Cina mengancam bakal memberikan jawaban sepadan jika terus ditekan ihwal Laut Cina Selatan. Beijing juga menegaskan tidak akan mengakui keputusan Pengadilan Arbitrase Internasional di Den Haag.
Iklan
Serorang diplomat Cina mengatakan, Beijing tidak akan mengakui keputusan pengadilan arbitrase internasional di Den Haag. Ia juga mewanti-wanti negara lain agar tidak bersikap berlebihan dalam menanggapi konflik di Laut Cina Selatan.
"Tentu saja Cina bersedia menerima opini dan saran yang konstruktif dari negara yang relevan (dalam konflik di Laut Cina Selatan)," tutur Ouyang Yujing, Direktur Jendral Perbatasan dan Perairan di Kementerian Luar Negeri Cina.
"Tapi jika ada negara yang cuma ingin menekan Cina, anda bisa melihatnya seperti sebuah per," imbuhnya. "Jika ditekan terlalu kuat, reaksinya juga akan sama kuatnya."
Klaim berebut kawasan
Hingga bulan Juni Pengadilan Arbitrase Internasional di Den Haag harus membuat keputusan terkait gugatan Filipina atas klaim Cina di Kepulauan Spratly. Sejak beberapa pekan terakhir Beijing menggiatkan mesin diplomasi untuk mencari dukungan atas klaimnya.
Ouyang mengatakan sikap Beijing untuk tidak mengakui otoritas pengadilan di Den Haag sudah "sangat sesuai dengan" komitmen luar negeri Cina.
"Tahun 2002 Cina dan negara ASEAN, termasuk Filipina, menandatangani deklarasi kode etik bersama perihal Laut Cina Selatan, yang jelas mencatumkan bahwa konflik teritorial harus diselesaikan melalui negosiasi dengan negara yang bersangkutan secara langsung, ujarnya.
Ouyang menegaskan sikap pemerintah Cina yang lebih suka menyelesaikan perselisihan secara bilateral antara negara, bukan dengan ASEAN. Sikap tersebut mengundang curiga karena Beijing dikhawatirkan bakal menggunakan kekuasaan politiknya untuk menekan negara-negara yang terlibat.
Cina menilai Filipina telah "menduduki" kepulauan miliknya di Laut Cina Selatan "secara ilegal," tukas Ouyang. Perihal kerjasama militer antara Filipina dan Amerika Serikat, ia menyebutnya sebagai "indikasi kembalinya mentalitas perang dingin."
Saling Tikam Berebut Laut Cina Selatan
Konflik Laut Cina Selatan menjadi ujian terbesar Cina buat menjadi negara adidaya. Meski bersifat regional, konflik itu mendunia dan mengundang campur tangan pemain besar, termasuk Amerika Serikat dan Indonesia.
Foto: Getty Images/R. Pudyanto
Bersekutu dengan Rusia
Cina sendirian dalam konflik seputar Kepulauan Spratly dan Paracel di Laut Cina Selatan. Kecuali Rusia yang rutin menggelar latihan militer bersama (Gambar), negeri tirai bambu itu tidak banyak mendulang dukungan atas klaim teritorialnya. Terutama karena klaim Beijing bertentangan dengan hukum laut internasional.
Foto: picture-alliance/AP Images/Color China Photo/Z. Lei
David Versus Goliath
Secara umum Cina berhadapan dengan enam negara dalam konflik di Laut Cina Selatan, Taiwan, Vietnam, Malaysia, Brunai dan Filipina yang didukung Amerika Serikat. Dengan lihai Beijing menjauhkan aktor besar lain dari konflik, semisal India atau Indonesia. Laut Cina Selatan tergolong strategis karena merupakan salah satu jalur dagang paling gemuk di dunia dan ditengarai kaya akan sumber daya alam.
Foto: DW
Diplomasi Beton
Ketika jalur diplomasi buntu, satu-satunya cara untuk mengokohkan klaim wilayah adalah dengan membangun sesuatu. Cara yang sama ditempuh Malaysia dalam konflik pulau Sipadan dan Ligitan dengan Indonesia. Berbeda dengan Malaysia, Cina lebih banyak memperkuat infrastruktur militer di pulau-pulau yang diklaimnya.
Foto: CSIS, IHS Jane's
Reaksi Filipina
Langkah serupa diterapkan Filipina. Negara kepulauan itu belakangan mulai rajin membangun di pulau-pulau yang diklaimnya, antara lain San Cay Reef (gambar). Beberapa pulau digunakan Manila untuk menempatkan kekuatan militer, kendati tidak semewah Cina yang sudah membangun bandar udara di kepulauan Spratly.
Foto: CSIS Asia Maritime Transparency Initiative/DigitalGlobe
Di Bawah Naungan Paman Sam
Filipina boleh jadi adalah kekuatan militer terbesar selain Cina dalam konflik di perairan tersebut. Jika Beijing menggandeng Rusia, Filipina sejak dulu erat bertalian dengan Amerika Serikat. Secara rutin kedua negara menggelar latihan militer bersama. Terakhir kedua negara melakukan manuver terbesar dengan melibatkan lebih dari 1000 serdadu AS.
Foto: Reuters/E. De Castro
Indonesia Memantau
Indonesia pada dasarnya menolak klaim Cina, karena ikut melibas wilayah laut di sekitar kepulauan Natuna. Kendati tidak terlibat, TNI diperintahkan untuk sigap menghadapi konflik yang diyakini akan menjadi sumber malapetaka terbesar di Asia itu. Tahun lalu TNI mengerahkan semua kekuatan tempur milik Armada Barat untuk melakukan manuver perang di sekitar Natuna.
Foto: AFP/Getty Images/J. Kriswanto
Bersiap Menghadapi Perang
TNI juga membentuk Komando Operasi Khusus Gabungan untuk menangkal ancaman dari utara. Komando tersebut melibatkan lusinan kapal perang, tank tempur amfibi dan pesawat tempur jenis Sukhoi.
Foto: Getty Images/R. Pudyanto
Indonesia Tolak Klaim Cina
Cina berupaya menjauhkan Indonesia dari konflik dengan mengakui kedaulatan RI di kepualuan Natuna dan meminta kesediaan Jakarta sebagai mediator. Walaupun begitu kapal perang Cina berulangkali dideteksi memasuki wilayah perairan Natuna tanpa koordinasi. Secara umum sikap kedua negara saling diwarnai kecurigaan, terutama setelah Presiden Jokowi mengatakan klaim Cina tidak memiliki dasar hukum
Foto: Getty Images/R. Pudyanto
AS Tidak Tinggal Diam
Pertengahan Mei 2015 Kementrian Pertahanan AS mengumumkan pihaknya tengah menguji opsi mengirimkan kapal perang ke Laut Cina Selatan. Beberapa pengamat meyakini, Washington akan menggeser kekuatan lautnya ke Armada ketujuh di Pasifik demi menangkal ancaman dari Cina.