mengajar via Radio dan LKS yang mereka susun sejatinya belum cukup membantu murid. Namun, “itu menjadi pilihan tercepat dan terefektif di sini.” 

Menurut Anggi, mengajar via Radio belum cukup membantu murid, namun apa daya itu adalah pilihan tercepat dan terefektif di Kepulauan Yapen, Papua.Foto: Anggi Crestamia

Harapan untuk pendidikan benar-benar merata 

Anggi menuturkan bahwa Kepulauan Yapen kini telah berstatus zona hijau. Artinya, sekolah-sekolah dibolehkan memulai proses belajar mengajar secara tatap muka tapi dengan protokol khusus kesehatan.  

“Jadi ada beberapa sekolah yang punya kebijakan khusus anak-anak bisa tatap muka tapi seminggu misalnya tiga kali saja dan semuanya dikembalikan ke orang tua,” jelasnya. 

Ia sendiri yang saat ini masih berada di Serui, berencana akan kembali pekan ini ke desa penempatannya yang berada di Kepulauan Ambai, meski belum bisa memastikan apakah sekolah akan menerapkan proses belajar mengajar secara tatap muka atau tidak.  

Ia kemudian menyampaikan harapannya: “Semoga pendidikan di Indonesia ini bisa benar-benar merata, tidak hanya terpusat di satu titik, dan juga anak-anak Indonesia bisa dengan baik menerima semua fasilitas yang pemerintah berikan.”

(gtp/rap) 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait